Chereads / Crown: Transferred to Another World to 'Realize' My True Feeling / Chapter 32 - Chapter 32: “Diskriminasi tanpa alasan adalah kriminal.”

Chapter 32 - Chapter 32: “Diskriminasi tanpa alasan adalah kriminal.”

*Kretek.. kretek..*

"Hmm..?"

"Oh maaf sudah membangunkanmu." Ucap Arliz lanjut meregangkan tubuhnya

"Tidak apa."

"Kau mau kemana?" tanyaku penasaran dengannya yang diam-diam bangun sendirian

"Er-errmm.. arrghh.."

"Aku harus kembali ke kantor menanyakan hasil pertemuan kemarin dengan Leon." Balasnya setelah mempelintir badannya menghilangkan kantuk

Kulihat Sylph dan Zoker yang masih pulas tidur bertindihan, dengan Sylph berada di atasnya Zoker.

("Sepertinya aku biarkan saja mereka istirahat.")

"Aku ikut denganmu, Arliz." Ucapku mulai menarik kursi roda di sebelah ranjangku dan memindahkan satu persatu kakiku bersiap pindah kesana

("Waktu itu aku pindah ke kursi roda dibantu oleh Sylph.")

"Sekarang waktunya coba tanpa bantuann—NNYA!"

*Brukk!!*

*Duph*

..

Kursi rodanya jatuh saat aku coba memindahkan tubuhku kesana dan..

"…"

"Duh kau ini.." ucap Arliz mengeluhkan kebodohanku

("Lagi..?")

"Kalau kau tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, kau harus minta bantuan pada orang lain."

("Posisi ini.. lagi..??")

Arliz menangkapku dengan gaya ala tuan putri persis seperti yang Zoker pernah lakukan padaku dulu.

("AAARRGGHHH!!")

Diletakkannya kembali aku di ranjang, dan Arliz langsung mendirikan kembali kursi rodanya.

"Nah, ayo sini." Ucapnya membuka tangan menawarkan gendongannya padaku

*plak!*

Kututupi wajah dengan tangan cukup keras hingga berbunyi seperti tamparan.

("DASAR LEMAH!!—")

"Hei."

*??*

"Kau malu melakukan ini denganku?" tanyanya

"…"

"Tidak peduli seberapa lemah bagian dari dirimu yang kau tunjukkan padaku."

*lift*

*?!*

"Kau tidak perlu malu.." lanjutnya dengan aku dalam gendongannya

"Karena kita akan segera terikat bersama untuk waktu yang lama."

("Mungkin benar kalau aku malu dengan kondisiku saat ini.")

("Tapi masalah sebenarnya adalah HARGA DIRIKU SEBAGAI SEORANG PRIA!")

*Duph*

"Terima kasih." Ucapku setelah dia meletakkanku di kursi roda

Dia tidak menjawab dan langsung lanjut mendorong membawaku keluar.

"Tunggu." Pintaku berhenti

"Ada apa?"

"Bagaimana dengan mereka berdua? Tanyaku menunjuk Sylph dan Zoker

『"Mereka nanti akan saya pindahkan, professor." 』Balas AI melalui speaker tiba-tiba masuk ke pembicaraan tanpa menunjukkan wujud

"Mmm, ya sudah kalau begitu berarti mereka baik-baik saja." Kataku menyerahkan mereka pada AI

"Ayo Arliz."

"Ya."

*Ngieett*

Kumajukan sedikit badanku membuka pintu dan keluar dari kastil menuju kantornya Arliz.

~~~

Di perjalanan menuju kantornya.

*garagaragaragaragara*

("Rupanya suara kursi rodanya cukup berisik juga kalau lewat tempat yang permukaannya tidak halus.")

Di sepanjang jalan, kami melewati banyak warga yang sedang melakukan aktifitas hariannya. Semua yang melihat kami langsung menghampiri hanya untuk sekadar menyapa, memberiku makanan secara cuma-cuma. Rasanya kota ini selalu dipenuhi dengan senyuman dan kedamaian serta kerukunan yang mereka rawat.

("Benar-benar kota idaman yang berbeda jauh dari yang digambarkan ibukota.")

"Arliz." Panggilku

"Hmm?"

"Apa setiap hari suasana kotanya seperti ini?"

"Ya.. begitulah." Jawabnya yakin dan santai

"Tidak ada yang ditutup-tutupi disini, semuanya saling terbuka."

"Selama kau tidak membuat masalah disini, maka kau diterima."

"Kalau begitu seharusnya aku tidak diterima disini." Balasku mendengar pernyataannya

"Seharusnya sih seperti itu."

"Hanya saja.."

"Hanya saja apa?" tanyaku meledek

"Ra-ha-si-a." Balasnya dengan nada diimut-imutkan

..

("Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya dari sini saat dia membuat suara manis tadi.")

"Hmm, yaa lagipula aku tidak pernah membuat masalah sih disini."

"Apa iya? Pertama kali kau datang saja kau sudah melumpuhkan penjaga gerbang dan seenaknya langsung mengajakku pergi ke kastilnya Sylph."

"Kuakui yang pertama memang kesalahanku, tapi yang kedua aku tidak menganggapnya sebagai kesalahan."

"Selamat pagi, nona Arliz dan ketua Toon." Sapa seorang warga yang berpapasan dengan kami

"Pagi."

"Pagi." Balas kami bersamaan

*garagaragaragaragara*

..

"Aku menganggap pertemuanku denganmu sebagai salah satu berkah bagiku." Lanjutku mendangak sedikit melihatnya

"Mhoo, mulai lagi deh." Responnya langsung mendorong mengembalikan kepalaku agar melihat ke depan

"Tapi terima kasih ya, aku sudah belajar banyak sejak berpetualang bersama kalian." Tambahnya

Aku tidak membalas perkataannya dan hanya duduk diam melihat ke depan dengan lega mendengar pengakuan darinya sampai kami tiba di kantornya.

~~~

Kami telah sampai di kantor yang ia katakan. Yang ternyata kantor yang dimaksud bangunan besar yang sudah seperti jantung kota Tief dimana terdapat Bar, Bank, penginapan dan segala aset milik Arliz. Kantor, atau lebih tepatnya ruang kerjanya berada di lantai 1, dan kami langsung menuju tempatnya.

*Ceklek*

"Pagi Leon." Sapa Arliz begitu masuk

"Pagi juga Arliz.." Sapanya melihat kami

".. dan Toon." Tambahnya begitu menyadari kehadiranku juga

Leon langsung berjalan menuju kursinya begitu kami tiba.

"Biarkan aku Arliz, kau duduklah di kursimu." Kataku

"Baiklah."

Hanya ada tiga orang di ruangan ini, aku, Arliz, dan Leon. Setelah semuanya sudah duduk manis, maka dimulailah pembahasannya.

"Jadi.. apa hasil keputusannya?" Tanya Arliz langsung ke intinya

..

"Cukup dengarkan dan jangan langsung terbawa emosi, terutama kau Toon." Katanya mengingatkan

("Diingatkan agar tidak emosi dari orang yang paling mudah emosi? Separah itukah permasalahannya?")

"Ibukota menerima kedaulatan kita, kota Tief, sebagai bagian dari kepemimpinan Kerajaan Celestial lagi." Ucapnya mulai menjelaskan

"Mmm." Respon Arliz mengangguk pelan

"Bukankah itu bagus?" tambahnya memberikan pendapat

"Tapi.."

"Para petinggi kerajaan melarang kota kita untuk ikut serta dalam upacara penobatan penerus kerajaan."

("Dilarang?")

"Yang dimana harusnya setiap perwakilan kota hadir disana memegang bendera kerajaan selama upacaranya berlangsung."

"Hah?! Bagaiman— Maksudku kenapa?" protes Arliz berdiri begitu mendengarnya

"Kenapa mereka— Eurgghh!!" lanjutnya kesal sampai ekornya ikut tegang berdiri

"…."

("Sebegitu pentingnya 'kah memegangi bendera bagi mereka?")

Aku yang tidak mengerti masih diam menyimpan apa yang ada di pikiranku sampai Arliz kembali tenang.

"Aku tahu apa bagaimana perasaanmu, karena amarahku sendiri hampir meledak di sana." Balas Leon

"Tapi aku menahan diri, mengingat dengan diakuinya kita sebagai bagian dari kerajaan saja sudah cukup sebagai bayaran dari usaha kita."

"Dan aku tidak ingin langsung menghancurkan perjuanganmu selama ini begitu saja, Arliz." Jelasnya menunduk dengan tangan besarnya yang mengepal kuat

("Benar-benar terdengar berbeda dari sifat dia yang sebelumnya.")

*pukk!*

Meski masih terlihat tidak terima, Arliz kembali duduk di kursinya.

"Ya sudahlah, kita harus bersyukur karena setidaknya mereka sudah mengakui kit—"

"Sebegitu pentingnya 'kah memegangi bendera bagi kalian?" tanyaku memotong mulai mengeluarkan pendapat

"Bukan memegangi benderanya yang jadi masalahnya." Balas Leon tanpa melihatku masih menunduk ke bawah

"Upacara penobatan penerus kerajaan bukanlah hal yang bisa terjadi setiap hari, bahkan tahunan."

"Meski sudah diakui secara data, kita tidak akan dikenal oleh masyarakat luas karena tidak ada saat acara pemegangan bendera saat penobatan penerus kerajaan."

("Kehidupan sosial memang menyeramkan.")

("Tapi..")

"Bukankah itu tidak terlalu penting? Yang terpenting adalah keberadaannya, bukan seberapa terkenal kotanya." tanyaku lagi masih tidak paham dengan yang mereka perjuangkan

*sigh*

Arliz sampai menghela napas mendengar pertanyaanku yang mungkin aneh baginya.

"Sudahlah Toon, kau tidak cocok dengan urusan politik." Kata Arliz menggeleng-geleng

"Singkatnya.. kita didiskriminasi oleh petinggi kerajaan." Lanjut Arliz menyimpulkan

"Alasannya?" tanyaku lagi

"Aku tidak tahu dan mungkin tidak perlu alasan bagi mereka melakukannya pada kota kecil seperti kota Tief."

("Apa-apaan itu? Diskriminasi?")

"Dan kau puas dengan hasil seperti itu? Harga diri kalian terus diinjak oleh mereka?" tanyaku kembali bertanya semakin menunjukkan ketidakterimaanku terhadap keputusannya

"Tentu saja tidak." Jawabnya setelah bersandar melepas pandangannya ke langit-langit

"Tapi kita harus sadar diri, dan menurutku.."

"Selama penduduk bisa hidup aman dan nyaman, itu sudah cukup." Tambahnya dengan senyum penuh rasa bersyukur terpampang di wajahnya

..

("Aku tidak bisa membantah untuk yang satu itu.")

"Baguslah kalau kau merasa puas dengan itu, tapi aku tidak." Kataku menyatakan pendapatku

"Karena bagiku.."

"Diskriminasi tanpa alasan adalah kriminal." Tegasku mengepalkan tangan kuat-kuat menunjukkan keseriusanku melawan ketidakadilan

("Diskriminasi dan bullying itu hampir tidak ada bedanya, dan keadaan kota Tief saat ini seperti dibully satu kerajaan.")

("Mana mungkin aku diam saja kota milik servant-ku diperlakukan seperti itu.")

*Srurururu〜*

Kumajukan sedikit kursi rodaku mendekat ke Leon.

"Angkat kepalamu dan jawab aku." Tegasku padanya

"Saat para petinggi membuat keputusan melarang kota Tief ikut upacara penobatannya, itu keputusan bersama atau ada satu orang yang memulainya?" tanyaku

Diangkat kepalanya menunjukkan wajah yang tidak pantas untuknya.

"Keputusannya ditentukan dengan sistem pengambilan suara yang dimulai oleh satu orang."

"Perwakilan kota mana?" tanyaku lagi

"Kota Omnius."

*!!*

"Dia lagi rupanya." Gumamku

*sigh*

"Kalau begitu tenang saja, walikota kota Omnius adalah.."

*glek*

"..kenalan dekatku."

("Mengingat wajah berengseknya saja sudah membuatku mual.")

"Benarkah???!?!?" respon Arliz langsung antusias menghampiri sampai menggenggam kuat tanganku

"…"

("Mata penuh harapan.")

Itulah yang terlintas di pikiranku begitu wajahnya berada sangat dekat denganku.

"Ya, kalau kau tidak percaya kau bisa tanya Zoker juga." Kataku meyakinkan

"Tidak-tidak-tidak-tidak perlu, aku percaya padamu."

"Jadi kau bisa melakukan sesuatu agar kota kita bisa ikut dalam upacaranya??" tanyanya lagi semakin semangat

"Tentu saja." Jawabku yakin

"WaaaaAAAAA!!"

*Bough!*

Dipeluknya langsung kuat-kuat tubuhku olehnya.

" Terima kasih Toon! Terima kasih terima kasih terima kas—"

("Kenapa dia tiba-tiba jadi seperti Zoker sih?")

"Masih terlalu cepat untuk merayakannya, dan sejak kapan kalian jadi sedekat itu?"

("Aku sendiri ingin tahu itu.")

"Abaikan saja kembaranmu ini."

"Baiklah, jadi bagaimana caramu membatalkan keputusannya?" lanjutnya kembali ke masalah benar-benar mengabaikan Arliz

"Sebelum itu, kapan acara penobatannya dilaksanakan?"

"Dua hari lagi." Jawabnya

"Dua hari ya…"

("Aku tidak bisa berbuat banyak dengan waktu yang ada dan kondisiku sekarang..")

*!!*

Aku teringat dengan apa yang sudah kutinggalkan padanya.

("Karena sejak awal aku memang tidak perlu repot berurusan dengannya.")

"Dengan surat." Jawabku setelah berpikir sebentar

"Surat?" balasnya langsung bertanya-tanya

"Ya, kau akan pergi kesana sehari lebih awal untuk membawa dan menyampaikan surat yang akan kutuliskan padanya."

"Dengan jarak sehari, seharusnya mereka dapat membatalkan keputusannya dan merubah seluruh rencana bagaimana acara itu berlangsung tanpa kendala."

"Bagaimana?" tanyaku

"Apa isi suratmu sampai-sampai dia mau membatalkan—"

"Itu privasi, rahasia antara kami."

("Dan kau lebih baik tidak mengetahuinya.")

"Mmm, baiklah kalau kau bilang begitu." Balasnya setuju

Dia bangun dari duduknya membawa kedua pedangnya yang sejak awal dia sudah sandarkan di dinding ruangan.

*dap dap dap dap*

"Besok pagi-pagi buta aku dan pasukanku akan kembali ke ibukota membawa suratnya." Ucapnya berjalan ke pintu keluar

"Dan juga mau sampai kapan kau akan memeluknya, Arliz?" tegurnya ke Arliz yang terus menempel padaku

Dia hanya diam melihat ke arah lain mengindahkan Leon.

"Yaa bukan urusanku juga sih karena.."

*ceklek*

"..kau sudah dewasa, 'bukan?" Tambahnya mengakhiri keluar dari ruangannya

*Blam!*

("Kukira masalah antara mereka sudah selesai, ternyata belum.")

Entah apa yang dipikirkannya sampai-sampai tidak melepaskan pelukannya yang terasa berbeda dari Zoker maupun Sylph.

..

"Ada hal yang tidak bisa kau katakan pada Leon?" tanyaku tidak mengerti dengan sikapnya yang berbeda dari biasanya

"Tolong.. tetaplah seperti ini sebentar lagi." Balasnya hampir berbisik di telingaku mempererat pelukannya

"Kau tahu sesuatu alasan kenapa orang-orang kerajaan memusuhi kalian?" tanyaku

"Tidak, aku tidak tahu." Jawabnya sedikit menggelengkan kepala

..

"Semenjak pemimpin yang sebelumnya, yaitu guru kami."

("Kami..?")

"Beliau pergi entah kemana untuk menyelesaikan urusannya dan mempercayakan kota ini padaku."

"Tak lama setelah kepergiannya, semua petinggi kerajaan langsung memusuhi kami bahkan sampai mengeluarkan kami dari bagian dari pemerintahan Kerajaan Celestial."

"Aku tidak tahu kenapa, tapi setahun belakangan ini aku terus berusaha membujuk agar mereka mau menerima kami kembali dengan membuktikan kalau kota Tief akan terus hidup meski di bawah kepemimpinanku."

"Aku selalu bekerja siang dan malam, mengurus semua urusan kota dengan bantuan orang-orang yang percaya dan selalu membantuku."

"Leon, Octo, Zed, dan yang lainnya."

("Zed?")

"Aku tidak tahu rumor apa yang beredar tentang kami di luar sana sampai kota ini pernah menjadi sangat sepi, jauh berbeda dengan yang kau lihat di luar sebelumnya."

"Tapi sekarang.."

*sigh*

..

"Harusnya aku bersyukur karena mereka pada akhirnya mau mengakui kami kembali, tapi entah kenapa dadaku masih terasa sakit mendengar berita dari Leon tadi."

"Dan saat tadi kau dengan yakin mengatakan kalau kau bisa membantu kami mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kami, aku sangat senang."

"Benar-benar senang sampai tidak bisa mengendalikan diriku untuk.. menunjukkan rasa syukurku seperti ini, meski kau tahu bagaimana sikapku padamu sebelumnya."

"Terima kasih Toon.. terima kasih banyak." Ucapnya dengan lirih mengakhiri

..

"Jadi kau benar-benar tidak tahu kenapa para petinggi kerajaan memusuhi kalian?"

"Tidak, aku yakin sekali kalau kami tidak pernah sekalipun membuat kesalahan yang sampai membuat mereka melakukannya."

"…"

"Kau.. mau melihat Leon yang tampil memegang bendera saat penobatan penerus kerajaannya?"

"Ha..!" responnya terkejut langsung melepas pelukannya melihat wajahku

"Tapi.. tubuhmu belum sepenuhnya pulih."

"Lebih baik kau beristirahat sampai—"

"Jawab pertanyaanku." Tegasku memotong

*smile*

"Tentu aku mau." Balasnya tersenyum dengan semangat

"Baiklah, kita akan pergi ke ibukota tepat di hari penobatan penerus kerajaannya diselenggarakan." Ucapku menentukan

"Apa pun yang terjadi." Tambahku menegaskan

*Bukh!*

"Sekali lagi.. terima kas—"

*Dap!dap!dap!dap!*

*!!*

("Suara langkah kaki ini?!")

*DARR!!*

*Bwuar!!*

"BERHENTI MEMELUK-MELUK TUANKU! DASAR SAPI RUBAH!!" teriak Zoker tiba-tiba mendobrak masuk ke ruangan

("Ternyata benar dia.")

"Darimana kau tahu kalau aku ada disini?" tanyaku penasaran

"Tuan, kau tahu ini bukan pertama kalinya kau meninggalkanku saat aku sedang tidur."

"Ba-gai-ma-na?" tanyaku lagi

"Dengan insting, tuan." Jawabnya bangga

("Memangnya kau hewan apa.")

"Seperti hewan saja." Kata Arliz menanggapi jawaban anehnya

("Tuh, makhluk setengah hewan saja sampai bilang begitu.")

"Eh-Ehehehehe." Balasnya malah kesenangan menggaruk-garuk kepala tertawa kecil

("Itu bukan pujian.")

"Sudah dulu, Arliz." Ucapku melepaskan tangannya yang mengitari leherku

"Aku mau kembali ke kamar dan menulis suratnya."

"Ah, baiklah." Balasnya menurut

"Dan Zoker, temani aku ke kamar." Pintaku

"Baiikkk, tuaann〜" Jawabnya semangat

"Menjauh dari tuanku, sapi rubah." Ucapnya sinis memusuhi Arliz mengambil alih kursi rodaku

"Zoker akan menemaniku, dan kau urus saja semua urusan kota sebelum kita pergi nanti agar tidak ada masalah." Suruhku

"Ya, tenang saja."

..

("Pintunya..")

Pintu ruangannya rusak akibat dobrakan Zoker tadi.

"Setelah aku sampai kamar, kau harus kembali dan memperbaiki pintu ini." Tegasku melihat kerusakan yang dibuatnya

"Tapi tuan, aku 'kan tadi tidak senga— Baiklah, nanti akan kupasang lagi."

"Ini semua karena ulahmu, dasar sapi rubah pencuri kesempatan! Bweee!!" ledek Zoker seperti anak kecil tepat sebelum keluar

"Sudah ayo cepat!" bentakku

"Iya-iya-iya tuan, aku jalan."

("Hmm…")

Aku langsung pikirkan kalimat yang kira-kira akan kutulis nanti setelah keluar dari ruangannya, tapi Zoker sudah mengajak bicara lagi.

"Hei hei, tuan."

*sigh*

("Mulutnya tidak lelah apa berbicara terus?")

"Ada apa?"

"Sylph kan masih tidur di kastil, dengan begitu kita bisa bermesraan seharia—"

"Diam kau, jangan berpikir macam-macam."

"Ada hal yang harus kukerjakan sesampainya di kamar nanti."

"Dan jangan lari dari tugasmu memperbaiki pintunya Arliz." tegasku memperingatkan

"Iyaa, tuan."

Dan kami pergi ke kamarku untuk menulis suratnya. Tapi..

*Deng!*

.. kami berhenti tepat di depan halangan terbesarnya.

("Sial, aku lupa kalau kamarku ada di lantai dua dan harus naik tangga untuk kesana.")

"Jadi.. bagaimana, tuan? Kau ingin kugendong lagi seperti tuan put—"

"TIDAK AKAN." Balasku menolak cepat

"Kita akan kembali ke kastil, dan aku akan mengerjakannya di sana." Ucapku menentukan

"Oh ya sebelum itu, kita kembali ke tempatnya Arliz dulu untuk pinjam alat tulis."

Setelah mendapat alat tulisnya, kami keluar dari tempatnya Arliz dan pergi ke kastil.

~~~

Di jalan kembali ke kastil. Aku ditemani Zoker yang asli, bukan Crown-nya sedang mendorong kursi rodaku lewat rute yang sama seperti yang Arliz dan aku lalui tadi.

"Zoker." Panggilku

"Ya, tuan."

"Saat aku tak sadarkan diri setelah menghadapi si golem raksasa waktu itu.."

"Bagaimana caranya kalian menyapu bersih monster-monster yang tersisa?" tanyaku penasaran

"Itu.. sebenarnya aku tidak tahu kapan tepatnya tuan pingsan karena aku sedang fokus menjaga tiga gerbang."

"Saat aku ingin pindah ke sisi lain dengan gerbang sihir itu, tuan."

"Tiba-tiba keluar senjata besar dari dalam sana membuatku tidak bisa menggunakan gerbang karena dihalang olehnya."

"Dan senjata itu tiba-tiba.."

"Bu-Buaamm!! Gitu tuan." Lanjutnya sedikit heboh sendiri meniru suara tembakan yang mungkin dikeluarkan senjatanya

("Pfft.. aku ragu kalau suara senjatanya terdengar seperti itu.")

"Owh, lalu?" pintaku penasaran dengan kelanjutannya

*Kriit*

Diberhentikannya kursi rodaku dan langsung melangkah cepat ke depanku.

"Psi-Psiuu〜! Dadadadadaa!! Buaamm!!" balasnya malu-malu menirukan suara ditambah gerakan buatannya yang malah membuatnya terlihat seperti anak kecil yang mencoba menjelaskan apa yang ada di bayangannya

("Duh!! Servantku yang satu ini manis sekali!!")

"Dan semua monsternya hilang begitu saja, tu—"

"Waaa…" respon anak kecil yang sedang bermain di sekitar tiba-tiba berhenti tertarik perhatiannya melihat tingkah Zoker

*??*

"Kak, kak.. ada yang begini juga suaranya." Panggilnya antusias

" Dhuu!! Babababammm!! Sama seperti kemarin, tapi lebih meledak suaranya." kata anak kecilnya ikut menirukan suara yang mungkin didengarnya selama pertempuran

("Dan sekarang anak kecilnya bertambah satu.")

"Ah, emm, iya.. ada yang seperti itu juga.. kurasa.." balasnya dengan wajah merah padam begitu sadar ada yang memperhatikannya selain aku dan dia mungkin lupa karena telah memperagakannya di tempat umum

"Wah, sayang sekali aku tidak mendengarnya.. padahal asik sekali ya." Kataku ikutan dalam kepolosan mereka

"Iya, tapi aku tidak dibolehkan keluar sama ibu jadi hanya bisa mendengar suaranya dari dalam rumah." Protesnya sedikit tidak puas

("Kerja bagus! Ibunya anak ini.")

"Mm-Mu.."

"Hmm..?" responku dan anak kecilnya bertanya-tanya apa yang akan Zoker katakan

"Mu-Mungkin di masa depan nanti kau akan bisa.. mendengar dan bahkan melihat asal suara itu.. lagi." Ucapnya dengan jarinya bermain-main sendiri dan pandangannya yang kemana-mana karena malu

"Jadi teruslah hidup sampai saat itu tiba.. ya.." lanjutnya menghibur melihat anak kecilnya dengan senyuman khasnya di akhir kalimat

..

"Cantik sekali.." ucap anak kecilnya setelah diam sebentar terpesona melihat senyumannya

("Woo.. anak ini matanya bagus juga..")

"E-Ah-umm.." respon Zoker salah tingkah sendiri mendengarnya

"Aku tahu perasaanmu saat melihat senyum indah tadi pria kecil." Kataku ke anak kecilnya

"Tapi sayang sekali karena.."

Kutarik bahunya mendekatkan kepalanya padaku.

"Kakak cantik di hadapanmu ini adalah milikku." Bisikku meledeknya

*Plak!*

"Be-Be-Be-Berisik!" Teriaknya menepis tanganku menjauh

"Akan kuadukan kau pada pahlawan yang telah menyelamatkan kota ini agar membalasmu karena telah.. telah.."

"Telah apa..?" tanyaku lanjut meledeknya

"Telah menjahili anak kecil sepertiku!" lanjutnya kesal lalu pergi

Setelah beberapa langkah dia pergi.

"Lihat saja, kalau sudah besar nanti aku akan mendapatkan sendiri gadis yang cantik seperti kakak itu!" teriaknya menunjuk ke arahku dan lanjut pergi

"Yaa, kabari aku kalau kau sudah dapat." Balasku sedikit teriak agar dia mendengarnya

Selagi aku sibuk dengan anak kecil yang memuji-muji Zoker. Orang yang dipuji kini sedang berdiri diam menutupi wajahnya.

"Ada apa Zoker?"

"Mmm." Balasnya hanya menggelengkan kepala

"Tenang saja, anak kecil itu tidak berbohong kok."

"Kau memang cantik." Tambahku memuji dan menggodanya di saat yang sama

"Tolong jangan menggodaku terus, tuan." Pintanya menggeleng-geleng menahan rasa malu masih menutup wajahnya

*plok!*

Dia menampar pipinya sendiri dengan kedua tangannya menyadarkan dirinya.

"Yosh! Kit-Kita harus segera kembali ke tujuan awal kita kembali ke kastil, tuan." Tegasnya langsung serius

"Benarkah? Padahal kau sendiri yang keasikan menirukan suara sampai—"

"Tuaaannn..!" responnya memotong berteriak manja dan langsung kembali mendorong kursi rodanya

*grip*

*garagaragaragaragara*

..

"Maaf tuan, waktu tuan jadi terbuang karenaku." Ucapnya melas minta maaf seperti biasa

"Tidak apa-apa, justru aku bersyukur karena bisa melihat wajah manismu yang sedang malu-malu lagi setelah sekian lama.. hehe."

"Mhoo!! Tuan!!" responnya terdengar kesal lanjut mendorong

Dengan begitu, kami melanjutkan perjalanan kami ke kastil.

Setelah sampai dan semua yang kuperlukan terpenuhi, Zoker kembali ke tempatnya Arliz untuk memperbaiki pintu yang dirusaknya.

~~~

*srak-srak-srak-srak*

"Tertanda.."

"..Toon."

Kuangkat surat yang baru saja selesai kutulis.

"Akhirnya selesai juga.."

Kudekat dan jauhkan berulang-ulang kertas berisi tulisanku setelah sekian lama tidak menulis.

("Tulisanku jadi jelek sekali.")

"Siapa peduli, lagipula penerimanya juga bukan manusia." Ucapku sendiri menyepelekan

("Selama Leon nanti mengatakan kalau surat ini dariku, dia pasti akan berusaha membacanya.")

Setelah selesai kulipat rapih suratnya, langsung kusegel dengan amplop khusus dari Arliz. Dan saat ingin kumasukkan ke saku jubah seperti biasa.

*??*

"Oh iya.. jubahku yang dulu sudah compang-camping dan tidak layak pakai."

Aku baru ingat kalau beberapa hari ini aku selalu mengenakan baju pasien milik Sylph, dan baju itu tidak memiliki satu pun saku untuk menyimpan barang.

("Bagaimana ini? Apa aku harus beli baju baru? Tapi aku masih punya beberapa yang ditinggal di ibukota.")

"Hmm…"

*Tok.. tok..*

"Aku masuk tuan."

*Jek— Ngiit*

Zoker masuk ke dalam ruang tempatku menulis suratnya.

"Sudah selesai, tuan?" tanyanya begitu masuk

"Ya, baru saja."

"Berarti aku datang tepat waktu."

Kuperhatikan apa yang dibawa di tangannya.

"Itu apa?" tanyaku

"Oh, ini coklat panas.."

*Cekleng*

"Aku buatkan untukmu, tuan." Ucapnya menaruh cangkirnya di meja tempatku bekerja

("Whoo, pas sekali dia menyajikanku manisan untuk otakku yang habis bekerja keras.")

"Terima kasih." Ucapku mengambil cangkir berisi coklat panasnya dan menghirupnya perlahan sebelum meminumnya sedikit demi sedikit

*Slurrpp—*

*!!*

("Manisnya pas!")

("Tidak kusangka dia bisa membuat minuman seenak ini.")

"Ruangannya cukup nyaman juga ya, tuan." Kata Zoker berkeliling melihat-lihat isi ruangan yang mungkin tidak terpakai yang kutemukan di dalam kastil

"Ya, sunyi dan tenang."

"Cocok sekali sebagai tempat kalau aku sedang membuat atau memikirkan sesuatu." Balasku bersandar lanjut minum ikut menjelajah ruangan dengan mataku

"Ada banyak buku-buku yang tebal tuan."

"Jangan menyentuh dan merubah posisi apapun yang ada disini, Zoker." Kataku mengingatkan

"Kita tidak tahu ruangan dan buku-buku apa itu bagi Sylph dan professornya." Tambahku

"Baik." Balasnya lanjut melihat-lihat

("Dan juga ruangan apa ini sebenarnya?")

Aku sendiri bertanya-tanya dengan ruangan yang saat ini kami tempati. Aku asal masuk dan langsung memilih ruangan ini karena sudah disediakan meja tulis, jadi tidak perlu mencari alas lagi untuk menulis.

Selagi dia asyik berkeliling. Tiba-tiba saja aku teringat soal pakaianku.

"Zoker."

"Ya, tuan." Jawabnya menghampiriku

"Besok lusa 'kan kita akan pergi ke ibukota, dan menurutmu.."

Kumundurkan kursi rodaku keluar dari dalam meja.

"Apa penampilanku saat ini tidak apa-apa selama perjalanan ke sana?" tanyaku mengangkat-angkat bagian pundak baju menunjukkan

"Hmm, aku tidak masalah dengan apapun yang tuan kenakan."

"Bukan begitu, maksudku bagaimana menurutmu kalau orang-orang di ibukota nanti melihatku berpakaian seperti ini?"

"Tidak cocok tuan." Jawabnya langsung

"Ya 'kan? Oleh karena itu aku mau kau untuk mem—"

"Membuatkan baju untuk tuan?" potongnya berbeda dari yang ingin kukatakan

"Membuat.. kan..??" responku bertanya-tanya

"Ya tuan, aku bisa membuat baju seperti yang tuan inginkan." Tambahnya percaya diri

("Dia mulai percaya diri menunjukkan keahlian lainnya selain bertarung dan minta maaf sepanjang waktu.")

"Owh.. rupanya kau lebih feminim dari yang kelihatannya ya.."

"T-Tentu saja kalau hanya sekadar menjahit aku bisa, tuan."

"Dan juga belum lama sudah membeli mesin jahit dan bahan yang sama seperti jubah tuan sebelumnya."

("Jadi dia sudah mempersiapkan semuanya.")

"Ah-mmm, baiklah."

"Tolong buatkan satu untukku ya."

"Dengan senang hati, tuan." Balasnya tersenyum

("Kalau dia membeli mesin jahit, berarti barang bawaan kami nanti akan— Oh tidak apa, karena sekarang ada AI.")

"Dan omong-omong, apa kau melihat Sylph seharian ini?" tanyaku penasaran tidak melihat koala yang biasanya selalu menempel di punggungku

"Katanya Sylph masih tidur." Jawabnya berdasarkan perkataan orang lain

"Kata siapa? AI?" tanyaku lagi memastikan

"Iya, tuan."

("Dia pasti lelah karena telah merawat dan memastikan keadaanku sepanjang waktu tanpa istirahat selama beberapa hari.")

("Dan yang aneh malah gadis yang di hadapanku saat ini..")

"A-Ada apa tuan? Kenapa tuan menatapku seperti itu?"

("Tubuhnya tidak normal.")

("Apakah efek lain dari sabitnya??")

"Tidak.. aku hanya penasaran."

"Kau dan Sylph 'kan sama-sama selalu terjaga menungguku siuman waktu itu."

"Tapi kenapa saat Sylph sedang tidur pulas memulihkan tubuhnya saat ini, kau malah terlihat segar sekali seperti tidak ada yang terjadi."

"Mmm.. aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa seperti ini, tuan."

"…"

"Ya sudahlah, ayo kita cari makan malam dan segera tidur."

"Kita harus bangun pagi-pagi besok." Kataku mencoba memutar arah kursi rodaku ke pintu keluar

("Ah, lebih sulit dari yang kuduga.")

"Biar kubantu, tuan." Jawabnya langsung sigap membantu mendorong kursi rodaku

*Jek— Ngiit*

"Kau mau makan apa?" tanyaku iseng

"Daging!!" jawabnya sampai berteriak semangat tiba-tiba bertukar dengan Crown-nya

"Jangan berisik!" bentakku

"Hei, tuan! Tuan! Aku sangat suuuuka daging—"

Dan kami berbincang berdua sepanjang jalan keluar dari kastil mencari makan malam di luar, dan lanjut jalan-jalan sebentar sampai mata terasa berat dan kembali ke kastil untuk istirahat lebih awal.

Kutinggalkan suratnya begitu saja di atas meja ruangan tempat kutulis suratnya untuk besok pagi kuberikan ke Leon sebelum dia berangkat kembali ke ibukota.