Segurat harapan hadir saat Allea menatap labu yang masih terisi separuhnya. Tatapannya menelusuri selang yang terhubung dengan tangan kirinya. Ada sedikit bercak darah di sekitar plester yang menempelkan jarum pada bagian atas tangannya. Perih, tapi ini lebih baik daripada mimpi-mimpinya yang menyeramkan beberapa malam kemarin.
Suara dengkuran terdengar dari sofa di samping tempatnya berbaring. Orang itu masih saja menemani di mana pun ia berada. Ingin rasanya ia melepaskan selang lalu kabur lagi untuk ke sekian kalinya. Hanya saja, ia sadar diri. Tubuhnya masih sangat lemas. Saat ia berusaha mengangkat badan saja, ia merasa seperti tengah ditimpa oleh puluhan karung goni berisi beras.
Catur.
Nama itu tiba-tiba saja terlintas kembali dalam benaknya. Surat yang ia tulis dengan bantuan Jingga —ditulis dengan cara mentranslasikan voice note yang dikirim Allea— membuatnya semakin ingin memanjatkan doa agar Catur bisa masuk ke dalam perangkapnya.
Bukan, bukan perangkap yang buruk. Allea memang membutuhkan Catur. Bila prediksinya benar, murid pindahan itu lah yang akan menjadi penolong baginya saat ini. Setidaknya sampai pria yang tengah tertidur di ruang rawat inap itu, menjauh dari kehidupannya.
"Sayang…."
Allea terkesiap. Meskipun ini bukan kali pertama pria itu memanggilnya 'sayang', tetapi tetap saja muncul debar jantung seperti baru saja dikagetkan oleh balon hijau yang meletus.
"Om pulang aja. Aku nggak apa-apa," ujar Allea.
"Nggak bisa dan nggak mau," sanggah Om Andre sembari meraih lengan Allea. Tentu saja gadis itu menepisnya kasar.
Beberapa saat kemudian terdengar sapaan salam dari balik pintu. Om Andre pun berdiri untuk membukakan pintu. Mata Allea terbelalak setelah derit pintu terdengar dan memunculkan sosok yang tengah berada dalam orbit pikirannya. Sempat ia mencubit pahanya dengan keras untuk meyakinkan apa yang tengah dilihatnya.
"Dinasti Catur?" Tanpa menarik napas, Allea melanjutkan kalimatnya, "Itu benaran kamu?"
Allea menyibak selimutnya dan melupakan tubuhnya yang lemas. Ada energi yang tiba-tiba saja mengisi daya kakinya untuk turun dari ranjang dan menghampiri Catur.
"Allea, hati-hati." Kalimat panik Catur dan rengkuhan lengannya pada tubuh Allea mentransferkan rasa hangat di dada.
"I'm fine." Allea berpegangan pada pinggang Catur. "Om, kenalin. Ini Catur, pacar Allea."
Hal yang membuat Allea tenang di balik ketakutan akan sanggahan Catur karena pengakuan asal-asalannya adalah ketika tidak sedikit pun cowok itu melonggarkan pegangan atas tubuhnya. Om Andre menelisik Catur dari atas sampai bawah. Guratan kesal tertoreh jelas di wajah pria berumur 49 tahun itu.
"Om pulang aja, ya. Mama pasti nungguin Om di rumah." Ada tawa licik yang disembunyikan oleh Allea. "Aku kan udah ditemenin pacarku." Allea menekankan kata 'pacar' dalam kalimatnya.
Beberapa saat setelah Catur membimbing Allea untuk kembali ke tempatnya berbaring, Om Andre menarik lengan Catur. "Bisa kita bicara?" ajaknya.
"Di sini saja, Om," tawar Catur setelah melirik ke arah Allea.
"Ya sudah, lain kali saja." Om Andre berlalu dari hadapan keduanya. Tidak lupa ia pun menutup pintu dengan kasar.
Ada jeda hening yang membuat Allea dan Catur tidak nyaman setelah Om Andre pulang. Allea masih menatap lurus ke arah televisi yang beberapa saat lalu ia nyalakan. Sedangkan Catur masih duduk di kursi yang ia tarik untuk mendekat ke ranjang tempat Allea berbaring.
"Getting better?" Jujur saja, Catur kurang suka keadaan tanpa kata seperti tadi.
"Thanks, by the way." Allea menatap mata anak laki-laki berseragam putih abu di sampingnya. Logo sekolah yang terlihat baru menempel, membuat lengan Allea ingin sekali mengusilinya. Dengan sekali tarik, logo pada seragam Catur terlepas. Benar dugaannya, cowok itu menempelkan logo sekolah hanya menggunakan double tape.
"Issshhh. Balikin, nggak?!" Catur berusaha meraih logo sekolah pada genggaman tangan Allea. Namun, Allea malah terkekeh.
"Aku akan balikin kalau kamu jelasin alasan kenapa tadi nggak menyanggah saat aku memperkenalkan kamu sebagai pacar."
"Aku akan jawab kalau kamu jelasin kenapa kamu memperkenalkan aku sebagai pacar." Catur nampak menolak didikte. "Oke lah, biar fair. Kita sama-sama tulis jawabannya, nanti kita barter."
"Oke!"
Sesaat setelah Allea mengambil ponselnya dari balik bantal, ia menoleh ke arah Catur yang ternyata sedang membuka aplikasi Whatsapp.
"Ih, kamu punya WA ternyata," protes Allea.
"Iya, tadi aku habis ikut pelajaran anak IPS."
Jawaban Catur membuat Allea sontak terbahak. Bahkan Catur sampai melirik heran karena Allea terpingkal-pingkal cukup lama. Baru sesaat setelah Catur menyentuh kening Allea, tawa gadis itu terhenti.
"Aku nggak gila!" kata Allea ketus. "Buruan barter jawaban.
"Udah aku kirim ke nomor WA kamu."
"Hah? Kamu punya nomor WA aku?" Allea langsung mengecek notifikasi masuk. "Wait, aku belum baca kok. Aku kirim jawaban aku sekarang, ya."
-OoO-
Catur menendang kerikil di hadapannya. Beberapa mengenai ujung sepatunya, beberapa lagi lolos dan tetap bergeming di atas tanah. Perutnya keroncongan padahal tadi ia sudah menghabiskan puding yang seharusnya dimakan oleh Allea.
Dengan sukarela, gadis itu memberikan dessert-nya. Meski ia yakin, bila puding yang tersaji untuk makan malam Allea adalah rasa stroberi, mungkin gadis itu tidak akan memberikan padanya. Allea tidak suka mangga, itu lah yang membuat Catur bisa sedikit mengganjal perutnya sepulang sekolah.
Setelah berjalan menuju tempat parkir outdoor, Catur masuk ke dalam mobilnya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 19.30. Ia merogoh ponsel di saku celananya. Notifikasi yang nihil membuat ia merasa kosong.
Catur menginjak pedal gas setelah beranjak dari pedal rem. Tujuannya sekarang bukan menuju rumah terlebih dahulu. Drive thru Mekdi sepertinya solusi yang ciamik untuk membuat lemas tubuhnya hilang.
-OoO-
"Cheese burger dan mocca float. Semuanya total 48.000 rupiah."
Catur melajukan mobilnya menuju tempat pembayaran dan pengambilan pesanan. Selagi menunggu, ia membuka kembali barter alasan yang dikirim oleh Allea.
"Dia suami mama. Ya, papa tiri tapi sampai sekarang aku nggak pernah memanggilnya papa. Dia sayang aku, tapi bukan sebagai anak. Dia sayang sebagai seorang pria yang menyayangi wanita. Aku nggak bisa menghindar karena mama tidak curiga. Namun, ada 1 perjanjian yang aku ucapankan pada mama. Aku bilang, 'Kalau aku sudah punya pacar, aku ingin Om Andre tidak usah terlalu dekat denganku, mengantar jemput aku sekolah, bahkan mengajak hang out berdua'. Mama setuju, begitu pun Om Andre. Jadi… terima kasih karena sudah menolongku :) "
"Dek! Dek! Dek, ini pesanannya." Suara pegawai Mekdi membuat Catur menjatuhkan ponselnya. Dengan segera Catur pun meraih dan melajukan kembali mobilnya sebelum telinganya terkena polusi suara dari klakson mobil di belakangnya.
-OoO-
Allea membuka list chat di Whatsapp. Nama Dinasti Catur ada di deretan ketiga dari atas. Ia menekan foto profil untuk melihat foto Catur dalam ukuran yang lebih besar. Namun, ia kecewa karena ternyata yang ia lihat adalah foto Allan Walker.
Tidak ada percakapan lain di room mereka. Hanya saja, Allea masih merasakan degub jantungnya seperti saat ia membaca alasan yang diutarakan oleh Catur.
Beberapa saat kemudian, ada pesan masuk.
Jingga: Beb. Gimana, Catur jenguk, kan?
Pesan dari Jingga membuatnya teringat akan percakapan dengan Catur selama mereka berdua tadi.
"Jadi, kamu suka sama aku pada pandangan pertama? Kok bisa?" tanya Catur polos.
"Hah? Maksudnya?" Allea sempat mengerutkan kening.
"Itu, surat yang kamu tulis."
"Hah? Gimana?"
Setelah Catur memperlihatkan isi surat yang katanya ditulis oleh Allea, baru lah gadis itu sadar bahwa menitipkan pesan kepada Jingga malah berujung ia malu setengah mati.
"Aku nggak nulis gini. Ini pasti ditambah-tambahin sama Jingga. Arrrggghhh!" protes Allea.
"Oh, gitu. Kirain—"
"Nggak lah! Nggak usah ngarep!"
Kini, melihat chat Jingga dengan emoji menggoda, membuat Allea mengetuk simbol telepon.
"Jingga, reseee!!!"
"HAHAHA."
Hanya suara gelak tawa yang terdengar dari balik telepon tanpa harus Allea menjelaskan mengapa ia marah kepada sahabatnya itu.