"Ini materi yang harus kalian pelajari selama satu bulan ke depan." Bu Anjar memberikan lembar kertas yang sudah berjilid rapi.
"Tapi, Bu, kenapa harus dadakan seperti ini? Saya belum mempersiapkan apa pun." Ini adalah salah satu cara dari sedikit opsi agar Allea tidak mengikuti olimpiade yang membuat kepalanya pecah.
"Ini masih seleksi tingkat kota Allea. Lagi pula, satu bulan itu waktu yang cukup lama buat mempersiapkan diri," sanggah Bu Anjar. "Saya lihat riwayat kalian berdua juga pernah mengikuti Olimpiade Sains Kuark saat SD dulu, 'kan? Maka dari itu saya berani tunjuk kalian langsung buat mengikuti seleksi Olimpiade Sains tingkat Provinsi ini," imbuhnya.
Mendengar pernyataan Bu Anjar, Catur dan Allea saling bertukar pandang.
"Sebentar. OSK? Saat SD? Kalau boleh tahu, olimpiade saat itu diadakan di mana ya, Bu?" Tiba-tiba saja pikiran Catur mengingat sesuatu. Namun dirinya yang lain menolak dugaan itu.
"Lho. Bukannya kalian sudah tahu ya?" tanya Bu Anjar yang juga ikut keheranan.
"Olimpiade itu diadakan di kota Yogyakarta. Kalian berdua, kan, finalis OSK di sana," imbuhnya.
Seperti petir di siang bolong, ucapan Bu Anjar sekali lagi membuat Catur dan Allea terkejut. Catur tidak menyangka bisa dipertemukan kembali dengan gadis di masa lalunya. Seorang gadis yang tengah menangis di pelataran toko kala itu.
"Baiklah, selamat berjuang di ajang bergengsi ini. Saya yakin kalian lolos. Buat sekolah ini bangga dengan prestasi kalian," ujar Bu Anjar sambil memperbaiki kacamatanya.
"Oh iya, satu lagi. Karena kalian satu bidang di Fisika nanti, tidak ada salahnya jika kalian bekerja sama. Belajar bersama, kerja kelompok, atau yang lainnya, mungkin. Kalian agendakan sendiri, ya. Kalau butuh apa-apa langsung hubungi saya," sambung Bu Anjar lantas berlalu dari hadapan kedua muridnya.
Setelah membeku beberapa menit, Catur kembali menenangkan dirinya. Tidak hanya Catur, tapi juga Allea yang sedari tadi bergeming dan sama sekali tidak merespon ucapan Bu Anjar.
"Dua puluh enam?!" ujar mereka kompak.
Keduanya membeliakkan mata tak percaya.
Allea menepuk jidat. "Ah, sial. Kenapa kita bertemu lagi coba."
Bibir Catur berkedut menahan tawa. "Ternyata aku nggak perlu jadi Stanley Milgram buat buktiin bahwa dunia itu sempit. Teori Six Degrees of Separation terbukti di aku dan kamu sekarang."
Sontak kening Allea membentuk garis vertikal. "Bukan sempit, kamunya yang mepet aku terus!"
"What? Aku? Kalau Ibuku enggak nikah lagi, enggak mungkin aku pindah ke sini. Lagian juga mana aku tau kamu tinggal di Bandung. Jadi ... ini hanya kebetulan, Lea." Catur berdiri dari kursinya. "Kebetulan yang mungkin sudah ditakdirkan," imbuhnya melengkapi lantas pergi dari hadapan Allea.
Lea? Apa apaan dengan panggilan itu. Ia berdecih. Nama itu membuat Allea sedikit mengusik pikiran di masa lalunya.
[Past]
"Papa datang, kan, hari ini, Ma?" tanya Allea sesaat sebelum olimpiade dimulai.
"Pasti datang, Sayang. Papa sedang pejalanan sekarang," ujar Wulan—ibunda Allea.
Senyum Allea mengembang setelah mendengar kabar baik dari ibunya. Sudah lebih dari 2 tahun ini Allea tidak bertemu dengan ayahnya. Menjadi seorang pelaut membuat sang ayah sangat sulit untuk bertemu dengan keluarga. Dan itu yang membuat Allea benci ketika ayahnya hanya bisa pulang 1-2 minggu saja, lalu kembali berlayar mengarungi samudra.
"Mam ..."
"Iya, Sayang."
"Papa di sini sampai berapa hari?"
Wulan terdiam sesaat sebelum menjawab. "Mungkin akan lama. Dampingi anak kesayangan Mama-Papa yang berjuang ini sampai kembali ke Bandung."
"Benarkah?"
Wulan mengangguk.
"Asiiik. Berarti bisa temanin kita jalan-jalan ke Jogja dong," seru Allea hiperbolis.
"Tapi Lea janji dulu harus menang olimpiade ini demi Papa," goda Wulan.
"Pasti dong. Lea pasti jadi juara di sini," ujar Allea dengan percaya diri.
"Ya udah, sekarang gabung sama teman-teman kamu sana. Bentar lagi dimulai."
"Okey, Mam. Daaah ..."
Saat berjarak beberapa meter, Allea kembali memutar tubuhnya dan melakukan cium jauh kepada ibunya. Itu adalah hal yang selalu dilakukan saat mengantarkan sang ayah ke pelabuhan sebelum kembali berlayar.
Melihat kebahagiaan anak sematawayangnya, Wulan tidak bisa untuk tidak menerbitkan senyumnya. Meski dalam hatinya sangat sakit, karena harus berbohong kepada sang anak selama ini. Namun jika ia berterus terang, tentu Wulan tidak bisa membayangkan betapa sedihnya sang anak tentang kebenaran yang sebenarnya.
"Mas ... Anakmu sekarang tumbuh besar. Dan akan menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Kamu pasti bangga di sana."
-OoO-
Beberapa hari berselang. Allea mampu mengalahkan para peserta dari setiap perwakilan sekolah di seluruh Indonesia. Berbagai babak dilalui dengan jerih payah. Demikian juga dalam setiap harinya, Allea selalu mempertanyakan kabar sang ayah. Dan Wulan selalu berdalih bahwa ayahnya sebentar lagi akan datang. Terus seperti itu sampai membuat Allea bosan mendengar jawaban yang setiap hari hampir sama, hanya diubah cara menyampaikannya.
Sampai pada babak final kali ini, Allea masih terus menanyakan kabar sang ayah kepada Wulan. Kenapa perjalanan sang ayah memakan waktu sangat lama. Padahal kemarin ibunya bilang bahwa ayahnya sudah sampai di pelabuhan Surabaya. Meski Allea masih kecil, ia yakin bahwa jarak tempuh Surabaya ke Yogyakarta tidak memakan waktu 24 jam.
"Sekarang kamu gabung sama teman-teman kamu dulu. Olimpiade sebentar lagi dimulai, Sayang. Sebentar lagi Papa pasti da-"
"Mam ...," sahut Allea. "Dari kemarin Mama bilang kayak gini. Mama nggak bohongin Lea, 'kan?"
Deg!
Ucapan sang anak membuat Wulan tergeming.
Mas, anakmu sekarang semakin pintar dan aku susah untuk beralasan terus menerus, batin Wulan.
"Mam ..." Allea menggoyang-goyangkan lengan ibunya. "Papa lagi di mana, sih?"
Wulan memejamkan matanya. Ia menghirup napas dalam-dalam lantas berkata, "Sayang ... Papa lagi perjalanan sekarang. Untuk apa juga Mama bohongin anak kesayangan Mama," paparnya sambil mengelus rambut sang anak. Ini adalah cara terakhir agar sang anak tidak semakin curiga. Meski dalam hatinya benar-benar sakit. Sangat sakit.
"Iya yah. Mama, kan, enggak pernah bohong sama Lea," ujar Allea dengan polosnya. "Ya udah. Lea gabung sama teman-teman dulu ya, Mam."
"Semangat untuk hari terakhir ini, Sayang. Kamu pasti jadi juara, dan Papa pasti bangga." Wulan mengecup kening sang anak.
Dengan hati riang, Lea berjalan menuju kerumunan teman-temannya yang sudah menunggunya. Namun saat beberapa langkah, ia lupa sesuatu. Tas dan semua peralatan tulis masih dibawa oleh ibunya. Buru-buru ia berbalik arah dan kembali menuju sang ibu.
Ketika sampai di tempat semula, ibunya tidak ada. Allea mencari ke sana kemari masih tidak ketemu. Kebetulan ada salah satu wali murid yang kenal dengan Allea dan ibunya. Orang itu adalah Om Riko; orang tua Susi yang juga mewakili sekolahnya di bidang Komik Sains Kuark.
Allea berlari menuju belakang gedung. Sesuai dengan arahan dari Om Riko: toilet belakang. Baru menginjak beberapa tegel toilet, terdengar suara isak tangis yang tidak asing di telinga Allea.
"Maafkan aku, Lea. Maafkan aku ..." Suara itu terus menyebut nama Allea dengan tangis sesenggukan.
"Mas ... Kenapa kamu pergi secepat itu? Harusnya kamu di sini sama kami. Lihatlah anakmu sekarang. Dia sudah membuat nama sekolahnya bangga. Dia lolos dan sekarang masuk final di OSK. Olimpiade yang paling didambakan oleh semua sekolahan. Harusnya kamu ada di sini sama kami. Harusnya kamu jadi bagian kebahagiaan ini. Kenapa kamu pergi secepat itu? Kenapa?!"
Braakkk!!
Allea hendak terperanjat mendengar suara gebrakan dari dalam toilet.
"Maafkan aku selama ini enggak jujur ke anakmu. Maafkan aku telah berpura-pura kalau kamu masih hidup ketika Lea bertanya kamu di mana. Aku harus jawab apa? Aku sendiri enggak tahu jasad kamu di kubur di mana. Aku seperti pembohong besar di depan anakmu, Mas!" Tangisan itu semakin kencang dari dalam toilet.
Mendengar pengakuan dari ibunya, Dada Allea terasa sesak. Seperti ditusuk oleh tombak yang sangat runcing. Selama ini senyum yang ditorehkan oleh sang ibu sebenarnya adalah ledakan. Selama ini yang diucapkan ibunya hanyalah semu. Lantas ia berlari tanpa arah. Keluar dari gedung Olimpiade. Kabur dari semua kenyataan ini.
Sungguh tidak bisa dibayangkan. Seorang ibu yang selama ini membesarkannya telah membohonginya. Bahkan seorang ayah yang selalu ia banggakan di depan teman-temannya, kini hanya angan semata. Berlalu seperti debu yang tertiup angin. Menghilang tanpa berpamitan. Melebur dengan alam dan meninggalkan dirinya dan ibunya.
Mengapa waktu begitu singkat untuk bertemu dengan sang ayah. Mengapa Tuhan begitu cepat mengambil ayah yang selama ini disayanginya. Bahkan ia tidak sempat melihat wajah terakhir dari ayahnya. Andai berteriak bukanlah hal yang akan memancing pusat atensi, Allea mungkin sudah pasti melakukannya sekarang juga.
"Jangan nangis." Tiba-tiba suara asing terdengar di gendang telinga Allea. Suara itu dari anak laki-laki. Memakai atribut sekolah yang hampir sama dengannya. Ia duduk di samping Allea. Di samping pelataran toko yang baru saja ditutup oleh pemiliknya.
"Kenapa kamu nangis?" Allea tidak berminat untuk menjawab pertanyaan yang tidak penting itu. Ia tetap menangkupkan kedua tangannya di wajah.
"Nih," ujar anak laki-laki itu sekali lagi.
Allea mengintip perlahan dari sela jemarinya. Penasaran dengan apa yang dilakukan oleh anak laki-laki itu kepadanya. "Permen?"
Anak laki-laki itu mengangguk. "Buat kamu."
Ragu-ragu Allea mengambilnya. "Terima kasih."
"Dua puluh enam." Keduanya menoleh mendengar ucapan seseorang yang tengah berdiri di samping mereka. Sepertinya pemilik toko itu.
"Kalian lahir di tanggal 26, kan?" imbuhnya bertanya.
Allea dan anak laki-laki itu mengangguk bersamaan.
"Kok, Kakak bisa tahu?" tanya anak laki-laki itu.
"Karena 26 adalah angka yang spesial untuk kalian berdua. Tadi ada yang berbisik seperti itu kepada Kakak," jelasnya.
Allea tidak mengerti ucapan orang asing itu. Bahkan anak laki-laki di sampingnya juga terlihat kebingungan.
Sebentar kemudian, orang asing itu merogoh tas dan mengeluarkan 2 buah magnet kulkas kepada mereka. Magnet kulkas berbentuk topi pandora diberikan kepada anak laki-laki itu, sedangkan Allea diberikan magnet kulkas berbentuk stiletto.
Allea semakin bingung dengan keadaan ini. Ia saling bertukar pandang dengan anak laki-laki di sampingnya.
"Bagus, ya." Ucapan anak laki-laki itu mengalihkan pandangan Allea yang sedari tadi mencari keberadaan orang asing yang telah memberinya magnet kulkas. Tapi sudah menghilang.
Mengucapkan terima kasih adalah hal yang selalu diajarkan oleh sang ayah. Dan saat ini ia lupa tidak mengucapkannya kepada orang asing tadi.
"Kamu jangan nangis lagi. Sedih itu milik orang dewasa. Kita harusnya bersenang-senang," ujar anak laki-laki itu.
Perkataannya memang ada benarnya juga. Namun setelah mengingat kejadian beberapa menit tadi, dada Allea kembali sesak.
"Kamu enggak tahu apa-apa tentang aku," ujar Allea pada akhirnya.
"Kalau begitu, kita berteman sekarang biar aku tahu tentang kamu." Anak laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Catur."
Allea menjabat tangan anak laki-laki itu.
"Eh ... nama kamu, siapa?" tanya Catur.
"Panggil aja, Lea."
Selanjutnya, mereka berbincang panjang. Terkadang sesekali Allea dibuat tertawa oleh Catur. Anak laki-laki asing yang dapat menghiburnya di saat ia membutuhkan seseorang untuk dapat membuatnya tersenyum.