Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 20 - ANAK MAJIKAN

Chapter 20 - ANAK MAJIKAN

Hari pertama bekerja di rumah orang kaya jelas membuat Elis

sedikit gerogi. Entah mengapa ia yang sudah mulai bisa beradaptasi dengan orang

yang akan jadi bosnya sejak dulu, tiba-tiba saja seperti bersama dengan orang

asing yang belum saling kenal sebelumnya.

"Elis, kenapa diam saja? Uda jangan Nervous, kami tidak akan

memberi pekerjaan yang membuat kamu merasa kwalahan, kok," ucap Marisa saat

melihat Elis dari spion tengah, ia nampak sangat tegang.

"Eh, iya, Bu," jawab Elis sambil tersenyum, dan menunduk.

Tak lama kemudian mobil berhenti di depan pagar putih dari

stanlees, sehingga nampak putih bersih, kilauan cahaya matahari yang memantul

di sana sangat ,menyilaukan mata. Dari luar saja sudah sangat terlihat, betapa

kayanya majikannya ini.

Begitu pagar dibuka lebar, dan mobil pun memasuki halaman

yang megah Elis kian terheran-heran akan kemegahan tempat tersebut, melihati

taman yang tertata rapi dan indah, sungguh menakjubkan.

'Wah, taman dalam rumah saja sudah seindah ini. Begini ya

kehidupan orang kaya, tak perlu jauh-jauh jalan-jalam ke tempat wisata, depan

rumahnya saja sudah setara dengan taman kota atau alun-alun,' batin Elis dalam

hati.

Belum hilang rasa kagumnya, Elis terkejut begitu pintu utama

terbuka. Ruang tamu. Ruangf tamu yang sangfat luas dan hiasan yang sekilas saja

sudah terlihat kalau se,muanya adalah benda mahal dan berharga.

"Ini rumah ibu sama bapak, Elis. Itu di sana ada kamar di

ujung itu nanti yang akan jadi kamar kamu, ya?" ucap pak Doni memberi tahu.

"Diana…. Din… Kemarilah, Nak. Ini Momy kenalkan  dengan kakak yang bekerja di sini," terika

Marissa. Satu dua sam[pai tiga kali teriakan Marissa tak mendapatkan sahutan.

Pak Doni pun  meminta istrinya

mengantarkan Elis ke kamarnya. Sedangkan dia mencoba melihat Diana di kamarnya.

Tapi, rupanya ia tidak ada. Padahal mobil putrinya ada. Tapi, ke mana dia?

Setelah meletakkan barang di dalam kamarnya, Marissa meminta

Elis untuk membuatkan dia dua cangkir teh hangan untuk dirinya sendiri dan juga

suaminya.

Sekitar lima menit, teh tersebut sudah tersaji. Elis

memberikannya pada Marissa dan bertanya pada wanita itu, apa yanh bisa dia

kerjakan lagi untuknya.

"Kamu duduk dulu di sini dulu, tunggu bapak kembali, ada

yang mau kita bicarakan mengenai gaji dan pekerjaanmu selama di sini."

"Baik, Bu," jawab Elis dengan pelan. Kemudian ambil posisi

duduk bersimpuh di atas lantai.

"Elis, kenapa duduk di lantai?" tanya Marissa sambil melihat

kea rah Elis.

"Tidak apa-apa, Bu. Yang pentingkan saya bisa mendengar dan

mengerti dengan bai kapa yang akan anda sampaikan pada saya nanti, kan?" jawab

Elis.

"Ya tapi gak enak, Lis> Sudahlah, tidak apa-apa, saya

kamu kita semua sama-sama manusia tidak ada yang beda. Jika kamu duduk di

bawah, maka saya juga."

"Jangan, Bu.. , Jangan! Saya hanya merasa sedikit gerah saja."

"diana tidak ada di rumah, Mih. Kata pak Jupri dia keluar

sekitar duapuluh menit sebelum kita tiba, katanya ada kepentingan di rumah

temannya," ucap pak Doni yang baru saja kembali dari halaman depan.

"Naik apa dia, kan mobilnya ada."

"Di jemput katanya." Pak Doni pun duduk di sebelah istrinya.

Marissa pun tak mau berbelit-belit membahas putrinya yang

memang dari dulu licin seperti belut, susah ditangkap dan ditemukan

keberadaannya, dan tidak bisa kalau harus anteng di rumah meskipun hanya

sebentar saja.

"Elis, bapak sam ibu berangkat ke kantor jam tujuh pagi,

jadi, usahakan sarapan sudah ada sebelum jam tujuh. Kami sarapan juga tidak

harus nasi, missal kamu bangun kesiangan kamu bisa lah menyiapkan roti bakar

dan susu, di kulkas dan lemari-lemari kitchen set sudah ada, tinggal kamu lihat

saja, kamu kuasai semuanya biar tidak bingung. Ke dua, kami tidak pernah makan

siang di rumah, jadi, untuk makan siang kamu Cuma menyiapkan untuk kamu, pak

jupri dan Diana jika dia ada di rumah. Dan urusan soal baju, lemari ada di

kamar masing-masing, untuk baju kantor jangan di lipet semua cukup di setrika

dan digantung saja, mengerti?''

"Baik, Bu. Insyaallah saya mengerti dan akan berusaha

melakukannya yang terbaik," jawab Elis pelan.

"Baik, tanyakan jika ada yang tidak kamu mengerti, missal

menu makan malam atau apalah itu, ya? Dan untuk gaji kamu, kami memberimu gaji

awal dua juta. Akan saya lihat setiap tiga bulan sekali nanti akan dinaikin,

kamu juga boleh ambil libur selama satu kali dalam sebulan, Jika kau tidak

ambil liburan kamu, akan saya ganti dengan uang duaratus ribu."

Setelah semuanya jelas, Elis pun mulai melakukan apa yang

bisa ia lakukan, Mulai dari menyetrika yang sudah menumpuk, karena selain semua

majikannya bekerja semua, memang belum pernah ada pembantu sekalipun, jadi,

semua murni dikerjakan sendiri.

Sekitar pukul tujuh malam, saat Marissa dan Doni sudah

berada di meja makan untuk mencicipi masakan pertama yang dimasak Elis, Diana

pun datang.

"Selamat malam, Papi… Selamat malam Momy? "

"Hay, Sayang . Kau sudah pulang? Dari mana saja?" sapa

Marissa sambil mencium kedua pipi putrinya.

"Tadi itu, Mita ajakin jalan, Mi. Dia dadakan banget,

tau-tau tekfon dan sudah ada di depan. Ya maaf, jadi lupa gak ngabarin Momy

sama Papi." Diana pun menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Kemudian

pandangannya  diedarkan pada hidangan yang tertata rapih di atas meja. Menu ala

café yang tak biasa ada di rumah dan nampak menggiurkan itu suksem membuat

Diana merasa berliur dan buru-buru mencobanya.

"Wow, ada yang special nih kayaknya. Acara apa, Mih? Ayam

bakar, gurami kipas, bandeng bakar isi sambal matah." Mata Diana nampak

bernafsu untuk melahap semua menu yang ada di hadapannya.

"ini kakak yang masak, Diana."

"Oh, ya? Kalian ini memperkerjakan orang biasa untuk jadi

asisten rumah tangga, apa seorang cef sih Pi, Mi?" timpal Diana, sambil

mengambil piring dan mulai menyendokkan nasi ke dalamnya.

"Ya, lebih tepatnya dia multi talenta. Kamu mau berkenalan sekarang?"

timpal pak Doni.

"Boleh, lah Pi. Di mana dia?"

"Elis, Kemarilah!"

Sementara Diana mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Nasi dengan gurami kipas saus coloke yang selalu jadi menu favoritnya saat ia

memesan makanan di café.

"Iya, Pak." Seketika

seorang gadis berkulit putih tinggi rambut tebal lurus sepinggang keluar dari

dapur, ia masih mengenakan celemek pink motif strawberry.

"Elis, perkenalkan, ini Diana putri kami," jawab pak Doni

dengan bangga.

Seketika Diana mengankat wajahnya dan melihat ke arah Elis.

Secara bersamaan dua gadis itu saling tjunnuk dan berkata "KAMU?"

Marissa dan Doni nampak bingung dan saling pandang. Secara

bersamaan juga, mereka bertanya kepada dua anak gadis tersebut. "Apakah kalian

saling kenal?"

Elis memalingkan wajahnya sambil tersenyum kecut. Sedikit

pun ia tidak pernah menyangka kalau Bu Marissa dan Pak Doni adalah orang tua

dari gadis aneh dan menyebalkan ini.

"Pih, Mi… Kalian kenal dia di mana, sih? Dia itu gembel, Mi…

Gembel. Memang kalian tidak bisa gitu ambil dari Yayasan kusus pembantu dan

baby sitter, kan di sana jelas data diri dan identitas setiap orangnya dan juga

pasti terlatih. La ini, asal mungut anak jalanan yang tidak tahu dari mana asal

usulnya."

"Diana! Jaga etika kamu saat bicara, jangan asal jeplak."

"Kan, Momy lebih belain dia dari pada anak sendiri. Yang

anak Momy tuh aku, bukan dia," ucap Diana kesal, kemudian ia bersendeku dan

membantingkan diri pada kursi di meja makan tersebut.

"Diana, kamu tenang, ya? Apakah kalian sebelumnya sudah kenal?"

tanya pak Doni pada putri semata wayangnya. "Elis, kau kemarilah. Mari kita

bicarakan bersama, ada masalah apa sebenarnya di antara kalian berdua?" imbuh

pak Doni.

"Idih… Kenal dia? Amit-amit. Diana ya tidak level lah sama

sama gembel kek gitu," cetus Diana sambil menatap sinis ke arah Elis.

"Lalu kenapa kalian seperti seolah sudah saling kenal

begitu?" tanya Pak Doni penuh selidik.

"Dia, itu Pih gak punya etika maen seenaknya saja. Gimana

aku gak sebel coba sama dia, la wong dia masukin sampah ke dalam mobilku,"

jawab Diana membela diri.

Sementera Elis hanya tersenyum saja mendengar jawaban gadis

menyebalkan di depannya itu. Sungguh dia tidak menyangka sama sekali, kalau

keduaa orang tua Diana begitu baik. Ini salah didik atau dia saja yang memang

mengalami kelainan jadi susah diatur kaya anak liar begini.

"Elis, apa benar, kamu sebelumnya pernah memasukan sampah ke

dalam mobil Diana?" tanya Pak Doni.

"Iya, Pak. Benar," jawab Elis dengan tenang.

"Kan, benar, Pih. Sudah usir saja si cewek liar ini, kalau

perlu biar aku saja yang mencarikan pembantu di Yayasan," cetus Diana.

Marissa yang sedari tadi mengamati Elis dan putrinya

mengambil kesimpulan lain. Elis bisa menjawab pertanyaan suaminya dengan jujur

dan tanpa beban, bahkan rasa takut sediitpun. Padahal ini bisa saja mengancam

posisinya dan membuat ia kehilangan pekerjaan ini. Tapi, kenap dia tidak

gentar?

"Lalu, apa alasan kamu membuang sampah ke dalam mobil Diana,

Elis?" tanya Marissa penasaran.

"Maaaf, Bu. Saya kesal melihatnya. Sudah tahu ada wanita tua

yang menjadi petugas kebersihan memungut sampah di sebelah mobilnya untuk

dimasukin ke tong sampah, ia malah membuang sampah dari mobilnya secara

bertahap ke luar. Kan, menyita waktu ibu itu banget. Jadi, saya ambil saja

sampah itu lagi dari tong sampah dan saya masukan ke dalam mobilnya, agar dia

bisa berfikir dan intropeksi diri."

Begitu mendengar jawaban dari Elis pak Doni dan bu Marissa

langsung menatap Diana dengan tatapan dingin. "Apa benar demikian Diana?" tanya

pak Doni.

Diana nampak kelabakan. Ia tahu, momynya pernah belajar ilmu

psycolog, jadi, membohonginya sama halnya dengn menggali liang lahat sendiri.

Karena, sejak kecil ia tidak diajarkan untuk berbohong. Jika kedapatan

berbohong,  konsekwensi yang didapat juga

sangat berat.

"Maafin Diana, Mi, Pi."

Elis hanya tersenyum kecil ketika mendapati gadis sombong

dan sok berkuasa itu melempem di hadapannya.

"Mulai saat ini, Mami sama Papi minta kalain harus

baik-baik, teruatama kamu, Diana, jangan mentang-mentang kau bos. Di rumah ini

semuanya sama. Ingat! Elis hanya pembantu dan tugasnya hanyalah membantu, dia

bukan sesuruhan apalagi budak. Kamu tidak boleh memerintah seenak kamu sendiri,

karena Momy dan Papi akan terus awasi kalian."

**

Malam ini Diana merasa sangat jengkel sekali, bagaimana

tidak? Ia bisa serumah dengan cewek dekil yang ia benci, sekalipun hanya

pembantu, tetap saja ia tidak bisa menindas. Karena kedua orang tuanya

cenderung ada di pihak Elis.

"Mau tinggal di sini dengan mudah? Jangan mimpi! Aku akan

mengerjaimu agar kau menyerah dan tidak betah lagi tin ggal di sini dan pergi

jadi gelandangan lagi," umpat Diana seorang diri.

Malam itu Elis merebahkan tubuhnyaq di ranjangnya yang

empuk, bersih dan sangat nyaman. Bahkan lebih nayman dan bagus dari kamarnya

saat ada di kampung dulu. Apalagi jika dibandingkan dengan tempat di pinggiran

sungai saat menjadi gelandangan kemarin. Jelas sangat jauh.

"Akhirnya bisa rebahan juga, lelah banget. Tidak apa-apa,

aku lakukan demi ibu, dan kamu, mas Yoga." Gadis itu tersenyum seorang diri

sambil memandangi sebuah foto berukuran  3R di tangannya.

**

Usai melaksanakan ibadah Sholat Subuh, Elis memasukan cucian

ke dalam mesin cuci matick satu tabung dan kemudian meninggalkannya ke dapur.

Ia menyiapkan sarapan agar saat semua majikannya sudah bersiap, ia tidak begitu

tergesa-gesa dibuatnya.

Diana yang terbiasa bangun jam enam pagi, ia selalu

bermalas-malasan terlebih dahulu sebelum memulai aktifitasnya. Gadis itu

berguling-guling di atas kasur dengan tubuh terbungkus  dengan badcover yang ia jadikan selimut.

Mulanya dia terlalu asik stalking media social mantannya

dengan menggunakan akun abal-abalnya. Tapi, ketika melihat foto dirinya bersama

Aldo di depan rumah sakit tempat ia magang dulu, membuatnya teringat dengan

Elis. Ia merasa sebal dengan gadis itu. Bahkan,  ia juga merasa kalau ia bisa putus dengan Aldo juga gara-gara Elis.

Diana pun segera bangun, meninggalakan kamarnya dan menuju

ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Kemudian, ia berjalan pelan mengintip

Elis yang tengah memasak di dapur.

"Masa kapa?" tanya Diana dengan tatapan angkuh dan sombongnya.

Elis terkejut dengan kedatangan gadis liar itu, ia bingung

harus memanggilnya apa. Sebab, ia sadar apa posisi dia di sini. Hanya pembantu,

bahkan, ia juga merasakan aura tidak nyaman dengan kedatangan satu makhluk ini.

Bagaimana tidak… Tatapan matanya saja seperti itu.

"E… Ini, Non… Saya bikin nasi uduk, ada perkedel kentang,

ayam bakar sambal terasi dan sambal goreng tempe kering,' jawab Elis sambil

tergagap.

Diana tercengang melihat ada banyak hidangan di depannya sudah

mirip warteg saja. Sepagi ini? Dia sudah mampu menyelesaikan banyak masakan,

bangun jam berapa dia memangnya? Guman Diana dalam hati.

"Jam berapa kamu bangun?" tanya gadis itu sambil melihat

tangan Elis yang dengan lincah mendadar telur dan menggorengnya tipis di atas Teflon

dan api kecil.

"Jam berapa ya tadi lupa? Habis sholat subuh, saya memasukan

cucian ke dalam mesin cuci, kemudian saya tinggal masak."

Bunyi mesin cuci dari atas terdengar nyaring dari dapur, tanda

kalau pakaian yang sudah hampir satu jam lamanya tadi dimasukan Elis ke sana

sudah siap untuk di jemur. Tanpa pikir Panjang, Elis pun berlari menaiki tangga

untuk mengeluarkan pakaian tersebut dan memasukan pakaian lainnya. Agar nanti,

saat sarapan sudah beres dan semua majikannya sarapan, ia bisa dengan tenang

menjembur baju-baju tersebut.

Tapi, dasar Diana yang jailnya tiada henti, ia nemu saja

cara untuk menjaili Elis, ia tahu, lima menit lagi papi dan momynya sudah akan

sarapan, jadi, ia menyalakan kompor yang diatasnya terdapat Teflon dengan

teelur yang tadi sempat Elis matikan. Dan adonan telur dadaar dalam mangkuk

dengan sengaja ia tumpahkan ke atas lantai.

"Hehehe, selamat bekerja keras abu(babu/pembantu) … Nikmati

aja susahnya hillangin amis telur di lantai dapur," gumamnya sambil berlari

kembali ke kamarnya.

Marissa yang sudah rapih dan siap hendak pergi ngantor, ia

mencium aroma aneh dari dalam dapur. Karena penasaran dan takut ada yang

gosong, ia mencoba mengeceknya.  Betapa

terkejutnya Marissa saat mendapati dapurnya penuh dengan kepulan asap, sebuah

api bersarang di atas Teflon yang berada di atas kompor. Tidak hanya itu, ia

bahkan sempat tergelincir oleh telur yang sengaja ditumpahkan Diana di atas

lantai. Walau tidak sampai jatuh, cukuplah membuatnya sport jantung dan kian

takut.

"Eliiiis! Kamu di mana?" teriak Marissa.

Tak lama kemudian, Elis turun dari atas tangga dan tak kalah

terkejutnya melihat apa yang terjadi di dapur, bagaimana bisa begini? Bukankah

sebelum aku pergi tadi kompor sudah kumatikan? Lalu, di mana, Diana?

Dengan cepat, Eis mengambil keset, memmbasihinya dengan air

dan menutupkan ke atas api, dan mematikan kompornya. Seketika api pun padam,

hanya tersisa asab tebal yang membuat pandangan kabur dan napas sesak.

Dari dalam kamarnya, Diana tertawa puas saat mendengar

teriakan Momynya. "Mampus kau.  Dengan

begini, jangan harap bisa ambil simpatik dari Momy lagi," umpatnya.

Kemudian, Marissa meminta Elis membuka jendela dan  menyalakan brower yang terdapat di atas

jendela tersebut dan pergi meninggalkan dapur sambil ngomel.

"Kemarin sudah saya katakana. Kalau masak itu ya kamu fokus

aja ke sinimjangan ke mana-mana. Ngelakuin pekerjaan satu-satu saja tidak usah

keburu. Kalau memang mendesak dan harus di tinggal, kamu matkikan kompor dulu.

Sudah ditnggal ke atas, nyala kompor gede banget. Kamu jangan teledor, gitu

dong? Inia pi, kalau sampai membakar semuanya, yah angus tak bersisa seisi

rumah ini."

Elis menunduk. Ia masih ingat betul, tadi kompor itu

benar-benar mati dan bahkan, bagaimana bisa telur  dadar itu berserakan di lantai dapur? Bukannya

tadi berada di atas kitchen set? Jika mwmang telur itu jatuh, harunya mangkok

ada di bawah, pecah. Tapi, kenapa baik-baik saja di atas? Elis menghapus air

matanya. Kemudian membawa satu persatu hidangan yang sudah ia sajikan ke meja

makan. Di sana, Ia melihat Marissa sekilas, ia tampak benar-benar marah Elis

sengaja membiarkan dapur itu tetap seperti itu sampai majikannya

mengintrogasinya.

"Ada apa ini, Mih? Pagi-pagi kok banyak asap? Apa gunung semeru

sedang erupsi?'' canda pak Doni yang belum tahu masalahnya.

Taka da jawaban dari istrinya selain wajah cuek dan cemberut.

Hanya saja setelahnya, Elis membawa makanan dari dapur dengan mata yang merah

dan sembab. 'Ada apa ini?' pak Doni mulai bertanya-tanya dalam hatinya.

"Ada apa, Mih?" tanya pak Doni dengan pelan.

Marissa masih enggan

menjawab, sampai Elis kembali membawa nampan berisi tiga cangkir the, satu teko

air outih dan tiga gelas kosong di sana. Bersamaan dengan itu, Diana muncul

dari kamar sambil terbatuk-batuk dan mengibaskan tangannya di depan hidungnya.

"Uhuuuk… Uhhuuuk… Apaan ini, Mih? Banyak banget asab?

Bakar-bakar sampah, apa rumah? Begini nih, kalau memperkerjakan pemulung… Bego."

Seketika pak Doni langsung menatap tajam ke arah Diana, sedangkan Elis, hanya diam menunduk. dan Marissa masih dalam emosinya yang memuncak.

Merasa ada kejanggalan, Pak Doni pun melemparkan pertanyaan pada putrinya, "Diana, kamu baru saja dari kamar. Bagaimana bisa tahu, kalau ada kebakaran?"