Pukul setengah tiga sore, Elis sudah siap berpakaian rapi,
mengenakan setelan kaus oblong berwarna
biru muda, celana jeans Panjang berwara biru gelap dan rambut diikat ekor kuda
tanpa poni.
"Elis, mau kemana kamu, Nak? Jam segini kok sudah rapi
saja?" tanya pak Ranu.
"Elis mau ikut perkumpulan dengan anak-anak karang taruna,
Pak. Mas Yoga masih aktif di sana, tidak?"
"Ya, Masih aktif." Dengan raut sedih dan bingung pak Ranu
menjawab pertanyaan putrinya berdasarkan fakta.
"Ibu di mana, Pak? Elis mau pamit." Gadis itu mengambil
sandal slop tranparan dengan alas berwarna hitam. Sangat cocok sekali dengan
penampilannya, dan kulitnya yang putih bersih.
"Ibu mu sedang pergi ke warung, Lis. Kalau kamu mau pergi,
biar bapak nanti yang izinkan."
"Baik, Pak. Terimakasih, ya Pak?" Gadis itu pun bersalaman
dan mencium punggung tangan kanan pria paruh baya itu, dan dengan langkah
pasti, serta wajah yang berseri-seri pergi meninggalkan rumah menuju
perkumpulan anak-anak karang taruna untuk melepas rindu pada mereka. Terkusus
adalah kekasihnya, Yoga.
"Elis, kamu yakin ma uke sana?" tanya pak Ranu dengan nada
berat dan terkesan menahan. Namun, juga terkesan ambigu.
Gadis itupun menoleh ke belakang melihat bapaknya.
"Iya pak, memangnya kenapa? Apakah ada masalah di sana?
Atau pergantian jadwal? Elis kehilangan kontaknya mas Yoga. Saat mencari di FB
juga sudah tidak ada. Mungkin dia sudah tidak menggunakan sosial media lagi,"
jawab gadis itu.
"Ya sudah, Nak. Kamu hati-hati, ya?" sahut pak Ranu, rasa
cemas dan khawatir tersirat jelas di wajahnya yang kian menua itu.
"Iya, Pak. Jangan lupa sampaikan pada ibu, ya?"
Pak Ranu hanya menjawab dengan beberapa kali anggukan, dan
melihat punggung Elis sampai lenyap dari pandangannya.
Dari pintu belakang, bu halimah memasuki rumah, karena toko
yang ia datangi letaknya memang ada di belakang rumah mereka. Jadi, ia tidak
berpapasan dengan Elis.
"Elis di mana, Pak?" tanya wanita paruh baya itu pada
suaminya.
"Elis pergi ke karang taruna, Bu."
"Kok bapak tidak mencegahnya?"
"Alasan apa yang akan bapak pergunakan, Bu? Buat mengatakan
kebenarannya juga bapak tidak tahu. Bapak tidak sanggup."
Keduanya pun hanya duduk lemas, membayangkan bagaimana
reaksi Elis nanti bertemu dengan Yoga.
***123
Elis mempercepat langkahnya saat memasuki halaman Gedung
balai desa yang biasa digunakan anak-anak karang taruna berkumpul.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumssalam!" Jawab anak-anak dan para pelatih di sana,
sambil menoleh ke sumber suara. Di sana, mereka melihat sosok gadis cantic,
dengan kulit putih membawa bungkusan kresek berisi gorengan.
Sebagian dari mereka ada yang ingat, ada pula yang lupa
dengan Elis. Namun, kebanyakan dari mereka juga pada ragu-ragu, mengingat
penampilan dan fisik Elis yang nampak jauh sangat berbeda.
"Siapa? Elis, ya?" ucap pria tampan dengan postur tinggi
besar dan berkulit kuning langsat.
Elis pun melangkah, mendekati mereka dan memberikan oleh-oleh
berupa makanan ringan dan gorengan yang ia beli ketika melewati pedagang
gorengan di pinggir jalan tadi.
"Iya, Mas. Ini aku, Elis. Kamu apa kabar?" jawab gadis itu
dengan sangat bahagia. Ia tak menyangka akhirnya bisa bertemu juga dengan
kekasihnya yang selama ini selalu ia rindukan.
Tapi, Yoga hanya diam dan terpaku saja melihat Elis di
depannya. Ia yang memang pada dasarnya sudah cantik dan jadi primadona di
kampungnya.
"Mas, Yoga kok diam saja? Kaget, ya? Kamu apa kabar?" tanya
Elis dengan senyumannya yang dulu selalu mapu mengalihkan dunia siapapun yang
melihatnya.
"Kabar aku baik. Gimana kabar kamu?" tanya Yoga dengan lirih
dan serba salah tingkah.
"Ayaaaaah!"