Chereads / Veintiséis (Dua Puluh Enam) / Chapter 10 - Sepuluh

Chapter 10 - Sepuluh

"Ibu tidak bisa mengantar kalian. Ibu harus cepat pulang. Anak Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa kan kalian tidak didampingi?" Bu Anjar berkata sambil membereskan buku-buku di mejanya. Terburu-buru ia memasukkan tumpukan kertas ke dalam tasnya.

Allea dan Catur saling pandang. Mau tidak mau, mereka harus mengiakan permintaan maaf Bu Anjar.

"Ya sudah, Bu. Tidak apa-apa. Semoga anak Ibu cepat sembuh." Catur berinisiatif mengakhiri pembicaraan mereka. Ia melirik ke arah jam dinding di ruang guru. Sudah pukul 7 pagi. Acara pukul 8. Ia ingin bisa sampai di tempat olimpiade sebelum jam 8 agar memiliki waktu untuk menghela napas dan menenangkan diri. "Kami berangkat dulu, Bu."

Allea menoleh dengan ragu ke arah tangannya yang digenggam oleh Catur. Sejurus kemudian, Catur yang sepertinya refleks menarik tangan Allea untuk berangkat bersama, langsung melepaskan genggaman tersebut.

"Maaf," ujarnya. Namun, Allea hanya terdiam sambil sedikit menggigit bibir bawahnya.

"Kita pakai apa ke tempat olimpiade?" tanya Allea kemudian.

"Mobilku."

"Yang mewah itu?" Penekanan Allea membuat Catur menghentikan langkahnya, lalu termenung. "Ya udah, nggak apa-apa. Kan nggak ada Bu Anjar." Allea berjalan riang ke arah tempat biasa Catur memarkirkan mobilnya. Catur pun mengekor.

Sebenarnya, suasana canggung masih tercipta di diri Catur karena kejadian kemarin sore. Bisa-bisanya ia memperlihatkan rasa cemburu kepada Allea. Untung saja, Allea sepertinya tidak terlalu paham perihal alasan kesalnya Catur pada gadis itu.

Lalu tadi, ia menggenggam tangan Allea. Ah, bodohnya! rutuk Catur di dalam hati.

Jalan menuju tempat diselenggarakannya olimpiade tampak lengang. Perjalanan mereka pun hanya ditemani sepi. Catur fokus menyetir, sedangkan Allea sibuk dengan buku catatan di genggamannya. Sesekali Catur melirik ke arah Allea yang tengah menyoret-nyoret bukunya. Terkaan Catur, mungkin Allea sedang mengerjakan soal.

"Nanti kita tidak diperbolehkan menggunakan kalkulator, ya?" tanya Allea mengagetkan Catur yang masih asik memandangi wajahnya. Saat itu, mereka sedang berhenti di lampu merah.

"Eh, euh, apa?" Catur menggosok-gosok telinga kirinya lalu kembali memegang kemudi.

"Serius amat liatin wajah aku sampai gugup gitu," goda Allea.

Ketahuan ternyata. Padahal, Catur pikir Allea tidak akan tahu. Kalau dirinya yang sedang melakukan aktifitas belajar seperti gadis itu, pasti konsentrasi hanya tertuju pada pelajaran, lain dengan Allea.

"Tadi kamu tanya apa, Lea?" ulang Catur. Ia berusaha mengembalikan pembahasan sekaligus menutupi wajahnya yang memerah seperti udang rebus.

"Nggak jadi, aku udah tahu jawabannya."

Catur memutar bola mata ketika mendengar jawaban Allea. "Sebentar lagi kita sampai."

Allea menatap ke arah kanan jalan. Gerbang SMK 1 terlihat ramai. Mendadak ia merasa mulas.

Catur menyalakan lampu sen. Ia berbelok perlahan dibantu oleh sekuriti sekolah. Jangan ditanya, ketika mobil Catur melewati kerumunan orang, tidak ada satupun yang memalingkan wajah ke arah lain selain mobil tersebut. Catur tahu resiko itu, tapi kan mau bagaimana lagi. Berangkat menggunakan angkutan umum malah akan riskan untuk terlambat.

Tangan Allea menyerahkan tas kecil milik Catur yang sedari tadi ia pegang. Catur malah lupa kalau ia menitipkan tas tersebut kepada Allea. Setelah memastikan keduanya membawa perlengkapan untuk olimpiade, mereka bersamaan turun dari mobil.

Pandangan di sekitarnya masih tertuju kepada mereka. Catur kikuk akan hal itu. Saat Allea menggandeng tangannya dan menatap sangat dekat dengan wajahnya, Catur mengubah gestur tidak percaya dirinya.

"Angkat kepalamu, Jagoan. Jangan sampai terlihat kalau kita ini tidak siap mengikuti lomba." Allea tidak berbisik pun tidak berteriak. Namun, suaranya membuat energi dan keyakinannya terisi sempurna. "Nggak usah malu karena kita pakai mobil itu. Malu lah kalau kita kalah."

Kembali Catur menoleh. Kenapa kalau kalah harus malu? Catur sibuk dengan pikirannya dan melupakan tangan Allea yang mengamit lengannya.

"Peserta yang baru datang diharapkan untuk registrasi ulang," teriak salah satu panitia yang berjaga di lobi SMK 1.

Beberapa orang langsung berkerumun ke meja panitia. Allea yang ikut berjalan ke arah panitia, langsung ditarik oleh Catur.

"Nanti aja. Masih antri," ujar Catur tenang. Allea pun menurut.

Setelah kerumunan berkurang, mereka berdua mengantri. Secara bergiliran, Allea dan Catur mengisi form. Panitia memberikan kartu tanda peserta yang bisa disematkan pada seragam.

Saat Allea melihat nomor urutan dan membandingkan dengan milik Catur, ia mengernyit. "Kok kita nggak berurutan, sih?" tanya Allea.

Catur melihat angka yang terpaut cukup jauh, Allea 105, Catur 120. Catur menanggapi dengan tenang. Memangkan kenapa kalau berjauhan, toh mengerjakan soal tetap masing-masing, kan?

Pertanyaan Allea yang tidak dijawab Catur, menggantung begitu saja. Hingga akhirnya Catur sadar akan perubahan di wajah Allea.

Allea terdiam, tidak lagi membuka buku, tidak lagi mengajaknya bicara. Raut itu tidak pernah Catur lihat sebelumnya. Meski begitu, Allea tidak melepaskan tautan tangannya pada Catur.

Melihat keceriaan yang hilang dari wajah Allea, membuat tangan Catur yang satunya menyentuh genggaman Allea. Saat tatapan berkaca-kaca muncul dari bola mata jernih milik Allea, Catur tersenyum dan mengelus lembut kepala gadis itu.

"Angkat kepalamu, Tuan Putri. Jangan sampai terlihat kalau kita ini tidak siap mengikuti lomba." Catur mencatut kalimat Allea. Senyum ragu pun tersungging dari bibir gadis tersebut. "Everything gonna be OK, Lea."

Pintu ruangan olimpiade terbuka. Semua orang berlarian masuk. Catur masih menggenggam tangan Allea untuk menahan agar keduanya tidak terdorong masuk dan terjatuh. Nanti saja, pikir Catur. Terburu-buru masuk seperti itu pun, tidak akan membuat mereka kehabisan kursi, kan. Toh semua memiliki tempatnya masing-masing.

Ketika Catur mulai melangkahkan kakinya, Allea masih ragu untuk bergerak. Mengetahui gestur seperti itu, membuat Catur merangkul Allea. Tidak ada gelenyar aneh apapun. Rangkulan itu hanya memantapkan hati Allea.

Catur tidak berjalan menuju kursinya, ia mencari urutan 105. Setelah memastikan Allea duduk dengan tenang, Catur beralih ke tempatnya.

Perlombaan dimulai. Para peserta dengan laptop di hadapannya, diminta untuk mengisi identitas berdasarkan apa yang tertera pada kartu. Masing-masing peserta belum boleh menekan tombol start agar bisa memulai perlombaan secara serentak. Kalaupun berbeda, tidak akan lebih dari 5 menit.

Allea menoleh ke belakang, mencari di mana Catur duduk. Tidak butuh waktu lama, tatapan keduanya langsung bertemu. Catur mengangguk dan tersenyum ke arah gadis tersebut. Allea membalasnya.

Terima kasih, Catur. Ini untuk kedua kalinya kamu menenangkan hatiku, gumam Allea.

-oOo-

Hasil akhir olimpiade muncul di layar laptop masing-masing. Namun, itu masih berupa nilai untuk setiap jawaban yang benar. Urutan peringkat bisa dilihat di luar, pada layar besar yang dihubungkan dengan infokus. Tentu saja itu membuat banyak orang berdesakkan mencari posisi peringkatnya masing-masing.

"Catur, sini! Kita lihat hasilnya." Allea melambaikan tangan. Keceriaannya sudah kembali.

"Nggak perlu." Untuk kesekian kalinya di hari ini, Catur menarik tangan Allea.

"Aku kan mau lihat," rengek Allea meskipun tetap mengikuti langkah kaki Catur yang menjauh dari kerumunan.

"Nih." Catur memperlihatkan ponselnya setelah melepaskan tangan Allea.

Mulut Allea membulat dan ia pun tertawa. Ia bahkan tidak tahu bahwa hasil akhir olimpiade akan langsung diunggah di media sosial oleh panitia. Catur memang teliti, imbuh Allea dalam hati.

Ketika melihat bersamaan, keduanya terkejut dan saling pandang.

"Ini serius?" Pertanyaan Allea tidak dijawab oleh Catur. Lebih tepatnya, Catur memang tidak tahu harus menjawab apa.