ENAM
"Aha… Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!" kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar. melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak. "Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut sana...?" bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: "Mungkin ada mengandung suatu maksud tidak baik .... "
"Saudara... a...aku..." Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu? "Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini? Barangkali juga kalian hendak menjebakku...?"
"Saudara dengarlah..." kata Anggini pula. "Aku sebenarnya tidak mau dengan semuanya ini..."
"Semuanya ini apa...?" potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir.
"Gurumu bersamamu?"
"Tidak...."
"Gurumu yang menyuruh untuk menguntit aku?"
Gadis itu anggukkan kepala.
"Perlu apa gurumu menyuruh demikian?"
Kembali Anggini menggigit bibir.
"Apa dia belum puas dengan sedikit pertempuran siang tadi...?"
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa gurunya menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup pemuda itu? Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah langit yang disaputi sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek. Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu seketika lalu mengumandanglah gelak tawanya. "Saudari... apakah penguntitan ini ada sangkut-pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?"
Paras Anggini semakin merah. "Tadi aku sudah bilang... sebenarnya aku tak senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku..."
"Memaksa bagaimana?!"
"Katanya aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali kepertapaan. Katanya lagi aku harus... harus..." Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
"Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sinting!"
Meski Anggini memang tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun mendengar nama gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
"Jangan hina guruku, saudara!" bentaknya.
Wiro Sableng garuk kepala. "Ah... guru dan murid sama saja gebleknya!" kata ini pemuda. "Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau juga akan ikuti ucapannya itu...?!"
"Guruku tidak segila itu!" bentak si gadis.
"Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi sinting!" menukasi Wiro Sableng.
"Sekali lagi kau berani menghina guruku, kutampar mulutmu!" ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul! "Gurumu memang sinting!" katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ketinggian kesaktian Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu.
Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah angsurkan pipi ke muka!
"Plaak!"
Tamparan mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa. "Betapa lembutnya jari-jarimu mengelus pipiku..," katanya dengan pejamkan mata. "Ayo, tamparlah sekali lagi... dua kali lagi... tiga kali lagi... sesuka hatimulah...!"
Wiro menunggu tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan kedua matanya 'kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis menahan geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. "Kenapa tidak mau tampar?" tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. Segera dibukanya selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul besar. "Eh... saudari kau ini apa mau buka pakaian di depanku?" tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata dengan ceriwis.
"Pemuda rendah terima selendangku ini!" bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak.
Ujung selendang berputar perlahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih berbahaya daripada tenaga kasar yang di luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau menyambuti liuk-liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih tertawa dia mengejek: "Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!"
Dugaan Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba memapasi selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik selendang dan melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan Wiro Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula.
Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini Anggini rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
"Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!" memuji Pendekar 212. "Tapi tak cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku..." Ucapan Wiro Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.
"Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!" Ujung selendang ungu dengan sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan kepala untuk mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk mengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya karena serentak dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng.
Hebat sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan selendangnya tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
"Ah... ah... bagus, bagus sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!" memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng.
Pendekar 212 cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang sehingga kalaupun detik itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian dengan tangan kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan tertarik ke muka!
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan, malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.
"Sambut paku perakku, manusia rendah!" bentak gadis itu.
Sekali dia gerakan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal, berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata rahasia itu karena khawatir si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah gurunya telah berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya...?!
Sebaliknya yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan dengan berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya maka kini setelah si pemuda berhasil selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia memekik keras, lompat ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul menyusul.
"Ah, tak sangka gadis molek begini galak sekali!" kata Wiro Sableng pula. Dia melompat ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah, kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Ayo, kenapa berhenti galaknya?" tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya maka dengan cepat dia dapat membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya menyorot memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis mengedip-ngedipkan matanya!
"Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan?!" tanya Wiro.
"Lepaskan selendangku!" teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
"Lepaskan!" teriak gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro
memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek.
Kesal dan gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya,
putar tubuh dan
lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
"Heh... kenapa jadi nangis?" tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu
besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala. Lalu katanya: "Saudari, lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam
yang
gelap nanti!"
"Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke pertapaan!" jawab Anggini di antara tangis
sesungguhnya.
"Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?"
"Guruku akan marah!"
"Marah kenapa?" tanya Wiro lagi.
"Sudah... sudah! Kau tidak tahu!" Dan tangis Anggini semakin mengeras.
"Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!"
"Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing!
Pergi dari sini kau...!" Anggini menyeka mata dan pipinya.
"Tak perlu bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini semua adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!"
"Jangan hinakan guruku!" hardik Anggini.
"Kau seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau juga turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah ke pertapaan gurumu sebelum hari menjadi malam..."
"Tidak!"
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu. Akhirnya pemuda ini berkata juga: "Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih pasti kau menjadi seorang gadis yang hebat...."
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia memandang ke langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan samar-samar di balik awan. "Sudah malam...." desis pemuda ini. Kemudian dia memandang pada gadis yang berdiri di depannya dengan membelakangi itu. "Pergilah cepat, saudari. Nanti kau kemalaman di jalan...."
Anggini gelengkan kepala. "Guruku akan marah... akan marah kalau aku kembali.... "
"Kalau begitu ya tak usah kembali saja..." ujar Wiro Sableng.
"Aku memang tak bakal kembali..." kata Anggini pula.
"Hem... dan kau mau pergi ke mana?"
"Apa urusanmu tanya-tanya?"
"Ah..." Wiro tertawa. Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya pundak Anggini. Si gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
"Saudari, dengarlah…" kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis malahan meremas-remasnya dengan lembut. "Dalam hubungan guru dan murid walau bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan sendiri. Kalau kau tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!"
"Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu...."
"Apa yang aku tidak tahu?" tanya Wiro.
Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun terluncur juga ucapan dari mulutnya: "Kalau aku musti kembali kata guruku... aku harus bersamamu..."
Wiro tertawa. Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam itu.
"Saudari... namamu siapa?" bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam saja diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih belum kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang membelai-belai itu. Ditundukkannya kepalanya.
"Siapa namamu, saudari...?" tanya Wiro lagi.
"Anggini," jawab si gadis perlahan.
"Nama bagus... nama bagus," puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka Anggini. "Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka bicara ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah menemuiku dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang Sanggreng!"
"Aku tak bisa berdusta... kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!" kata Anggini pula.
"Wah berabe kalau begini!" ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu duduk di sebuah batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu serba asing baginya.
Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak perjalanan belum menemui rumah penduduk.
Apakah dia dan gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu malam ini?
Angin bertiup dari celah-celah batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
"Dingin...?" bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak di balik punggung si gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. "Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa pula meninggalkan kau sendirian maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku akan cari tempat yang baik...."
"Nanti sajalah.... " kata Anggini. Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia memandang ke angkasa.
"Langit cerah," kata Wiro. "Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang sialan.... !"
Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki tengkuk si gadis dengan hidungnya.
"Jangan begitu ah...." kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau nyala api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring di balik batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada berdekatan itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika dia berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis di sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan sehat: Meski saat itu Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oleh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari itu pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya yang sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
* * *
Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan perlahan, digosoknya beberapa kali kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.
"Wiro," panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
"Wiro.... !" panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab.
Tiba-tiba ketika matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana dia dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya tulisan. Tulisan.
Anggini
Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi. Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi.
Anggini merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi. Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam tadi atau dinihari, atau pagi tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan ikatan selendang ungunya yang di pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya sederetan angka: 212. Sekali lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai ditinggalkannya tempat itu.