"Aku sudah menamatkan PSYCOPATH, semua sudah aku kirim ke email mu." sebuah pesan WA masuk ke ponsel Wulan.
Limabelas menit Wulan berusaha menulis kalimat untuk mengirim balasan masih juga belum berhasil, lantaran trauma berat dengan apa yang ia lihat selama di rumah Alea beberapa hari yang lalu. Mau ngobrol santai seperti biasa, dia tak bisa. Mau hanya balas iya, takut menyinggung Alea dan membahayakannnyawanya.
"Ok, sudah aku buka, semoga ini jadi buku best seller seperti BROKEN HOME," balas Wulan.
"Aku harap begitu," balas Alea, dan tak ada lagi chat di antara mereka.
Wulan menghela napas lega ketika gadis yang menerbitkan karyanya di penerbit tempat dia bekerja itu tidak memperpanjang obrolan. Setidaknya, dia bisa memutus chat tanpa takut menyinggung Alea.
'Ah, mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya,' batin Wulan. Kemudian, kembali fokus dengan naskah yang baru saja masuk. Meskipun, saat membacanya terlalu menghayati, sampai-sampai ia berasumsi itu kisah nyata sang penulis.
Selama beberapa hari ini, Alea menggunakan waktunya di rumah sakit untuk mengejar deadline berkat laptop miliknya dibawakan oleh sang ibu.
"Max, kau kemari untuk menjemputku?" ucap Alea dengan mata berbinar penuh kebahagiaan. Ketika tiba-tiba seorang pria masuk ke dalam ruang rawatnya. Sementara Yulita dia suruh pulang dulu, menemani ayahnya yang masih depresi.
"Iya, aku dengar dari tante Yulita kau sudah diizinkan pulang," jawab Maxmiliam ragu akan senyum Alea yang tak wajar.
Alea berusaha bangun, tapi sakit pada perutnya masih sangat membatasi geraknya. Melihat Alea kesulitan dan meringis kesakitan, Max segera membantunya. Meletakan lengan kanan Alea pada bahunya duduk, lalu turun dari hospital bad.
Alea merasakan detakan jantung Max berdegup kencang tak beraturan, ia diam sesaat membiarkan kepalanya tetap menempel pada dada bidang Maxmiliam. Mendengarkan detak jantung itu.
"Sudah siap, Lea? Ayo kita pulang!" seru pria itu. Sebab, semua barang-bareng miliknya di dalam nakas sudah rapi di dalam tas. Entah, siapa yang merapikan. Mungkin juga ibunya Alea, yang pulang lebih dulu sama membawa sebagian barang.
"Axel, kenapa kau baik banget sama aku?"
Max tersenyum, "Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa, kau kan atasanku di kantor."
"Tapi kalau di luar kita teman, kan?"
Alea tersenyum berjalan sambil digandeng Max di sebelah kanannya.
Seorang suster masuk mengucapkan selamat untuk kesembuhan Alea dan berseru, "Selamat ya mbak sudah diizinkan pulang, semoga lekas sehat seperti sedia kala. Anda beruntung mendapatkan kekasih seperti dia!"
Alea memasang ekspresi bingung, "Sus dia ini .... "
"Kami sudah tungan bukan pacar lagi," sahut Axel dengan cepat.
"Bos ku," lirih Alea melanjutkan kata-katanya. Tapi sepertinya suster itu tidak mendengarnya.
"Kau bilang apa pada mereka?"
"Mmmm bilang apa? Mereka siapa yang kau maksud?" tanya Axel berlagak bingung.
"Kenapa suster itu berkata aku pacarmu?"
"Kalau memang iya gimana?"
"Max, jangan bercanda!"
Alea membuang muka. Ia merasa sedikit nervous oleh pandang Axel terhadapnya.
"Aku serius, Lea." Pria itu menatap inten pada mata gadis di sebelahnya tanpa menunjukkan senyuman sedikitpun. Yang artinya dia memang tidak sedang nge joke.
Alea hanya tersenyum malu, tidak berani menatap Axel. Matanya terus menatap ke depan sambil berjalan di gandeng oleh pria itu.
"Bagaimana, Alea? Apakah kau mau jadi pacarku?" tanya Axel lagi, setelah mereka berada di dalam mobil.
"Aku... " Kembali, Alea memandang ke arah jendela demi menghindari kontak mata dengan bosnya. Dia sangat senang sekali. Bagaimana tidak. Di saat dia mulai jatuh cinta pada sosok yang sering dia jumpai, saat itu pula dia malah menyatakan cinta terhadapnya. Apalagi yang lebih membuat seseorang bahagia dan berbunga-bunga selain hal seperti ini? Bukankah kasta tertinggi dalam cinta adalah ketika kau mencintai seseorang, dia juga mencintaimu?
"Iya, kenapa?" tanya pria pemilik nama lengkap Axel Maximilam itu.
"Aku butuh waktu untuk berfikir," ucap Alea. Berlagak jaim. Sebenarnya, dia ingin sekali mengatakan iya saat itu juga. Tapi, bagaimana pun, ia tak mau lah dikata murahan. Jadi, ya ditahan dulu perasaannya.
"Oke. Tapi, jangan lama-lama, ya?"
Alea memandang ke arah Axel dan tersenyum lembut sambil mengangguk pelan.
Sesampai rumah Alea, mereka berdua sudah disambut oleh Yulita.