Sekitar setengah jam Marissa dan Doni berada di kediaman
Elis. Cukup lama mereka berdua mengamati kehidupan mereka para anak kaum
jalanan yang terdiri dari, pemulung seperti Elis, penjual koran, pengemis
sampai pengemis yang ada di lampu merah dan trotoar. Mereka berjuang keras
melawan kejamnya ibu kota demi sesuap nasi. Dan karena sering dianggap
mengganggu sering jadi buronan saat Razia para satpol pp. Padahal mereka
mencari risski halal, tidak menculik, merampok dan sebsgainya.
Sepanjang perjalanan di gang menuju mobil, Marissa dan Doni
hanya diam merenungi apa saja yang barusan mereka berdua lihat. Kurang apa
mereka hidup selama ini? Bertemu dengan salah satu pengemis saja kadang memberi
uang sebesar limaratus rupiah saja rasanya berat sekali, padahal uang receh di
rumah mereka tak digunakan dan hanya dimasukan ke dalam toples agar tidak
berantakan saja.
"Dia anak jalanan yang berbeda, terlihat mencolok diantara
anak gelandangan yang lain, padahal usianya juga lebih muda dari Diana putri
kita, ya Mih? Tapi, pola pikirnya…. " Doni tidak meneruskan kalimatnya, ia tahu kalau Marissa juga sepemikiran dengan mereka.
"Besok pagi sebelum ke kantor kita kesana bawa makanan untuk
mereka, Pih. Pasi seneng, dan unutk Elis yang selalu menolak uang dari mami juga
Papi tadi, kita belikan dia kebutuhan pribadinya, sarden mungkin dan mie
instan," usul Marissa.
"Ide Mami dari dulu memang bagus, tapi kali ini sedikit
susah diterima."
"Lah kenapa Pih?"
"Mami lihat ada dapur tidak di sana? Bahkan mereka pada
malan nasi bungkusan semua yang dibeli dari warteg yang entah lauknya apa kita
tidak tahu.
Marissa pun hanya diam, yang dikatakan suaminya memang
benar. Lalu kemudian muncul ide baru dan segera diutakaannya kepada suaminya.
"Pih, kamuy akin tidak kalau dia anak baik dan berasal dari
keluarga yang baik pula?"
"Tentu saja, memangnya kenapa, Mih?"
"Papi percaya dia bukan pembohong?"
"Tentu saja, memangnya kenapa? Mami mulai suudzon lagi pasti
ya?"
"Jangan salah, Pih… Bukan itu maksut mami. Kalau dia memang
seperti yang kita klihat dan benar-benar baik, kenapa tidak kita ajak dia
kerumah saja menemani Diana putri kita, biar dia belajar dari Eliz."
Kali ini giliran Dion yang diam dan malah sedikit ragu. Dia
lupa kalau iostrinya pernah belajar ilmu psikology, meskipun sekarang dia
bukanlah seorang psikolog, ia belajar ilmu itu karena dia adalah presedir salah
satu perusahaan dan harus jeli memilih keryawan dan juga clien, tanpa modal itu,
dapat menetahui niat dan karakter melalui gestur tubuh, maka dia tidak akan bisa membawa perusahaan
yang dipimpinnya bisa berkembang sepesat ini.
"Kenapa kamu diam, Pih? Ragu, ya? Suudzon balik ya?" ledek
Marissa sambil tertawa menujuk ke wajah suaminya yang berlagak focus mengemudi.
"Habis gimana lagi, Mi? Bagaimana pun juga dia itu orang
asing, masa iya kita main masukin dia ke dalam rumah saja sebagai temannya
Diana? Mana mau dia?''
"Ah, Papi gagal paham, bukannya besok kita masih harus ke
sana membawa banyak nasi bungkus? Kita bisa lah tanya-tanya pada Elis, sudah
berapa lama dia di sini, dan tjuan dia apa, ada ktp tidak kan… Nanti kalau
semua informasi mengenai dia sudah kita dapat dan real dengan apa yang dia
katakana, fix dia anaknya jujur, kita bawa kerumah kita pekerjakan dia sebagai
asisten rumah tangga, nah nanti, kan bisa deket tu lama-lama sama Diana?"
Doni diam sesaat, lalu kemudian mengangguk-angguk
membenarkan apa yang dikatakan istrinya. "Baiklah, Mih, itu ide bagus, jadi,
setelah kita tahu alamatnya nanti, kita bakal nyuruh orang buat nyelidikij dia,
gitu ya?"
"Nah, apa gunanya kita punya uang kalau tidak bisa
memanfaatkan dengan benar, yeee kan Pi?"
***123
Keesokan harinya, Diana merasa ada yang berbeda dengan
suasana rumahnya. Pagi yang biasanya berjalan dengan tenang ini seperti ada
sedikit kehebohan di luar kamar. Karena penasaran, gadis itu pun keluar kamar
mencoba untuk melihat nya sendiri aoa yang sebenarnya terjadi.
Diluar ia melihat ada tiga dribver ojol yang membawa nasi
kotak dalam tas kresek berwarna merah, sementara Mmainya mengarahkan untuk
dihitung dulu, dan si papa dan pak untuk, satpam rumahnya, menata nasi ketak
yang sudah dihitung ke dalam bagasi mobil papinya.
Diana berjalan perlahan sambil mendekati maminya dan
bertanya, "Ada hajatan kah Mom?"
"Eh, putri tunggal Momy udah bangut, aduh cantic sekali kamu
bagaikan cinderella, masih bau belek belum cuci muka juga keluar, malu tuh sama
abang-abang ojol yang gantengnya udah maksimal," cetus Marissa rada gemes.
"mih, sudah lah ini masih pagi jangan pancing keributan,"
Sahut pak Doni ikut menimpali.
"Momy gak mincing keributan Papy sayang, justru Momy tuh
sayang ama Diana, dia itu cewek, kalau jam segini aja masih kek gitu, apa kata
mereka? Ikut mertua gak cukup hanya modal cantic dan jabatan saja, harus rajin
dan pinter masak serta beberes rumah, biar ga digosipin sama mak mertuanya
kelak," jawab Mrissa.
Jika sudah mendengar jawaban itu, Doni sudah angkat tangan,
dia tidak berani menimpalinya sekalipun hanya sepatah katapun. Sebab, awal
pernikahan mereka duyku jhuga sering rebut karena ibundanya Doni yang terlalu
keras menekan Marissa. Tapi, demi cinta istrinya kepadanya dan juga demi Diana,
Marissa tetap rela bersabar menghadapi semuanya.
Pasalnya Doni terlahir dalam keluarga yang masih kuni cara
berfikirnya, yaitu. Wanita yang sudah menikah harus tetap diam di rumah
melayani suami dan membantu pekerjaan rumah tangga mertuanya, terlebih merek
yang sudah punya anak, gak boleh menitipkan anaknya kepada siapapun kecuali jika
keadaan memang benar-benar sudah darurat. Laki-laki tidak boleh ikutan ngurus
anak, anak sepenuhnya sudah jadi tanggung jawab dan urusan ibunya.
Dulu, setiap malam, setiap kali Doni pulang kerja, Marissa
selalu mengeluh dan menangis karena merasa lelah hidup dalam penekanan orang
tuanya, ingin misah tapi tak diizinkan. Tidak hanya menahan beban seberat itu,
Marissa bahkan juga rela melpas karirnya di mana sedang bagus-bagusnya, semua
demi apa? Demi suami, tapi apa yang didapat? Hanya sakit dan kecewa yang seolah
tidak berujung sampai akhirnya ibu nertuanya jatuh sakit dan meninggal, barulah
Marissa bisa hidup bahagia dan memulai karirnya kembali. Dari situlah, Doni sangat
menyayangi Marissa dan memanjakan Diana karena semasa kecil diana sampai dia
berusia sepuluh tahun, taka da kedekatan sama sekali, berbicara juga seperlunya
saja tak boleh berbicara jika tidak penting apalagi sampai bercanda.
"Hiiih, Momy, selalun saja begitu," jawab Diana sambil
menghentakkan kakinya merasa jengkel, sejurus kemudia gadis itu emandang kearah
papinya untu meminta pembelaan.
Tapi sayang sekai, kali ini Doni sudah tidak dapat lagi selalu
menuruti kemauan Diana semenjak ia putus dengan Aldo, beruntung sekali, Marissa
bisa mengerti bagaimana cara menasehati suaminya agar nurut, toh itu juga demi
kebaikan putri meereka sendiri.
"din, yang dikatakan mamai itu benar, mulai sekarang kau
harus belajar raji, bangun pagi dan langsung bantu mami bersih-bersih, anak
cewek gak boleh males-malesan."
Merasa papinya sudah berubah sama seperti maminya, Diana pun
hanya manyun saja dan pergi masuk ke dalam rumah untuk cuci muka. Kemudian,
Diana kembali, para driver ojek online sudah tidaak di sana, baj=hkan anehnya
lagi, papi dan maminya sudah akan berangkat, padahal ini baru jam berapa? Baru
jam enam pagi, Hello…
"Kalian mau kemana sih Pih sepagi ini dengan puluhan nasi
kotak di dalam mobil?"
"Kami mau ada acara, kau siapkan sarapanmu sendiri ya
sayang, sebab nanti mami dan papi juga langsung ke kantor," kawab Marissa
sambil melambaikan tangan pada anak semata wayangnya itu.
Jadi, pagi ini dengan sangat terpaksa Diana harus menyiapkan
sarapannya sendiri, karena ia tidak terbiasa sarapan di luar.
Tepat pukul enam
lewat tigapuluh menit, Marissa dan Doni sudah tiba di gang yang menghubungkan
ke tempat Elis dan teman-temannya tinggal. Mereka berdua pun mulai menenteng
tas keresek kiri dan kanan dan membawanya ke sana untuk dibagikan, beruntung
sekali, mereka masih belum ada yang berangkat mencari nafkah di jalanan, malah
sebagian adanyang masih tidur, hal itu sudah lumprah bagi para gepeng, mereka
bekerja sampai larut malam terlebih mereka yang kerjanya memulung sampah-sampah
di jalanan untuk dijual keesokannya.
Semua anak-anak jalanan melihat kea rah Doni dan Marissa,
bahkan mereka berdua tak segan-segan memanggil mereka untuk berkumpul, serta
meminta bantuan beberapa anak dari mereka untuk membantu membawa sisanya dan
dua kardus air mineral. Memang penghuninya tidaklah begitu banyak, kira-kiea
juga sekitar tigapuluhan orang, namun mereka sengaja membawa banyak, karena nasi dan lauknya dipisah, jadi masih bisa
lah untuk makan siang nanti.
"Mayaallah… Ibu… Bapak, kenapa kalian bisa repot-repot
begini?" ucap Elis begitu dia melihat Marissa dan Doni di luar sambil membawa
banyak makanan dan minuman serta berkumpul dengan teman-temannya membentuk lingkaran
tanpa alas, hanya untuk Marissa dan Donilah yang mengenakan alas karpet yang
masih dapat dikata layak walau sedikit usang.
Mereka pun makan bersama dan bercengkrama, bahkan saat
Marissa dan Doni akan pamit, mereka juga membagikan amplop yang berisi uang
sebesar lima puluh ribuan pada masing-masing Nk. Merekapun buyar karena harus
tetap melakukan rutinitasnya sehari-hari, meskipun sudah dapat sarapan dan
makan siang gratis serta uang sebesar lima puluh ribu, bukanlah alasan untuk
mereka berdiam dan malas-malasan di
tempat. Kecuali Elis, setiap habis minum obat, dia akan sangat mengantuk, jika
tidak diminumi obat, luka pada lenganya terasa ngilu dan sangat sakit.
Marissa dan doni mengantarkan Elis mauk ke dalam kamarnya,
di sanam mereka memulai membuka percakapan ringan antra mereka dan Elis.
"Elis, kalau boleh tahu, kamu sudah berapa lama tinggal di ibukota?" ucap Marissa memulai percakapan.
"saya sudah empat bulan ini tinggal di ibukota, Bu."
"Oh, emang cita-cita kamu apa? Apakah tidak ada kerabat atau sanak saudara di sini? Aslinya kamu dari mana?"
"Saya aslinya tinggal di Bandung, karena utang bapak banyak dan beranak Pinak saya nekat pergi ke ibukota dengan harapan bisa mendapat pekerjaan yang layak, agar bisa segera kembali ke kampung halaman. Tapi, karena hp saya terjambret, saya ga bisa cari info lowongan kerja, Apalagi saya hanya tamatan SMA, karena tak ada pilihan lain, ya saya jadi pemulung saja, asal halal dan tidak merugikan orang lain.