Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 25 - PULANG KAMPUNG

Chapter 25 - PULANG KAMPUNG

Diana hanya diam tak menjawab apa yang baru saja

Elis katakan. Ia pun juga merasa sedih saat Elis berkata demikian.

"Kamu mau kan maafin, aku?" ucap Elis, sekali lagi.

"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Lis? Apakah kamu

mau pulang kampung?" jawab Diana lirih.

"Iya. Mungkin bulan depan aku akan kembali."

"Aku juga minta maaf ya sama kamu? Selama ini aku

juga sering berbuat salah sama kamu. Kamun mau kan, maafin aku?"

Elis tersenyum. Kemudian berkata," Ya sudah. Kalau

gitu kita saling memafkan satu sama lain. Dan jangan lagi suka saling ngerjain lagi,

ya?"

Diana pun mendekat ke arah Elis dan memeluk tubuh

gadis itu.

Sejak saat itu, Elis dan Diana tidak pernah lagi

saling bermusuhan. Hubungan di antaranya sudah tidak lagi seperti TOM AND

JERRY. Tapi, bagaikan Micy dan Mini. Keduanya saling kompak dan saling ada, walau

kadang kala masih saja ada sedikit drama dan akhirnya timbul sedikit perdebatan.

Tapi, jika sudah, ya sudah. Mereka akan lebih mudah berdamai dari pada

berselisih.

Waktu berjalan kian cepat. Tanpa terasa, kurang

tiga hari lagi Elis sudah akan pulang kampung. Bahkan barang-barang pribadinya

juga sudah mulai ia packing agar tidak keteteran saat hari "H" nanti.

Untuk menghormati majikannya. Elis kembali pamit dan

meminta maaf lagi pada bu Marissa dan juga pak Doni saat di meja makan. Ketika

semua berkumpul dan tengah bersantai setelah menikmati makan malam.

"Pak, Bu. Saya minta maaf ya jika selama ini ada

banyak salah sama anda. Yang saya sengaja ataupun tidak. Kan, tiga hari lagi

saya sudah mau pulang," ucap Elis lirh.

"Ya, kami juga minta maaf ya? Hati-hati di sana

nanti. Jangan pernah lupakan kami," ucap Marissa. Kesedihan di wajahnya masih

saja nampak walau ia sudah berusaha keras untuk menutupinya.

"Iya, Bu. Insyaallah, Elis tidak akan pernah melupakan

kalian."

Sedangkan Diana yang duduk di ujung meja tepat di depan

Elis hanya diam saja tak ikut berbicara. Rasanya baru kemarin mereka berdamai.

Kok ya sudah berpisah saja.

Setelah semua orang masuk ked lam kamar

masing-masing. Diana merasa gelisah dan tak nyaman. Ia masih belum bisa percaya

kalau Elis akan kembali pulang secepat itu. Dan kenapa, ia juga tidak dari dulu

saja sadar, betapa baiknya gadis itu? Kalau saja ia tahu itu, ia pasti tidak

akan merasa semenyesal ini.

Diana beranjak mengambil stool yang ada di meja belajarnya,

ia menaiki dan mengambil sebuah box warna putih dari atas lemari. Kemudian, ia

membawanya ke kamar kedua orang tuanya.

"Took took took!" Perlahan Diana mengetuk pintu

kamar mereka dengan box di dalam genggaman tangan kirinya.

"Siapa? Masuk!" sahut pak Doni.

Diana perlahan membuka pintu kamar itu dan masuk.

"Pi, Mi. Kalian belum tidur?" tanya Diana, berbasa-basi.

"Oh, kamu, Din? Sini! Masuk! Ada apa?"

"gini, Pi. Kan Diana ada nih hp gak kepakai. Dari

pada nganggur, kan sayang, ya? Gimana kalau Diana berikan pada Elis? Bisa buat

kenang-kenangan, dan bisa buat berkomunikasi dengan kita? Kan selama ini dia

gak pernah punya Hp?"

"Kamu gak apa-apa memberikan itu padanya?'

"Tentu saja. Diana sadar kalau Elis itu baik."

"Ya sudah! Sana berikan padanya."

Diana pun kini menuju kamar Elis di sana ia

memberikan ponsel itu dan sekali lagi meminta maaf. Ia juga sedikit merayu agar

Elis tidak jadi pualng kampung. Tapi, Tekat Elis sudah bulat Jadi, permintaan

Diana dengan sangat berat harus ia abaikan demi cita-cita yang sudah ada di

depan mata.

***123

Diana dan kedua orang tuanya mengantarkan Elis

sampai stasiun. Begitu ada pemberitahuan kalau kereta api yang akan menuju ke Bandiung

akan berangkat kurang dari sepuluh menit lagi, Elis pun berpamitan. Bahkan ketika

ia berpelukan dengan Diana, Diana sempat menangis karena sedih dengan perpisahan

ini.

"Jangan pernah lupakan kami, Ya Lis? Kabari kami jikamkau

sudah tiba di sana nanti." Ucap Marissa dan Doni hampir bersamaan.

Dari jendela gerbong kereta, Elis melambaikan

tangan pada tiga orang itu sambil melemparkan senyumannya sampai, kereta pun

berjalan dan mereka tak lagi nampak dari pandangan Elis.

Karena keadaan kereta yang sepi, Elis membuka sedikit

amplop yang diberikan oleh bu Marissa tadi untuk mengintip isinya, saat di dalam

perjalanan menuju stasiun kereta.

Ia merasakan amplop itu sangat tebal dan setelah ia

intip, isinya Cuma berisi uang seratus ribuan saja.

"Hah, Gila. Berapa ini? Keknyan ada kalau sepuluh

juta," gumam Elis dalam hati.

"Elis, ini

kamu terima, Ya? Siapa tahu, kamu ada rencana buat buka usaha di des asana setelah

kamu menikah. Itu bisa kau jadikan modal."

Kata-kata Marissa masih saja terngiang di benak

Elis, senyuman tulus dan kebijak sanaan wanita paruh baya tiu, memberi kesan

tersendiri bagi Elis. Mungkin sampai ia tiba di kampung nanti ia juga akan

terus mengingatnya.

Tiga jam menempuh perjalanan. Elis pun akhirnya

tiba di kampung halamannya. Gadis itu memang tidak membeli banyak barang selain

untuk oleh-oleh. Dengan rambut lurus sepinggang yang dibiarkan terurai, dan

mengenakan celana jeans Panjang spatu sport putih dan kaus hitam dipadu dengan

jaket jeans biru terang, gadis itu melangkah menyeret kopernya berjalan

melewati jalan sawah menuju ke kediamannya yang tinggal kurang lebih limapuluh

meter lagi.

Perubahan penampilan serta kulitnya yang kini

menjadi putih bak artis kelas nasional. Rupanya, orang-orang sekitar pada

pangkling dengan Elis. Terlihat dari ekspresi mereka saat di sapa. Mereka benar

menyahutnya. Tapi, ya bingung. Karena tidak kenal. Namun, merasa seperti pernah lihat. Hanya saja kapan dan di mana, mereka tidak ingat.

Di sebuh rumah dengan halaman yang cukup luas Elis

menghentikan langkahnya. Ia mengamati setiap bagian rumah yang terjangkau oleh

matanya sampai beberapa detik, dan kemudian ia tersenyum. Rumah yang tidak

banyak berubah meski sudah dua tahun lebih lamanya ia tinggalkan.

Elis pun mempercepat langkahnya dan mengetuk pintu

dengan tidak sabar sambil mengucapkan salam. "Assalamualaikum," teriak Elis. Sambil

mendengarkan detakan jantungnya sendiri. Wajah ibunya terlihat dekat di

angannya bagaimana saat ia menangis mengantarkan keberangkatannya ketika kabur

dulu. 'Aku janji, ibu, Tangisanmu dulu, akan aku rubah dengan senyuman,' batin

gadis itu.

"Waalaikumssalam!" sahut seorang wanita dari dalam

rumah.

Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Di sana

berdiri seorang wanita paruh baya dengan tubuh sedang. Raut wajahnya menyiratkan

kesedihan. Tapi, begitu melihat siapa yang datang. Mata wanita itu yang tadinya

menyipit itu terlihat melebar, dan menatap Elis dengan pandangan tidak percaya.

Walaupun penampilan Elis sudah 100% berubah. Kulit

kusamnya dulu kini juga nmapak putih dan glowing. Rambut yang dulu pendek dan

kering kini juga terlihat subu, lebat, dan terawat sampai-sampai para

tetangganya pun pangkling. Tetap saja, seorang ibu tidak akan peenah bisa

dengan mudah melupakan anaknya. Wakau sudah bertahun-tahun lamanya berpisah

tanpa komunikasi.

"Elis? Inikah kamu, Nak?" ucap bu Mirna dengan air

mata yang berlinang.