"Ayo, turun! Apakah kau akan terus duduk di sini sampai besok?" ucap Axel membuyarkan lamunan Alea. Dia sendiri juga tidak menyadari sejak kapan Axel turun dari mobil. Thu-tahu pria itu udah membukakan pintu untuknya.
"Kau memilih Villa ini untuk mengisi hari kita sekarang?" tanya Alea masih dengan raut wajah yang penuh dengan kekaguman.
"Lebih tepatnya, aku membeli ini, untuk kita dan anak-anak kita nanti." Pria itu menjawab dengan yakin sambil tersenyum.
"Apa? Anak?" Antara senang dan hampir tak mempercayai pendengarannya sendiri, Alea malah justru terlihat bego di depan pria yang dia cintai.
"Ya, tentu saja anak. Aku yakin, kau tidak hanya sekedar ingin jadi pacarku, kan? Kau juga pasti mau menikah dan menghabiskan sisa usiamu denganku, kan?"
"Iya, akum au." Jawab Alea dengan hati yang berbunga-bunga.
Tanpa pikir panjang lagi Axel langsung mengangkat tubuh Alea dan membawanya masuk ke dalam.
"Xel! Apa yang kau lakukan? Cepat, turunkan aku!" pekik Alea sambil memukuli dada bidang Axel.
Pria itu tidak memedulikan teriakan kekasihnya. Ia malah tertawa terbahak dan puas karena berhasil mengerjai. Segala hal yang sebelumnya sempat dibahas dengan Wulan mengenai Alea dan karya terbarunya sedikitpun tak terlintas dibenaknya. Sekarang yang ada dalam pikirannya hanyalah bahagia yang tak terhingga.
Merasa lelah Axel pun meletakkan tubuh Alea di atas ssingle sofa berwarna abu-abu. Tatapan matanya lekat memandang ke dalam mata Alea dengan penuh cinta."Kita habiskan hari kita di sini sampai besok, bagaimana?" bisiknya dengan suara parau.
"Besok hari Sabtu. Aku masih harus bekerja," jawab Alea membalas tatapan mata Axel. Meskipun sebenarnya jantungnya terus erdegup dengan kencang. Karena ia tidak pernah dalam posisi sedekat ini dengan pria. Terlebih, dada mereka saling menempel.
"Kau tak perlu risaukan itu. Aku yakin, bosmu tidak akan marah. Bagaimana?"
"Apakah karena itu kau?"
"Tentu saja." Axel bernisiatif mencium Alea. Dia semakin mendekatkan wajahnya yang tinggal beberapa cm dari bibi Alea. Namun, sepertinya gadis itu masih belum terbiasa dan masih nervosu. Maka, dengan lembut ia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Axel untuk menahannya.
"Kenapa?"
"Apa tujuanmu mengajakku ke sini?"
"Aku menyukaimu sudah sejak lama sekali, Alea. Sekarangkan kita sudah resmi pacarana. Tidakkah kau tertarik padaku?"
"Jika tidak, kenapa aku menerima cintamu?"
"Lalu, kenapa kau menolak kucium?"
"Bisakah kau menciumku dengan posisi yang tidak begini?" jawab Alea sambil mendorong lembut dada Axel.
"Oh, maafkan aku!" seketika Axel bangkit, menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alea yang terbaring di atas sofa. Sepertinya ia sendiri juga tidak menyadari denga napa yang sudah dilakukannya. Kadi, sekarang ia dan Alea sama-sama canggung.
Sekitar duapuluh lima menit semuanya bediam diri. takt ahu, harus memulai pembicaraan dari mana. Sampai akhirnya, terdengar suara keroncongan dari perut Alea. Keduanya saling tatap dan tertawa.
"Apakah kau lapar?" tanya Axel dengan tatapan konyol sekaligus canggung.
"Tentu saja. coba kalu lihat itu. jam makan siang sudah lewat," ucap Alea sambil matanya melirik kea rah jam didingin yang tergantung di atas lukisan kuda yang terpajang di living room.
Mata Axel mengikuti memandang kea rah jam didnging antic dari bahan kayu jati dengan ukiran khas Jepara tersebut seketika menepuk jidatnya sendiri Ketika waktu sudah menunjukka pukul setengah dua.
"Pantasa saja. maafkan aku, sebagai pacarmu, aku tidak bisa mengurusmu dengan baik," ucap pria itu dengan raut wajah penuh rasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Kita mau makan apa? Apakah ada bahan makanan di dapur? Aku akan memasak sesuatu untuk kita berdua jika memang tersedia."
"Ada, pastinya ada. Ayo, aku tunjukkan letak dapurnya." Axel menggandeng tangan Alea dan membawa ke dapur yang sebenarnya tak perlu ditunjukkan juga sudah terlihat dari ruang tamu.
"Baiklah, karena aku sudah tahu tempat penyimpanan bahan-bahan makanannya juga peralatan untuk memasak, kau boleh mandi dulu sambil menungguku memasak."
"Aku akan membantumu. Dengan demikian, hidangan akan cepat selesai," jawab Axel, bediri di belakang Alea sambil mengikatkan ali celemek yang Alea kenakan.
"Ini tidak perlu, Xel. Kau pasti lelah. tidak apa-apa biarkan aku yang mengerjakan sendiri."
"Kenapa? Apakah kau meragukan kemampuanku di dapur?"
"Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menjadi wanita yang baik. Bukankah kau ingin aku menjadi istrimu? Istri yang baik tidak akan pernah membiarkan suaminya kelelahan."
"Baiklah! Kalau begitu, jika kau sudah menyadi nyinya Maxmiliam kau jjga tidak boleh bekerja. Cukup di rumah saja."
"kenapa demikian?" tanya Alea dengan raut wajah menunjukkan rasa kecewa. Namun justru malah membuat dirinya terlihat imut.
"Karena, aku tidak mau istriku kelelahan. Dia sudah mengurusku dengan baik, kenapa harus mencari nafkah? Sebagai suami yang baik, aku akan mencukupi segala kebutuhanmu."
"So sweet sekali kamu, Xel," ucap Alea terharu.
"Maka, izinkan aku membantumu, oke?" ucap Axel sambil memeluk Alea dan mengeratkan tubuh mereka kemudian sekilas mengecup bibir Alea.
"Ba… baiklah jika memang itu maumu," jawab gadis itu sambil memalingkan wajahnya yang bersemu merah karena malu.
"Ya sudah, mari kita masak saja sekarang," ucap Axel dengan semangat.
Akhirnya, keduanya pun bersama-sama memasak. Begitu membuka lemari es, mata Alea langsung teruju pada sayur pokcoy yang nampak masih segar dan fresh. Entah, dari mana semua bahan-bahan makanan ini. Yang dia tahu semua tersusun dengan sangat rapi serta komplit. Pdahal, in ikan Vila pribadi Axel dan dia sepertinya juga jarang berada di sini.
"Xel, kenapa bahan-bahan di sini sangat fresh dan lengkap? Apakah kau sudah menyiapkan sebelumya?"
"Tentu saja. lain kali, kita sering-sering menghabiskan waktu di sini, ya?"
"Boleh."
Alea pun melanjutkan lagi memasak, dan menyiapkan bumbu. Karena Axel tadi mengelurkan daging sapi dari dalam freezer dan minta agar dimasakkan itu. karena, dia sejak kecil sudah terbiasa memakan daging. Jadi, tanpa daging ia merasa tubuhnya seperti lemas.