TIGA
Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh!
Hal yang hebat sekali terjadilah.
Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokan menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncak-puncak, karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung!
Bladra Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng dilihatnya masih berdiri utuh!
Maka berserulah Bladra Wikuyana: "Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!"
Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala. "Tongkat itu hebat sekali!," katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejarnya itu lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!
Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga tali.
Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam.
Dari balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar.
Kemudian didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng?
Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola Wungu.
"Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!," seru Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung pelataran. "Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!"
Bladra Wikuyana tertawa hambar. "Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini?!".
Wiro Sableng menyengir. Katanya: "Kalau begitu kalian semua di sini juga sama-sama ikut mampus dengan aku!".
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
"Turunkan tangga tali," perintahnya.
Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik. "Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus..."
"Apa?" tanya Wiro Sableng kepingin tahu. "Berlutut minta ampun di hadapanku dan bergabung denganku!".
Wiro Sableng tertawa meledak.
"Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahu-tahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!"
"Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!" kata Bladra Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
"Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!" bentak Bladra Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan tongkat di tangan.
"Ketahuilah:.." kata Bladra Wikuyana pula. "Yang akan kalian hajar itu adalah seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!"
Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan serentak menyerang Wiro Sableng!
Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: "Angin Topan Dari Barat! Kenapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh maju?
Apa kau tidak punya nyali?!".
Bladra Wikuyana menyahut dengan membentak: "Kalau kau ada urusan dengan salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!"
Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
"Tolol," maki Bladra Wikuyana pada murid-muridnya: "Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merobohkan bangsat itu kalian musti mundur dan terima hukuman!".
Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merobohkan Pendekar 212. Kini karena takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
"Ciaaat!"
Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul!
Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka.
Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaligus angin topan dahsyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan!
Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola Wungu: "Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!".
Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak-kemik dan sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula lambat perlahan kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat manusia berpakaian hitam itu tidak jelas lagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan kawan-kawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk-pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut mendekatinya!
Bergola Wungu melihat lawan mulai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung di tengah lingkaran. Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!