Baru saja Axel tiba di rumah, seorang gadis cantik berambut ikal sebahu berhambur ke arahnya memberi sambutan dengan wajah pucat pasi.
"Axel, ke mana saja kau semalam? Kau tidak tahu bagaimana aku parnoan sendiri? Bahkan nomormu tidak bisa dihubungi," ucap gadis itu, menyalahkan dirinya yang terkesan mengabaikan dirinya.
"Maaf, kemarin aku menemukan temanku terluka dijalan, aku membawanya kerumah sakit. Karena dia sendiri, jadi terpaksa aku menemaninya," jawab pria itu. Cenderung mengabaikan gadis di depannya. Mungkin karna lelah dan tidak mendapatkan tidur yang berkualitas semalam.
Mendengar jawaban yang seolah temannya itu lebih penting darinya, serta ekspresi Axel yang acuh, Wulan merasa benar-benar kecewa. Karena, selama duapuluh tiga tahun pria itu tidak pernah memasang ekspresi seperti itu padanya sekalipun. "Xel, aku ini anak sahabat ibumu, dan dititipkan padamu, tapi kamu begitu, sih? Menyepelekanku. Bohong jika kau anggap aku ini adikmu!"
"Sudah jangan marah gitu dong, maafin aku ya, Wulan? Kamu adikku yang paling manis jangan marah lagi," rayu Maxmiliam sambil mengacungkan jari kelingkingnya pada Wulan.
Tapi, Wulan sudah terlanjur kesal, dia mebalikan badannya dan pergi meninggalkan Axel. Dan duduk di depan meja kerjanya. Memandangi tiap paragraf yang tertera di sana.
"Terjun dalam dunia percetakan literasi adalah pilihanmu, so kenapa kamu malah parno begini? Aneh, bukan?" seru Axel terkekeh. Sebab, ini bukan pertama kalinya Wulan menjadi parno dengan cerita seram, dan ikut bucin dengan cerita romantis, yang artinya, tak jarang juga ikut kesal dan menangis saat yang dia baca adalah adegan sedih, atau protagonis teraniaya.
"Xel, aku ini membaca sebuah cerita dengan tema psyco, dan kamu tahu, Xel? Cerita dalam kisah itu sangat mengerikan," jawabnya sambil memutar kursi kerjanya menghadap ke arah Axel yang menertawai dirinya.
"Ya kamu jangan baper," ucap Maxmiliam sambil mengacak rambut Wulan.
"Aku sering membaca hal demikian, Xel! Tapi tidak mendapati kesamaan pada diri penulisnya," ucap Wulan dengan mimik masih trauma dan takut.
"Maksut kamu cerita tentang bagaimana tokoh utama dalam cerita itu sama persis dengan yang dialami si penulis?"
Wulan mengangguk, dan mengarahkan laptopnya kepada Axel, berharap pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tertarik dan mau membacanya.
Beberapa menit Axel membaca sampai habis cerita itu, ingatannya langsung melayang pada asisten kantornya, Alea, gadis yang baik anggun, sopan tapi mudah berubah dalam tempat dan situasi tertentu, serta pisau yang selalu terselip dalam pinggangnya. Harusnya, dia tidak perlu menyamakan tokoh utama dengan asisten pribadinya. Tapi, kesan penulis yang mendeskripsikan sang tokoh, mulai dari pawakan serta kepribadiannya benar-benar persis dengan Alea. Siapapun orangnya yang sudah kenal dengan Alea dan membaca novel ini, pasti, visualnya akan tertuju pada gadis itu. Apalagi, tidak hanya sekali Axel mendapati pisau lipat dari pinggang Alea. Bahkan konyolnya, semalam Alea terluka karena pisaunya sendiri.
'Alea, tidak. Kau tidak seperti Revanda, kan?' batin pria itu mulai tidak tenang.
"Apa saja sih yang kau lihat? Mungkin itu hanya sebuah kebetulan, apakah penulis PSYCOPATH juga mengalami broken home? Membunuh dan menghidankan kepala selingkuhan ayahnya pada sang ayah?" komentar Axel sambil melirik ke arah Wulan.
"Aku tidak tahu itu, Xel," jawab Wulan lesu.
"Ya sudah, kamu tenang ya, aku siap-siap mau ke kantor dulu, hubungi aku jika ada apa-apa, ok?" seru Axel, sambil menepuk-nepuk pundak Wulan.
Beberapa langkah kemudian Max mebalikan badan, berhenti sejenak, dan berkata, "Ingat, Wulan, kunci ketenangan itu salah satunya jangan mencari tahu apa yang tidak kau ketahui jika itu tidaklah menguntungkan." Kemudian kembali berbalik arah dan pergi.
Selama di jalan Axel juga mulai berfikir keras mengenai Alea, "Ah, tidak! Ayah dan ibu Alea harmonis-harmonis saja saat aku ke sana. Tidak mungkin, om Rafi selingkuh," gumamnya seorang diri.
"Ah, kenapa aku tidak menanyakan saja langsung siapa penulis cetita itu pada Wulan?" Max mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat kepada wulan.
Max: Memang siapa penulis cerita itu? Tidak berselang lama, ponselnya berdeting. Sebuah pesan balasan dari Wulan pun masuk.
Wulan: Andrea S.
Max langsung meletakan gawainya setelah membaca pesan balasan dari Wulan. Dia fokus pada jalan raya. Lagian, kenapa harus diperpanjang, toh penulis bukanlah Alea. Selama ini, Alea juga tidak pernah bercerita padanya, dan pada siapapun kalau dirinya adalah seorang penulis. Memang sih, dia ke mana-mana selalu bawa laptop. Nampak serius memandangi monitornya sambil menggoyangkan kaki di bawah meja. Namun, setiap kali ia menangkap basah apa yang gadis itu lakukan, ya hanya main game. Di mata Axel, Alea adalah sosok gadis pendiam, susah di dekati, namun dia akan sangat baik jika sudah akrab, serta pecandu game.