Mentari mulai terlihat di tepian horizon. Catur baru terjaga dari lelapnya. Menilik jam weker yang ada di atas nakas. Masih ada waktu untuk bergelut kembali dengan bantal gulingnya. Lima menit lagi cukup, pikirnya.
"Bangun woy!"
Tanpa permisi, Sindy tiba-tiba nyelonong masuk kamar Catur.
"Banguuuun!"
"Gue udah bangun. Berisik banget sih," sahut Catur.
"Eh, udah bisa ngomong lo-gue sekarang." Bibir Sindy berkedut menahan tawanya. "Bahasa lo masih medok, nggak pantes didengernya."
"Emang harus jadi orang Ibukota dulu baru pantes ngomong lo-gue?"
"Enggak juga. Cuma lo harus banyak latihan biar nggak kaku," ledek Sindy.
"Gue heran deh. Punya adek cerewet banget. Lama-lama dunia bisa menguap karena lo."
"Lo pikir mulut gue lahar."
"Lebih tepatnya aliran lava," sahut Catur. "Udah keluar sana. Gue mau mandi." Catur beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil tuala.
Tanpa memperhatikan Sindy, Catur berjalan menuju arah kamar mandi. Namun tiba-tiba ia merasa bahwa seseorang terus menatapnya dan membuatnya merasa tidak nyaman. Ia kemudian mendongak dan melihat sepasang mata dengan rasa ingin menyampaikan sesuatu.
"Ngapain masih disini?"
"Emmm ... anu. Hari ini gue nebeng berangkat sekolah ya."
Sontak dahi Catur membentuk garis vertikal. "Enggak salah denger nih? Tumben mau berangkat bareng. Biasanya aja malu kalo diajak bareng"
"Sebagai abang yang baik hati dan budiman, harusnya kan jagain adeknya yang imut ini," cengir Sindy.
Catur menghela napas. "Ya udah. Tapi ada syaratnya." Catur terdiam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lo nggak boleh protes selama perjalanan. Deal?"
"Oke. Palingan komplain kalo cara mengemudi lo masih gas-rem gas-rem," ledek Sindy sambil berlalu dari kamar Catur.
"Serah lo!"
Dari statistik kejadian semalam, Catur tidak ingin jika kejadian itu terulang kembali hari ini. Apa salahnya jika berangkat bersama dengan adik yang bukan sedarah. Siapa tahu bisa menjadi pelipur lara.
Adik bukan sedarah ya? Mengenai hal itu, dulu Catur sangat ingin memiliki saudara. Tapi hal itu mustahil terjadi. Karena semenjak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Dan kini Sindy menjadi sosok saudara yang dulu pernah ia harapkan. Soal status yang bukan sedarah, menurutnya itu tidak penting. Tugasnya saat ini adalah menyayangi keluarga barunya.
-OoO-
Jarum jam menunjuk pukul 6. Mereka berdua mulai berangkat menuju sekolah. Dalam perjalanan, obrolan terus diisi oleh Sindy. Namun terkadang sesekali Catur juga ikut menanggapi yang dirasa penting untuk dijawab.
Lagu dengan lirik *#@K#%*# mengiringi perjalanan mereka. Sindy menyebutnya itu lagu oppa-oppa ganteng. Tapi bagi Catur lebih tepat disebut sebagai orang sedang berkumur. Jika Catur memprotes, maka volume lagu itu justru akan semakin dikencangkan oleh Sindy.
Mau tidak mau Catur terpaksa mendengarkan lagu kumur itu. Dan beberapa kali ia mengutuk dirinya sendiri ketika tidak sengaja kepalanya ikut manggut-manggut mengikuti lagu yang diputar. Memiliki adik ternyata tidak seenak apa yang ia bayangkan, pikirnya.
Gerbang SMA Satu Bangsa sudah terlihat di depan mata. Namun bukannya Catur masuk melalui pintu utama, justru ia lurus dan memasuki gang kecil samping sekolah.
"Kok, parkir di sini, sih?" celoteh Sindy.
"Lupa sama persyaratannya tadi? Dilarang-"
"Protes!" potong Sindy. "Iya gue inget. Tapi ya enggak seharusnya parkir di sini kali."
"Udah sampai. Turun gih," ujar Catur dan kemudian mematikan mesin mobilnya.
Sindy melipat kedua tangannya. "Terus gue harus jalan kaki sejauh 20 meter gitu? Mending gue tadi naik taksi berhenti di depan pintu gerbang."
"Terus gue harus gendong lo sampe kelas gitu?"
"Harusnya."
"Oke. Dua."
Sindy mengernyit. "Apanya?"
"Udah 2 kali lo protes. Sekali lagi protes, nanti pulang sekolah lo naik angkot aja. Oke," jelas Catur dan berdiri dari kursi kemudinya.
Sindy mendengkus kesal. "Nyesel gue bareng lo."
"Buruan jalan. 5 menit lagi bel masuk." Buru-buru Sindy berjalan cepat mendahului Catur agar tidak terlambat. Meski sebenarnya masih ada sisa waktu 20 menit bel masuk sekolah.
-OoO-
Angin berembus pelan. Seakan itu adalah tugasnya menenangkan keadaan Catur saat ini. Hari ini di sekolah begitu hambar. Setiap jam istirahat ia biasanya mendengar lengkingan suara Allea. Tapi kini tidak terdengar. Bahkan batang hidungnya saja tidak terlihat.
Ralat. Bukan tidak terdengar ataupun tidak terlihat, tapi Catur saja yang memang sengaja menghindar dari gadis itu. Ia masih mengingat insiden saat pertemuannya di mall kemarin malam.
Ralat. Bukan pertemuan Catur dengan Allea, melainkan Catur dengan cowok yang bersama Allea saat itu. Kak Rey. Nama itu sering terdengar di telinga Catur setiap kali Allea berada di dekatnya. Sepertinya memang benar. Cowok yang bersama Allea saat itu adalah Rey.
Tapi untuk apa juga mengingat hal semacam itu. Dan untuk apa pula saat ini ia menghindar dari Allea. Pikirannya berkecamuk. Mana mungkin ia bisa memiliki perasaan dengan Allea. Hanya karena pertemuan sejak masa kecil yang sekarang kebetulan terulang kembali, tentu itu tidak begitu banyak merubah keadaan. Akan tetapi, kini Allea tumbuh dan menjelma menjadi gadis yang cantik, pikirnya.
Jika dideskripsikan, warna kulitnya putih langsat. Tubuhnya tidak berlebihan berisinya juga tidak begitu kurus. Sangat cocok untuk ukuran tubuh gadis ABG. Rambutnya tidak terlalu lurus seperti iklan cuci rambut yang ada di tv. Namun tampak bervolume dan membingkai wajahnya yang menawan. Lesung pipinya mampu menutupi kekurangan hidungnya yang tidak terlalu mancung. Lalu jika tersenyum, deretan gigi putihnya sempurna mengintip di sela-sela bibirnya.
Dentuman keras kembali menyadarkan lamunan Catur. Ia hendak tersentak mendengar suara melengking dari sosok yang sudah tidak asing dari balik punggungnya. Catur menghela napas panjang. kabur bukanlah solusi terbaik. Mau sejauh apapun ia menjauhinya, tetap saja Allea masih berkeliaran di sekitar sekolah.
"Kamu kemana aja sih? Di kelas, nggak ada. Di kantin, nggak ada. Di perpus, juga nggak ada. Eh, malah di taman belakang sekolah," oceh Allea dengan menyesap es limun.
"Sejak kapan sawah berevolusi jadi taman?"
"Karena sekolah ini enggak punya taman, makanya kita menyebut belakang sekolah ini sebagai taman," jelas Allea.
Catur manggut-manggut mengerti. Namun mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, decihan langsung lolos di bibir Catur di selingi dengan bangkitnya ia dari tempat duduknya.
"Mau kemana lagi?"
"Bukan urusan kamu," timpal Catur.
"Iiish ... jutek banget sih," protes Allea sambil membuang gelas plastik es limun yang sudah habis ke arah sawah.
Catur keki melihat ulah gadis itu yang terbilang ngawur. Pantas saja negara ini menjadi penghasil sampah terbanyak nomor 2 di dunia. kesadaran membuang sampah pada tempatnya saja masih sangat rendah.
Kemudian ia mengambil gelas bekas itu dan membawanya pergi.
"Buanglah sampah pada tempatnya," ujar Catur tepat ketika ia membuang gelas bekas itu di tong sampah. "Begitupun mantan. Buanglah dia pada tempatnya, jangan di sembarang tempat!" imbuhnya.
"Hah?" Allea mengerutkan keningnya. Nasihat Catur seperti petir di siang bolong. "Aku selama ini belum punya pacar tau!" jelasnya.
"Iya selama ini. Tapi semalam kamu udah punya pacar, kan?"
"Maksud kamu?" Allea mencoba untuk menyelidiki kata-kata Catur dengan memperhatikan dilatasinya.
"Ooh ... soal Kak Rey?" tebaknya dengan menyebut nama itu antusias. Melihat senyuman yang mendarat bebas di bibir Allea, otak Catur langsung mengonfirmasi dugaannya.
"Dia semalam cuma ngajakin makan malam doang," paparnya.
"Cuma? Berarti nanti kalo kalian udah pacaran, jawabannya akan sama? Dia cuma pacar aku, gitu?" tanya Catur lebih ketus dari yang direncanakan.
"Kamu ini kenapa sih? Kok jadi aneh gini. Lagian aku sama Kak Rey nggak pacaran. Aku juga sebelumnya enggak punya pacar. Yang kamu maksud mantan itu siapa coba?"
Perkataan Allea ada benarnya juga. Kenapa ia harus membahas persoalan yang tidak penting begini. Otaknya tiba-tiba saja begitu mudah terkontaminasi dengan perasaan yang tidak bisa ia pahami.
Catur menggeleng beberapa kali. Melawan pertempuran hati dan pikirannya. "Udah lupakan. Anggap aja aku enggak pernah ngomong soal itu," kilahnya.
"Oh. Biar aku tebak." Allea menyipitkan kedua matanya. Membuat senyum tengilnya terbit. "Jangan-jangan kamu-,"
"Apa sih!" sahut Catur sambil mencoba untuk tidak memperlihatkan wajah gugupnya. Ia sudah kepalang malu saat ini.
Seolah menunggu ucapan dari Allea, Catur menelan salivanya amat berat. Saraf di keningnya berdenyut karena derasnya darah yang mengalir ke otak dan wajahnya.
"Jangan-jangan kamu suka lagi sama Kak Rey?" ujar Allea pada akhirnya.
Mata Catur membeliak tepat setelah ucapan Allea selesai. "Gila kamu. Aku masih normal tau!"
"Tenang aja. Nanti aku comblangin sama Kak Rey kalo kamu malu." Allea semakin terpingkal-pingkal. Dan itu menyelamatkan Catur betapa hatinya sudah sangat buncah. Lebih baik ia dikatakan begitu oleh Allea daripada tahu perasaan yang sebenarnya. Canggung bukanlah bagian dari apa yang diinginkan olehnya untuk bisa jauh lebih dekat lagi dengan gadis itu.