Hari pertama bekerja di rumah orang kaya jelas membuat Elis
sedikit gerogi. Entah mengapa ia yang sudah mulai bisa beradaptasi dengan orang
yang akan jadi bosnya sejak dulu, tiba-tiba saja seperti bersama dengan orang
asing yang belum saling kenal sebelumnya.
"Elis, kenapa diam saja? Uda jangan Nervous, kami tidak akan
memberi pekerjaan yang membuat kamu merasa kwalahan, kok," ucap Marisa saat
melihat Elis dari spion tengah, ia nampak sangat tegang.
"Eh, iya, Bu," jawab Elis sambil tersenyum, dan menunduk.
Tak lama kemudian mobil berhenti di depan pagar putih dari
stanlees, sehingga nampak putih bersih, kilauan cahaya matahari yang memantul
di sana sangat ,menyilaukan mata. Dari luar saja sudah sangat terlihat, betapa
kayanya majikannya ini.
Begitu pagar dibuka lebar, dan mobil pun memasuki halaman
yang megah Elis kian terheran-heran akan kemegahan tempat tersebut, melihati
taman yang tertata rapi dan indah, sungguh menakjubkan.
'Wah, taman dalam rumah saja sudah seindah ini. Begini ya
kehidupan orang kaya, tak perlu jauh-jauh jalan-jalam ke tempat wisata, depan
rumahnya saja sudah setara dengan taman kota atau alun-alun,' batin Elis dalam
hati.
Belum hilang rasa kagumnya, Elis terkejut begitu pintu utama
terbuka. Ruang tamu. Ruangf tamu yang sangfat luas dan hiasan yang sekilas saja
sudah terlihat kalau se,muanya adalah benda mahal dan berharga.
"Ini rumah ibu sama bapak, Elis. Itu di sana ada kamar di
ujung itu nanti yang akan jadi kamar kamu, ya?" ucap pak Doni memberi tahu.
"Diana…. Din… Kemarilah, Nak. Ini Momy kenalkan dengan kakak yang bekerja di sini," terika
Marissa. Satu dua sam[pai tiga kali teriakan Marissa tak mendapatkan sahutan.
Pak Doni pun meminta istrinya
mengantarkan Elis ke kamarnya. Sedangkan dia mencoba melihat Diana di kamarnya.
Tapi, rupanya ia tidak ada. Padahal mobil putrinya ada. Tapi, ke mana dia?
Setelah meletakkan barang di dalam kamarnya, Marissa meminta
Elis untuk membuatkan dia dua cangkir teh hangan untuk dirinya sendiri dan juga
suaminya.
Sekitar lima menit, teh tersebut sudah tersaji. Elis
memberikannya pada Marissa dan bertanya pada wanita itu, apa yanh bisa dia
kerjakan lagi untuknya.
"Kamu duduk dulu di sini dulu, tunggu bapak kembali, ada
yang mau kita bicarakan mengenai gaji dan pekerjaanmu selama di sini."
"Baik, Bu," jawab Elis dengan pelan. Kemudian ambil posisi
duduk bersimpuh di atas lantai.
"Elis, kenapa duduk di lantai?" tanya Marissa sambil melihat
kea rah Elis.
"Tidak apa-apa, Bu. Yang pentingkan saya bisa mendengar dan
mengerti dengan bai kapa yang akan anda sampaikan pada saya nanti, kan?" jawab
Elis.
"Ya tapi gak enak, Lis> Sudahlah, tidak apa-apa, saya
kamu kita semua sama-sama manusia tidak ada yang beda. Jika kamu duduk di
bawah, maka saya juga."
"Jangan, Bu.. , Jangan! Saya hanya merasa sedikit gerah saja."
"diana tidak ada di rumah, Mih. Kata pak Jupri dia keluar
sekitar duapuluh menit sebelum kita tiba, katanya ada kepentingan di rumah
temannya," ucap pak Doni yang baru saja kembali dari halaman depan.
"Naik apa dia, kan mobilnya ada."
"Di jemput katanya." Pak Doni pun duduk di sebelah istrinya.
Marissa pun tak mau berbelit-belit membahas putrinya yang
memang dari dulu licin seperti belut, susah ditangkap dan ditemukan
keberadaannya, dan tidak bisa kalau harus anteng di rumah meskipun hanya
sebentar saja.
"Elis, bapak sam ibu berangkat ke kantor jam tujuh pagi,
jadi, usahakan sarapan sudah ada sebelum jam tujuh. Kami sarapan juga tidak
harus nasi, missal kamu bangun kesiangan kamu bisa lah menyiapkan roti bakar
dan susu, di kulkas dan lemari-lemari kitchen set sudah ada, tinggal kamu lihat
saja, kamu kuasai semuanya biar tidak bingung. Ke dua, kami tidak pernah makan
siang di rumah, jadi, untuk makan siang kamu Cuma menyiapkan untuk kamu, pak
jupri dan Diana jika dia ada di rumah. Dan urusan soal baju, lemari ada di
kamar masing-masing, untuk baju kantor jangan di lipet semua cukup di setrika
dan digantung saja, mengerti?''
"Baik, Bu. Insyaallah saya mengerti dan akan berusaha
melakukannya yang terbaik," jawab Elis pelan.
"Baik, tanyakan jika ada yang tidak kamu mengerti, missal
menu makan malam atau apalah itu, ya? Dan untuk gaji kamu, kami memberimu gaji
awal dua juta. Akan saya lihat setiap tiga bulan sekali nanti akan dinaikin,
kamu juga boleh ambil libur selama satu kali dalam sebulan, Jika kau tidak
ambil liburan kamu, akan saya ganti dengan uang duaratus ribu."
Setelah semuanya jelas, Elis pun mulai melakukan apa yang
bisa ia lakukan, Mulai dari menyetrika yang sudah menumpuk, karena selain semua
majikannya bekerja semua, memang belum pernah ada pembantu sekalipun, jadi,
semua murni dikerjakan sendiri.
Sekitar pukul tujuh malam, saat Marissa dan Doni sudah
berada di meja makan untuk mencicipi masakan pertama yang dimasak Elis, Diana
pun datang.
"Selamat malam, Papi… Selamat malam Momy? "
"Hay, Sayang . Kau sudah pulang? Dari mana saja?" sapa
Marissa sambil mencium kedua pipi putrinya.
"Tadi itu, Mita ajakin jalan, Mi. Dia dadakan banget,
tau-tau tekfon dan sudah ada di depan. Ya maaf, jadi lupa gak ngabarin Momy
sama Papi." Diana pun menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Kemudian
pandangannya diedarkan pada hidangan yang tertata rapih di atas meja. Menu ala
café yang tak biasa ada di rumah dan nampak menggiurkan itu suksem membuat
Diana merasa berliur dan buru-buru mencobanya.
"Wow, ada yang special nih kayaknya. Acara apa, Mih? Ayam
bakar, gurami kipas, bandeng bakar isi sambal matah." Mata Diana nampak
bernafsu untuk melahap semua menu yang ada di hadapannya.
"ini kakak yang masak, Diana."
"Oh, ya? Kalian ini memperkerjakan orang biasa untuk jadi
asisten rumah tangga, apa seorang cef sih Pi, Mi?" timpal Diana, sambil
mengambil piring dan mulai menyendokkan nasi ke dalamnya.
"Ya, lebih tepatnya dia multi talenta. Kamu mau berkenalan sekarang?"
timpal pak Doni.
"Boleh, lah Pi. Di mana dia?"
"Elis, Kemarilah!"
Sementara Diana mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Nasi dengan gurami kipas saus coloke yang selalu jadi menu favoritnya saat ia
memesan makanan di café.
"Iya, Pak." Seketika
seorang gadis berkulit putih tinggi rambut tebal lurus sepinggang keluar dari
dapur, ia masih mengenakan celemek pink motif strawberry.
"Elis, perkenalkan, ini Diana putri kami," jawab pak Doni
dengan bangga.
Seketika Diana mengankat wajahnya dan melihat ke arah Elis.
Secara bersamaan dua gadis itu saling tjunnuk dan berkata "KAMU?"
Marissa dan Doni nampak bingung dan saling pandang. Secara
bersamaan juga, mereka bertanya kepada dua anak gadis tersebut. "Apakah kalian
saling kenal?"
Elis memalingkan wajahnya sambil tersenyum kecut. Sedikit
pun ia tidak pernah menyangka kalau Bu Marissa dan Pak Doni adalah orang tua
dari gadis aneh dan menyebalkan ini.
"Pih, Mi… Kalian kenal dia di mana, sih? Dia itu gembel, Mi…
Gembel. Memang kalian tidak bisa gitu ambil dari Yayasan kusus pembantu dan
baby sitter, kan di sana jelas data diri dan identitas setiap orangnya dan juga
pasti terlatih. La ini, asal mungut anak jalanan yang tidak tahu dari mana asal
usulnya."
"Diana! Jaga etika kamu saat bicara, jangan asal jeplak."
"Kan, Momy lebih belain dia dari pada anak sendiri. Yang
anak Momy tuh aku, bukan dia," ucap Diana kesal, kemudian ia bersendeku dan
membantingkan diri pada kursi di meja makan tersebut.
"Diana, kamu tenang, ya? Apakah kalian sebelumnya sudah kenal?"
tanya pak Doni pada putri semata wayangnya. "Elis, kau kemarilah. Mari kita
bicarakan bersama, ada masalah apa sebenarnya di antara kalian berdua?" imbuh
pak Doni.
"Idih… Kenal dia? Amit-amit. Diana ya tidak level lah sama
sama gembel kek gitu," cetus Diana sambil menatap sinis ke arah Elis.
"Lalu kenapa kalian seperti seolah sudah saling kenal
begitu?" tanya Pak Doni penuh selidik.
"Dia, itu Pih gak punya etika maen seenaknya saja. Gimana
aku gak sebel coba sama dia, la wong dia masukin sampah ke dalam mobilku,"
jawab Diana membela diri.
Sementera Elis hanya tersenyum saja mendengar jawaban gadis
menyebalkan di depannya itu. Sungguh dia tidak menyangka sama sekali, kalau
keduaa orang tua Diana begitu baik. Ini salah didik atau dia saja yang memang
mengalami kelainan jadi susah diatur kaya anak liar begini.
"Elis, apa benar, kamu sebelumnya pernah memasukan sampah ke
dalam mobil Diana?" tanya Pak Doni.
"Iya, Pak. Benar," jawab Elis dengan tenang.
"Kan, benar, Pih. Sudah usir saja si cewek liar ini, kalau
perlu biar aku saja yang mencarikan pembantu di Yayasan," cetus Diana.
Marissa yang sedari tadi mengamati Elis dan putrinya
mengambil kesimpulan lain. Elis bisa menjawab pertanyaan suaminya dengan jujur
dan tanpa beban, bahkan rasa takut sediitpun. Padahal ini bisa saja mengancam
posisinya dan membuat ia kehilangan pekerjaan ini. Tapi, kenap dia tidak
gentar?
"Lalu, apa alasan kamu membuang sampah ke dalam mobil Diana,
Elis?" tanya Marissa penasaran.
"Maaaf, Bu. Saya kesal melihatnya. Sudah tahu ada wanita tua
yang menjadi petugas kebersihan memungut sampah di sebelah mobilnya untuk
dimasukin ke tong sampah, ia malah membuang sampah dari mobilnya secara
bertahap ke luar. Kan, menyita waktu ibu itu banget. Jadi, saya ambil saja
sampah itu lagi dari tong sampah dan saya masukan ke dalam mobilnya, agar dia
bisa berfikir dan intropeksi diri."
Begitu mendengar jawaban dari Elis pak Doni dan bu Marissa
langsung menatap Diana dengan tatapan dingin. "Apa benar demikian Diana?" tanya
pak Doni.
Diana nampak kelabakan. Ia tahu, momynya pernah belajar ilmu
psycolog, jadi, membohonginya sama halnya dengn menggali liang lahat sendiri.
Karena, sejak kecil ia tidak diajarkan untuk berbohong. Jika kedapatan
berbohong, konsekwensi yang didapat juga
sangat berat.
"Maafin Diana, Mi, Pi."
Elis hanya tersenyum kecil ketika mendapati gadis sombong
dan sok berkuasa itu melempem di hadapannya.
"Mulai saat ini, Mami sama Papi minta kalain harus
baik-baik, teruatama kamu, Diana, jangan mentang-mentang kau bos. Di rumah ini
semuanya sama. Ingat! Elis hanya pembantu dan tugasnya hanyalah membantu, dia
bukan sesuruhan apalagi budak. Kamu tidak boleh memerintah seenak kamu sendiri,
karena Momy dan Papi akan terus awasi kalian."
**
Malam ini Diana merasa sangat jengkel sekali, bagaimana
tidak? Ia bisa serumah dengan cewek dekil yang ia benci, sekalipun hanya
pembantu, tetap saja ia tidak bisa menindas. Karena kedua orang tuanya
cenderung ada di pihak Elis.
"Mau tinggal di sini dengan mudah? Jangan mimpi! Aku akan
mengerjaimu agar kau menyerah dan tidak betah lagi tin ggal di sini dan pergi
jadi gelandangan lagi," umpat Diana seorang diri.
Malam itu Elis merebahkan tubuhnyaq di ranjangnya yang
empuk, bersih dan sangat nyaman. Bahkan lebih nayman dan bagus dari kamarnya
saat ada di kampung dulu. Apalagi jika dibandingkan dengan tempat di pinggiran
sungai saat menjadi gelandangan kemarin. Jelas sangat jauh.
"Akhirnya bisa rebahan juga, lelah banget. Tidak apa-apa,
aku lakukan demi ibu, dan kamu, mas Yoga." Gadis itu tersenyum seorang diri
sambil memandangi sebuah foto berukuran 3R di tangannya.
**
Usai melaksanakan ibadah Sholat Subuh, Elis memasukan cucian
ke dalam mesin cuci matick satu tabung dan kemudian meninggalkannya ke dapur.
Ia menyiapkan sarapan agar saat semua majikannya sudah bersiap, ia tidak begitu
tergesa-gesa dibuatnya.
Diana yang terbiasa bangun jam enam pagi, ia selalu
bermalas-malasan terlebih dahulu sebelum memulai aktifitasnya. Gadis itu
berguling-guling di atas kasur dengan tubuh terbungkus dengan badcover yang ia jadikan selimut.
Mulanya dia terlalu asik stalking media social mantannya
dengan menggunakan akun abal-abalnya. Tapi, ketika melihat foto dirinya bersama
Aldo di depan rumah sakit tempat ia magang dulu, membuatnya teringat dengan
Elis. Ia merasa sebal dengan gadis itu. Bahkan, ia juga merasa kalau ia bisa putus dengan Aldo juga gara-gara Elis.
Diana pun segera bangun, meninggalakan kamarnya dan menuju
ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Kemudian, ia berjalan pelan mengintip
Elis yang tengah memasak di dapur.
"Masa kapa?" tanya Diana dengan tatapan angkuh dan sombongnya.
Elis terkejut dengan kedatangan gadis liar itu, ia bingung
harus memanggilnya apa. Sebab, ia sadar apa posisi dia di sini. Hanya pembantu,
bahkan, ia juga merasakan aura tidak nyaman dengan kedatangan satu makhluk ini.
Bagaimana tidak… Tatapan matanya saja seperti itu.
"E… Ini, Non… Saya bikin nasi uduk, ada perkedel kentang,
ayam bakar sambal terasi dan sambal goreng tempe kering,' jawab Elis sambil
tergagap.
Diana tercengang melihat ada banyak hidangan di depannya sudah
mirip warteg saja. Sepagi ini? Dia sudah mampu menyelesaikan banyak masakan,
bangun jam berapa dia memangnya? Guman Diana dalam hati.
"Jam berapa kamu bangun?" tanya gadis itu sambil melihat
tangan Elis yang dengan lincah mendadar telur dan menggorengnya tipis di atas Teflon
dan api kecil.
"Jam berapa ya tadi lupa? Habis sholat subuh, saya memasukan
cucian ke dalam mesin cuci, kemudian saya tinggal masak."
Bunyi mesin cuci dari atas terdengar nyaring dari dapur, tanda
kalau pakaian yang sudah hampir satu jam lamanya tadi dimasukan Elis ke sana
sudah siap untuk di jemur. Tanpa pikir Panjang, Elis pun berlari menaiki tangga
untuk mengeluarkan pakaian tersebut dan memasukan pakaian lainnya. Agar nanti,
saat sarapan sudah beres dan semua majikannya sarapan, ia bisa dengan tenang
menjembur baju-baju tersebut.
Tapi, dasar Diana yang jailnya tiada henti, ia nemu saja
cara untuk menjaili Elis, ia tahu, lima menit lagi papi dan momynya sudah akan
sarapan, jadi, ia menyalakan kompor yang diatasnya terdapat Teflon dengan
teelur yang tadi sempat Elis matikan. Dan adonan telur dadaar dalam mangkuk
dengan sengaja ia tumpahkan ke atas lantai.
"Hehehe, selamat bekerja keras abu(babu/pembantu) … Nikmati
aja susahnya hillangin amis telur di lantai dapur," gumamnya sambil berlari
kembali ke kamarnya.
Marissa yang sudah rapih dan siap hendak pergi ngantor, ia
mencium aroma aneh dari dalam dapur. Karena penasaran dan takut ada yang
gosong, ia mencoba mengeceknya. Betapa
terkejutnya Marissa saat mendapati dapurnya penuh dengan kepulan asap, sebuah
api bersarang di atas Teflon yang berada di atas kompor. Tidak hanya itu, ia
bahkan sempat tergelincir oleh telur yang sengaja ditumpahkan Diana di atas
lantai. Walau tidak sampai jatuh, cukuplah membuatnya sport jantung dan kian
takut.
"Eliiiis! Kamu di mana?" teriak Marissa.
Tak lama kemudian, Elis turun dari atas tangga dan tak kalah
terkejutnya melihat apa yang terjadi di dapur, bagaimana bisa begini? Bukankah
sebelum aku pergi tadi kompor sudah kumatikan? Lalu, di mana, Diana?
Dengan cepat, Eis mengambil keset, memmbasihinya dengan air
dan menutupkan ke atas api, dan mematikan kompornya. Seketika api pun padam,
hanya tersisa asab tebal yang membuat pandangan kabur dan napas sesak.
Dari dalam kamarnya, Diana tertawa puas saat mendengar
teriakan Momynya. "Mampus kau. Dengan
begini, jangan harap bisa ambil simpatik dari Momy lagi," umpatnya.
Kemudian, Marissa meminta Elis membuka jendela dan menyalakan brower yang terdapat di atas
jendela tersebut dan pergi meninggalkan dapur sambil ngomel.
"Kemarin sudah saya katakana. Kalau masak itu ya kamu fokus
aja ke sinimjangan ke mana-mana. Ngelakuin pekerjaan satu-satu saja tidak usah
keburu. Kalau memang mendesak dan harus di tinggal, kamu matkikan kompor dulu.
Sudah ditnggal ke atas, nyala kompor gede banget. Kamu jangan teledor, gitu
dong? Inia pi, kalau sampai membakar semuanya, yah angus tak bersisa seisi
rumah ini."
Elis menunduk. Ia masih ingat betul, tadi kompor itu
benar-benar mati dan bahkan, bagaimana bisa telur dadar itu berserakan di lantai dapur? Bukannya
tadi berada di atas kitchen set? Jika mwmang telur itu jatuh, harunya mangkok
ada di bawah, pecah. Tapi, kenapa baik-baik saja di atas? Elis menghapus air
matanya. Kemudian membawa satu persatu hidangan yang sudah ia sajikan ke meja
makan. Di sana, Ia melihat Marissa sekilas, ia tampak benar-benar marah Elis
sengaja membiarkan dapur itu tetap seperti itu sampai majikannya
mengintrogasinya.
"Ada apa ini, Mih? Pagi-pagi kok banyak asap? Apa gunung semeru
sedang erupsi?'' canda pak Doni yang belum tahu masalahnya.
Taka da jawaban dari istrinya selain wajah cuek dan cemberut.
Hanya saja setelahnya, Elis membawa makanan dari dapur dengan mata yang merah
dan sembab. 'Ada apa ini?' pak Doni mulai bertanya-tanya dalam hatinya.
"Ada apa, Mih?" tanya pak Doni dengan pelan.
Marissa masih enggan
menjawab, sampai Elis kembali membawa nampan berisi tiga cangkir the, satu teko
air outih dan tiga gelas kosong di sana. Bersamaan dengan itu, Diana muncul
dari kamar sambil terbatuk-batuk dan mengibaskan tangannya di depan hidungnya.
"Uhuuuk… Uhhuuuk… Apaan ini, Mih? Banyak banget asab?
Bakar-bakar sampah, apa rumah? Begini nih, kalau memperkerjakan pemulung… Bego."
Seketika pak Doni langsung menatap tajam ke arah Diana, sedangkan Elis, hanya diam menunduk. dan Marissa masih dalam emosinya yang memuncak.
Merasa ada kejanggalan, Pak Doni pun melemparkan pertanyaan pada putrinya, "Diana, kamu baru saja dari kamar. Bagaimana bisa tahu, kalau ada kebakaran?"