Chapter 36 - JADIAN

Tidak menunggu lama, sekitar setengah jam Axel sudah tiba di depan rumah Alea. Namun, sepertinya gadis itu tidak ingin pria tersebut singgah sebentar di rumahnya. Karena, dia sudah menunggunya di depan pagar yang sudah terkunci.

"Apakah kau sudah lama menungguku?"

"Tidak. Karena, aku tadi masih perlu mandi dan bersiap," jawab Alea sambil masuk ke dalam mobil Ketika Axel dengan suka rela turun dan membukakan pintu untuknya.

"Kamu apa kabar? Kok lama gak bertemu sepertinya kian cantik saja," ucap Axel menggombal.

"Kamu yang apa kabar? Tiga hari tidak ke kantor tanpa pemberitahuan. Apakah terjadi masalah?" tanya Alea khawatir sambil memandang ke arahnya yang tengah fokus dengan kemudi.

"Iya."

"Apa?"

"Menyiapkan mental jika saja cintaku kau tolak."

Seketika mereka pun terbahak. Sehingga, Alea pun keceplosan di dalam mobil. "Kenapa aku menolakmu jika selama ini aku juga sebenarnya menyukaimu?"

Mendengar ucapan yang tanpa sengaja terucap begitu saja Axel langsung menoleh cepat memandang Alea yang duduk di sebalahnya. "Lea, kau tidak bercanda dengan pa yang kau katakana, bukan?"

Alea terkejut. Ia baru sadar kalau dia baru saja keceplosan. Padahal, reancananya gadis itu ingin melakukan prank dulu untuk Axel. Tapi, sepertinya takdir berkata lain. Dengan melihat binar bahagia seperti ini di muka Axel ia tak lagi berani mempermainkan perasaannya. "Iya, aku serius, kok," jawabnya dengan tampang konyol.

"Oke. Jangan kau Tarik lagi kata-katamu. Fix, sekarang kita telah pacarana, sekarang aku akan membawamu ke tempat bagus," ucap Axel sambil menambah kecepatan laju mobilnya.

"Xel, apakah kau gila? Kenapa tiba-tiba ngebut gini?" ucap Alea mulai panik.

"Sudah kau tenang saja. kalau aku membawa mobilnya pelan, kapan akan tiba di tempat tujuan?"

"Ya pasti akan sampai di hari yang sama juga, kan? Gak mungkin juga tahun depan, kan?"

"Tapi, aku rasa lebih baik akan lebih cepat. Jadi, kau tenang saja."

Dua puluh menit lamanya mobil itu mellesat sangat cepat hingga kini mobil kembali berjalan dengan kecepatan normal Ketika memasuki sebuah pegunungan yang kiri kakannya di penuhi dengan hutan pinus.

"Ini kita di sini mau ngapai, Xel?" ucap Alea. Ia memang tenang dan tidak mencemaskan apapun. Hanya saja, di jalan ini ia teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu, di mana dia membuah hasil mutase jenazahnya Intan, bahkan juga di sekitar jalan ini dia terluka oleh pisaunya sendiri saat tanpa sengaja dia terjatuh. Jadi, wajar saja jika mungkin Axel mengetahui tempat bagus di sekitar sini. Karena, di sekitar jalan ini juga dia menemukan dirinya yang sudah hampir tak sadarkan diri.

"Kenapa diam? APakah kau teringat dengan sesuatu?"

Alea mengeleng. Ia membuka kaca jendela mobil dan mengeluarkan kepalanya menikmati aroma khas dan kesejukan hutan pinus yang memang sejak kecil memang ia sukai.

"Kau menyukainya?"

"Ya, dulu saat aku masih kecil, ibu dan ayahku sering mengajakku ke sini," jawab Alea dengan tenang.

"Lalu, saat kau dewasa apakah sering diam-diam datang ke sini?"

"Ya, di saat aku suntuk saja."

"Alea, apakah selama ini kau selalu merasa sedih dengan keadaan orangtuamu?"

"Apa?" Alea terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari bibi Axel. Ia tesenyum tipis, memasang ekspresi seolah tidak mengerti apa-apa. "sedih karena apa, ya?" tanyanya sekali lagi.

"Dengan keadaan mereka yang selalu bertengkar."

Alea tertawa terbahak. Tatapan matanya lurus kedepan. Kemudian menoleh kea rah Axel yang tengah mengemudi dengan tatapan jika pria itu konyol. "Kapan kau pernah lihat orangtuaku bertengkar? Apakah mereka terlihat sering bertengkar? Hemb?"

"Aku Cuma menebak saja," jawab Axel. Sungguh nampak bodoh. Karena, ia tidak berani mengatakan sesuatu meskipun itu adalah bukti kuat. Sebab, jika tidak, Wulan yang akan terancam.

"Aku Cuma mengira karena kau terlalu pendiam saja. Tapi, sebenarnya kau ini asik kok. Biasanya, seseorang dengan ciri-ciri tersebut berasal dari keluarga yan g broken."

"Tapi, kan aku tidak putus asa, Xel."

"Maafkan aku. ya sudah, jangan kau pikirkan pertanyaanku barusan. Anggap saja aku tidak pernah mengatakan itu, oke?"

Alea menjawab dengan anggukan pelan sambil tersenyum tipis. Saat tatapannya menuju ke jalanan yang berkelok-kelok serta naik turun, pikirannya langsung tertuju pada seorang gadis berambut ikal sebahu, yang tak lain adalah editornya sendiri, Wulan.

"Oh, sudah benar-benar curiga, ya ternyata sama aku? Oke. Kutunggu kau. Sejauh mana dirimu menganggap Revanda itu nyata. Jika kau masih memperpanjang kasus ini dengan terus mencari tahu, maka, tunggu saja giliranmu," gumam Alea dalam hati sambil tersenyum sinis.

Tidak lama kemudian, Mobil yang di kendarai Axel memasuki area dataran tinggi di mana di tempat itu banyak berdiri bangunan Villa berderetan di kiri kanan jalan dengan berbagai bentuk dan ukuran. Namun, sudah lima menit berlalu pria tersebut masih saja terus lanjut mengemudi. Hingga di sebuah Villa mewah, elegan dan sangat bagus desain interirornya, meskipun ukurannya tidak terlalu luas, sekitar 5X10m di atas tanah seluas 100m barulah Axel membelokkan mobil.

"Kita ma uke Vila?" tanya Alea sambil menatap takjub bangunan di depannya. "Ngapain?" gadis itu pun mengalihkan pandangannya kea rah Axel yang masih memasang muka datar.

"Kalau ke mall kan kita bisa saja jalan-jalan, makan dan juga belanja. Tapi, jika di sini, kira-kira kita mau ngapain?" Bukannya menjawab pria berdarah Indenesia-Jerman itu malah justru balik bertanya.

Alea tidak menjawab, ia terus menatap area taman, dan juga bangunan yang sebagian besar materialnya terbuat dari batu alam mahal hingg a memberi kesan yang sangat mewah, namun tetap dengan nuansa modern.