Sesuai janji, tepat jam duabelas siang, Elis sudah ada di
gang menunggu kedangan Marissa. Seperti biasa, Elis selalu datang lebih awal
sebelum janji. Ia tidak terbiasa membuat orang lain menunggu. Disiplin adalah
yang utama baginya.
"Elis, apakah kau sudah lama menunggu? Maaf, ya saya telat.
Tadi masih ada rapat, jadi sedikit menghambat," ucap Marissa saat ia menyadari kalau dia telat
selama limabelas menit.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa mengerti." Gadis itu tersenyum
lembut.
"Ya sudah, kita bicaranya cari tempat saja yu! Jangan di
sini, gak enak kalau dilihat orang."
"Bicara di mana, Bu?"
"Masuk sini, kita sekalian cari makan, temani saya makan
siang, ya Elis?" ucap Marissa sambil membukakan pintu mobil di sebelah kemudi.
Lalu kemudian, ia meminta Elis untuk masuk ke dalamnya.
"Memang kita mau kemana, Bu? Kenapa harus naik mobil
segela?" Elis merasa canggung dan tidk enak. Seumur-umur belum pernah dia masuk
dan menaiki mobil bagus. Apalagi semewah itu. Ia merasa minder dan tidak pantas
juga kihawatir mobilnya kotot. Tapi, sedikit pun, Marissa tidak menunjukan
ekspresi seperti itu, dia sangat close padanya. Tidak seperti orang kaya yang kebanyakan ia temui. Dengan
berat hati, akhirnya Elis pun masuk dan duduk di sana.
''Kemarin saat saya dan bapak ke tempat kamu, kamu bilang
nekat kemari ingin mencari uang banyak agar boisa melunasi hutang bapak kamu,
kan Elis?" ucap Marissa, membuka percakapan agara suasana menjadi cair tak
membeku.
"Iya, Bu. Cuma kondisinya saja yang membingungkan saya."
"Kamu keberatan jadi pekerja rumah tangga?"
"Tidak, Bu. Sama sekali tidak. Bukan itu alasan saya."
"Ya sudah. Nanti dijelaskan di sana jangan sungkan-sungkan,
ya?" ucap Marissa.
Sekitar lima menit menempuh perjalanan, mereka tiba di
sebuah café lesehan. Tempatnya memang enak buat nongkrong clasik, sederhana,
namun berkelas. Sekalipun Elis gadis desa, tapi ia bukan tidak akrab dengan
tempat seperti ini. Tempat dia tinggal adalah desa yang termasuk menjadi obyek
wisata yang terkenal dengan hasil kebun dan kerajinan tangannya. Jadi, meskipun
sedikit, dia sudah bisa beradap tasi dengan suasana tempat mewah tersebut.
Begitu ia dan bu Mrissa masuk ke dalam area caffe tersebut, ia melihat sosok
laki-laki paruh baya yang sudah tidak asing lagi baginya. Dia melambaikan
tangan kearahnya dan Bu Marissa sambil melempar senyuman.
"Oh, papi ada di sana," gumam bu Marissa, kemudian ia pun
berjalan ke arah suaminya sambil menggandeng lengan Elis tanpa rasa risih. Justru Elis lah yang merasa canggung dan tidak enak sendiri. Mungkin karena ia
merasa gembel dan yang menggandengnya adalah konglomerat.
"Maaf, Pih… Momy tadi yang telat... Elis bahkan sampai
kepanasan lo Pi."
"momy, sih, pake jam yang karet," sindir pak Doni sambil
menyembunyikan tawanya.
"Ih, Papi, suka nuduh… Momy tadi itu lagi ada rapat, Piiii."
"Uda, stop debat. Jadi gimana keputusan kamu Elis?" ucap pak
Doni, sambil memandang gadis belia yang duduk di sebelah istrinya.
"Maaf, Pk, Bu sebelumnya. Sebenarnya saya sangat
menginginkan pekerjaan yang anda tawarkan. Tapi, saya bisa bertahan samapi saat
ini di sini juga berkat pertolongan teman-teman saya yang ada di sana. Mana
mungkin saya tega meninggalkan mereka? Saya bisa bekerja enak hanya melakukan
pekerjaan rumah tanpa kepanasan. Untuk makan sehari-hari, saya pun tidak mikir
karena anda yang sudah nanggung dan gaji tiap bulan besar, juga pasti. Sementara
mereka? Terlebih Arini, bagaimana dengan nasib mereka?"
Marissa dan pak Doni diam sesaat, memikirkan kata demi kata
yang di ucapkan Elis. Mereka tidak
mungkin memperkerkjakan mereka semua di rumah. Tapi, di sisi lain, mereka
berfikir kalau Elis bukan tipe kacang lupa kulit.
"Kau kasian dengan mereka semua atau memiliki sahabat dekat
di sana?" tanya Marissa memecah keheningan.
"Sebenarnya orang yang paling berjasa dan membawa saya
pertama kali sudah tiada, dia jadi korban tabrak lari saat saya baru dua hari
di sini. Tapi, setelahnya ada seorang anak yang selalu menyemangati saya agar
tidak larut dalam duka dan kesedihan."
"Apa dia keberatan dengan kamu bekerja di rumah kami, Elis?"
"Sama sekali tidak, Bu. Selama kami masih bisa bertemu,
katanya."
Ya, sudah, kamu bisa pamit pada dia dan semua yang ada di
sana secara baik-baik, jika dia ada waktu luang, boleh lah kamu ajak main ke
rumah, selama itu tidak menganggu pekerjaanmu, bagaimana?" ucap Marissa lagi
sambil melihat kea rah suaminya.
"Serius, Bu?" tanya Elis, hampir tidak percaya. Secara
bergantian ia melihat kea rah pak Doni dan Bu Marissa.
Marissa dan suaminya hanya menjawab dengan tersenyum dan anggukan
saja. Mereka pun menikmati makan siang dengan penuh rasa bahagia. Dan sudah
ditentukan, Elis akan mulai bekerja tgl satu. Terhitung tiga hari lagi dari
sekarang. Selain memberi waktu pada Elis, Marissa juga menyiapkan tempat tidur
untuknya nanti dan juga memberi tahu Diana, kalau ia aka nada temannya di rumah
jika mereka pergi ke luar kota.
🍀🍀🍀
Hari ini tidak ada perjalanan kerja ke luar kota, pekerjaan
Marissa juga sudah selesai lebih awal dari biasanya. Begitu bel tanda jam kerja
berakhir, dengan cepat Marissa bergegas untuk pulang, Tak lupa ia juga menyapa
pada rekan kerja yang ada satu ruangan dengannya.
"Aku duluan, ya… Byeee!" ucap Marissa sambil melambaikan
tangannya.
Awalnya Marissa berfikir ia akan tiba lebih awal di rumah,
karena ia yakin, suaminya pasti jam segini baru keluar kantor. Tapi, dugaan itu
rupanya salah, sekitar setengah lima sore, ia tiba di rumah. Saat itu juga ia
melihat suami dan putri semata wayangnya tengah mengobrol bersama di depan
kursi teras, menunggu kedatangannya.
"Selamat sore Momy," sapa Diana dan juga pak Doni bersamaan.
"Selamat sore, Sayang. Papi kok bisa lebih dulu tiba di
rumah?" tanya Marissa penasaran.
"Ia, dong, Mi. Tadi itu papi survey lapangan, karena sudah
selesai jam tiga para tukang juga buyar, ya sudah. Papi gak balik lagi ke
kantor," jawab Pak Doni dengan santai.
"Oh, ya sudah, kalau begitu Momy akan menyiapkan makan malam
kita dulu, ya?"
Urusan masak memasak dan juga menyapu rumah pun selesai
lebih cepat. Sebab, pak Doni juga ikut membantu menyapu rumah, sementara Diana
putri mereka membantu momynya memasak di dapur sambil mencuci prabot dapur yang
baru saja digunakan. Pukul 18.20WIB mereka pun sudah duduk di meja makan
bersama. Seperti biasa, jika ada yang ingin dibahas atau dibicarakan bersama.
Momen saat makan malam lah yang tepat bagi mereka, karena salaha satu dari
mereka juga kebanyakan tidak ada acara lain di jam-jam seperti ini.
"Diana, mami sama papi ada rencana mau ambil pembantu untuk
bekerja di rumah kita," ucap Marissa memulai pembicaraan.
"Ya bagus, donk. Aku tidak perlu repot-repot bantu masak dan
beres-beres rumah." Tanpa peduli, Diana memasukan suapan demi suapan ke dalam
mulutnya.
"Ya sih. Tapi, kamu harus ingat, pembantu itu bukan budak,
Namanya aja pembantu, ya tukang bantu-bantu. Dia hanya membantu kita
meringankan pekerjaan. Kamu tetap harus menghargai dia dan jangan seenaknya
sendiri main perintah, jika ada perlu, ngomong tolong dengan baik-baik, ya?"
"Iya, Pi," jawab Diana sewot.
"Diana! Diaajak orang tua bicara kok begitu, kamu keberatan
papi dan mami ambil pembantu? Kalau iya biar kita cansel saja. Tapi, kamu
harus gantikan posisi dia saat dirumah, jika mami dan papi kembali dari kantor, rumah
harus bersih, makan malam juga harus siap."
"Ih, santai aja deh, Mi… Kenapa ngegas gitu?" jawab Diana
sambil meletakkan sendok dan juga garpunya di atas pirirng.
"Mami ini tidak ngegas, Diana. Kamu saja yang tidak punya
tata krama saat bicara sama orangtua. Momy harap kamu bisa banyak belajar
dengan pembantu kita nanti," jawab Marissa.
Sementara Diana mendesah kesal sambil memandang ke arah
papinya dengan tatapan melas. Pak Doni sebenarya tahu apa maksut putrinya itu apa. Tapi, karena tak
ingin memanjakan Diana, ia pun hanya diam dan malah membela istrinya kali ini.
Dia sadar, karena terlalu memanjakan anak, menjadikan Diana seperti itu. Jelas
saja karena salah didik.
"Diana, apa yang Momy katakana itu benar, Nak. Kau ini sudah
dewasa jangan bersikap seperti anak-anak. Nanti, kalau sudah ada kakak yang
bantuin kita di sini kamu banyak-banyak
belajar sama dia. Dia masih usia Sembilan belas tahun loh."
"Maksutnya Papi, dia lebih muda dari Diana,
tapi sangat pinter, gitu? Kalian ini nyariin guru Diana, apa pembantu, sih?"
Gadis itu pun menggeser kursi dengan kasar dan melangkah pergi menuju kamarnya
dengan cepat meninggalkan kedua orang tunya di meja makan.
Marissa dan Doni hanya geleng-geleng kepala dan saling
pandang saja. "Itu, anak emas Papi, dimanja terus jadinya ya kek begitu itu…
Kalau mamy mendidik sedikit keras dikata sayangnya Cuma setunggan selama ini."
"Iya, Mi… Maaf, papy memang yang salah," ucap Pak Doni
sambil menunduk dan melanjutkan makannya.
"Coba lihat Elis kek gimana, bandingin. Dari segi tata krama
dan sopan santunnya jauh beda sama anak kita. Selagi belum terlambat, bisa lah
kita didik bersama anak kita yang satu itu."
"Iya, Mamy sayang."
"Anak itu terlalu dikerasin atau dikasarin memang tidak
baik, Pi buat perkembangan dia. Tapi, ada kalanya juga kita itu ya harus tegas
pada mereka agar mereka jadi orang baik. Kenapa? Karena baik buruknya anak itu
bawa nama orang tunya. Contohnya saja anak psychopath di Sawahan kemarin
gimana? Orang tua kan yang kena dan jadi sorotan gimana sih kok bisanya punya
anak psychopath gitu? Nah, sekalinya lihat Elis, gimana? Orang tuanya yang dianggap
hebat, kan? Setelah tahu latar belakangnya dia kek apa, ya emak dia yang hebat.
Bapaknya gak."
"Iya, Momy yang paling cantik. Udah, lah! Ayok kita beresin
dan bujuk Diana," ucap Pak Doni, menutup perdebatan.