Diana hanya diam tak menjawab apa yang baru saja
Elis katakan. Ia pun juga merasa sedih saat Elis berkata demikian.
"Kamu mau kan maafin, aku?" ucap Elis, sekali lagi.
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Lis? Apakah kamu
mau pulang kampung?" jawab Diana lirih.
"Iya. Mungkin bulan depan aku akan kembali."
"Aku juga minta maaf ya sama kamu? Selama ini aku
juga sering berbuat salah sama kamu. Kamun mau kan, maafin aku?"
Elis tersenyum. Kemudian berkata," Ya sudah. Kalau
gitu kita saling memafkan satu sama lain. Dan jangan lagi suka saling ngerjain lagi,
ya?"
Diana pun mendekat ke arah Elis dan memeluk tubuh
gadis itu.
Sejak saat itu, Elis dan Diana tidak pernah lagi
saling bermusuhan. Hubungan di antaranya sudah tidak lagi seperti TOM AND
JERRY. Tapi, bagaikan Micy dan Mini. Keduanya saling kompak dan saling ada, walau
kadang kala masih saja ada sedikit drama dan akhirnya timbul sedikit perdebatan.
Tapi, jika sudah, ya sudah. Mereka akan lebih mudah berdamai dari pada
berselisih.
Waktu berjalan kian cepat. Tanpa terasa, kurang
tiga hari lagi Elis sudah akan pulang kampung. Bahkan barang-barang pribadinya
juga sudah mulai ia packing agar tidak keteteran saat hari "H" nanti.
Untuk menghormati majikannya. Elis kembali pamit dan
meminta maaf lagi pada bu Marissa dan juga pak Doni saat di meja makan. Ketika
semua berkumpul dan tengah bersantai setelah menikmati makan malam.
"Pak, Bu. Saya minta maaf ya jika selama ini ada
banyak salah sama anda. Yang saya sengaja ataupun tidak. Kan, tiga hari lagi
saya sudah mau pulang," ucap Elis lirh.
"Ya, kami juga minta maaf ya? Hati-hati di sana
nanti. Jangan pernah lupakan kami," ucap Marissa. Kesedihan di wajahnya masih
saja nampak walau ia sudah berusaha keras untuk menutupinya.
"Iya, Bu. Insyaallah, Elis tidak akan pernah melupakan
kalian."
Sedangkan Diana yang duduk di ujung meja tepat di depan
Elis hanya diam saja tak ikut berbicara. Rasanya baru kemarin mereka berdamai.
Kok ya sudah berpisah saja.
Setelah semua orang masuk ked lam kamar
masing-masing. Diana merasa gelisah dan tak nyaman. Ia masih belum bisa percaya
kalau Elis akan kembali pulang secepat itu. Dan kenapa, ia juga tidak dari dulu
saja sadar, betapa baiknya gadis itu? Kalau saja ia tahu itu, ia pasti tidak
akan merasa semenyesal ini.
Diana beranjak mengambil stool yang ada di meja belajarnya,
ia menaiki dan mengambil sebuah box warna putih dari atas lemari. Kemudian, ia
membawanya ke kamar kedua orang tuanya.
"Took took took!" Perlahan Diana mengetuk pintu
kamar mereka dengan box di dalam genggaman tangan kirinya.
"Siapa? Masuk!" sahut pak Doni.
Diana perlahan membuka pintu kamar itu dan masuk.
"Pi, Mi. Kalian belum tidur?" tanya Diana, berbasa-basi.
"Oh, kamu, Din? Sini! Masuk! Ada apa?"
"gini, Pi. Kan Diana ada nih hp gak kepakai. Dari
pada nganggur, kan sayang, ya? Gimana kalau Diana berikan pada Elis? Bisa buat
kenang-kenangan, dan bisa buat berkomunikasi dengan kita? Kan selama ini dia
gak pernah punya Hp?"
"Kamu gak apa-apa memberikan itu padanya?'
"Tentu saja. Diana sadar kalau Elis itu baik."
"Ya sudah! Sana berikan padanya."
Diana pun kini menuju kamar Elis di sana ia
memberikan ponsel itu dan sekali lagi meminta maaf. Ia juga sedikit merayu agar
Elis tidak jadi pualng kampung. Tapi, Tekat Elis sudah bulat Jadi, permintaan
Diana dengan sangat berat harus ia abaikan demi cita-cita yang sudah ada di
depan mata.
***123
Diana dan kedua orang tuanya mengantarkan Elis
sampai stasiun. Begitu ada pemberitahuan kalau kereta api yang akan menuju ke Bandiung
akan berangkat kurang dari sepuluh menit lagi, Elis pun berpamitan. Bahkan ketika
ia berpelukan dengan Diana, Diana sempat menangis karena sedih dengan perpisahan
ini.
"Jangan pernah lupakan kami, Ya Lis? Kabari kami jikamkau
sudah tiba di sana nanti." Ucap Marissa dan Doni hampir bersamaan.
Dari jendela gerbong kereta, Elis melambaikan
tangan pada tiga orang itu sambil melemparkan senyumannya sampai, kereta pun
berjalan dan mereka tak lagi nampak dari pandangan Elis.
Karena keadaan kereta yang sepi, Elis membuka sedikit
amplop yang diberikan oleh bu Marissa tadi untuk mengintip isinya, saat di dalam
perjalanan menuju stasiun kereta.
Ia merasakan amplop itu sangat tebal dan setelah ia
intip, isinya Cuma berisi uang seratus ribuan saja.
"Hah, Gila. Berapa ini? Keknyan ada kalau sepuluh
juta," gumam Elis dalam hati.
"Elis, ini
kamu terima, Ya? Siapa tahu, kamu ada rencana buat buka usaha di des asana setelah
kamu menikah. Itu bisa kau jadikan modal."
Kata-kata Marissa masih saja terngiang di benak
Elis, senyuman tulus dan kebijak sanaan wanita paruh baya tiu, memberi kesan
tersendiri bagi Elis. Mungkin sampai ia tiba di kampung nanti ia juga akan
terus mengingatnya.
Tiga jam menempuh perjalanan. Elis pun akhirnya
tiba di kampung halamannya. Gadis itu memang tidak membeli banyak barang selain
untuk oleh-oleh. Dengan rambut lurus sepinggang yang dibiarkan terurai, dan
mengenakan celana jeans Panjang spatu sport putih dan kaus hitam dipadu dengan
jaket jeans biru terang, gadis itu melangkah menyeret kopernya berjalan
melewati jalan sawah menuju ke kediamannya yang tinggal kurang lebih limapuluh
meter lagi.
Perubahan penampilan serta kulitnya yang kini
menjadi putih bak artis kelas nasional. Rupanya, orang-orang sekitar pada
pangkling dengan Elis. Terlihat dari ekspresi mereka saat di sapa. Mereka benar
menyahutnya. Tapi, ya bingung. Karena tidak kenal. Namun, merasa seperti pernah lihat. Hanya saja kapan dan di mana, mereka tidak ingat.
Di sebuh rumah dengan halaman yang cukup luas Elis
menghentikan langkahnya. Ia mengamati setiap bagian rumah yang terjangkau oleh
matanya sampai beberapa detik, dan kemudian ia tersenyum. Rumah yang tidak
banyak berubah meski sudah dua tahun lebih lamanya ia tinggalkan.
Elis pun mempercepat langkahnya dan mengetuk pintu
dengan tidak sabar sambil mengucapkan salam. "Assalamualaikum," teriak Elis. Sambil
mendengarkan detakan jantungnya sendiri. Wajah ibunya terlihat dekat di
angannya bagaimana saat ia menangis mengantarkan keberangkatannya ketika kabur
dulu. 'Aku janji, ibu, Tangisanmu dulu, akan aku rubah dengan senyuman,' batin
gadis itu.
"Waalaikumssalam!" sahut seorang wanita dari dalam
rumah.
Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Di sana
berdiri seorang wanita paruh baya dengan tubuh sedang. Raut wajahnya menyiratkan
kesedihan. Tapi, begitu melihat siapa yang datang. Mata wanita itu yang tadinya
menyipit itu terlihat melebar, dan menatap Elis dengan pandangan tidak percaya.
Walaupun penampilan Elis sudah 100% berubah. Kulit
kusamnya dulu kini juga nmapak putih dan glowing. Rambut yang dulu pendek dan
kering kini juga terlihat subu, lebat, dan terawat sampai-sampai para
tetangganya pun pangkling. Tetap saja, seorang ibu tidak akan peenah bisa
dengan mudah melupakan anaknya. Wakau sudah bertahun-tahun lamanya berpisah
tanpa komunikasi.
"Elis? Inikah kamu, Nak?" ucap bu Mirna dengan air
mata yang berlinang.