Chereads / MRS4 - Temptation / Chapter 9 - part 8

Chapter 9 - part 8

Misi yang Bryssa emban telah ia selesaikan. Bryssa sedang mengurus pengunduran dirinya. Ah, padahal dia belum juga bekerja satu bulan.

"Bryssa, temani saya makan siang." Justine yang tengah uring-uringan karena kehilangan permata pincess of the sun mengajak Bryssa untuk makan siang bersama. Sejujurnya wajah Justine saat ini terlihat tenang tapi Bryssa tahu benar jika Justine tengah ingin meledak.

"Baik, Pak." Selama Bryssa bekerja dengan Justine, ia benar-benar menjadi sekertaris yang membuat Justine penasaran. Bryssa jual mahal tapi dia selalu menemani Justine kemanapun jika itu alasan kerja. Bryssa menggunakan taktik yang baik agar Justin membawanya kemanapun tapi sejauh ini Justine belum membawanya ke ranjang. Justin bukan pria penyuka sesama jenis tapi dia terlihat seperti priabaik-baik yang tidak suka bermain wanita. Tapi dalam misi Princess of the sun, Justine adalah pria jahat yang ingin membalaskan pengkhianatan badan intelijen pada ayahnya. Tidak sepenuhnya jahat, Justine hanya tidak terima kematian ayahnya.

Di dalam perjalanan Bryssa masih memikirkan alasan untuk mengundurkan diri. Dia tidak mungkin mengatakan jika dirinya akan pergi karena ayahnya sakit, kenyataannya ayahnya sudah meninggal. Bryssa hanya bisa menyamar jika ia berada di luar negeri, jika ia di dalam negeri maka ia akan menggunakn nama aslinya. Lagipula ia jarang mendapatkan misi dalam negeri. Ia lebih banyak berkeliling dunia untuk menyelesaikan misi bersama dengan ketiga temannya yang lain.

"Kita sampai, Bryssa." Justine menyadarkan Bryssa dari lamunan panjang Bryssa.

"Oh, ya, Pak." Bryssa keluar dari mobil. Ia sudah menemukan cara untuk berhenti dari Justine. Ia akan menggunakan saudara jauhnya untuk mengundurkan diri.

Bryssa dan Justine duduk di kursi mereka, memesan makanan lalu menunggu beberapa saat.

"Kau terlihat seperti ada yang mengganggu pikiranmu, Bryssa. Ada apa?" Justine memakan umpan Bryssa yang sejak tadi menunjukan wajah banyak pikiran.

Bryssa tersenyum seolah senyuman itu adalah senyuman bahagia yang terpaska, "Saya tidak apa-apa, Pak."

"Kau bohong."

Bryssa menarik nafasnya, "Kita bicara nanti saja. Setelah makan." Bryssa takut ia akan merusak selera makan Justine, ya walaupun dia tak begitu peduli dengan selera makan Justine.

"Baiklah." Justine mengikuti mau Bryssa.

Pelayan datang menghidangkan makanan, Bryssa dan Justine memakan makanan mereka.

Makan selesai, kini saatnya Bryssa untuk bicara.

"Saya ingin mengundurkan diri."

Justine diam beberapa saat, tepat seperti pemikiran Bryssa.

"Ada apa? Apa aku menyusahkanmu?" Justine bertanya lembut.

Bryssa menggelengkan kepalanya, memasang wajah segan pada Justine, "Ini bukan karena anda. Ini karena bibi saya ingin saya tinggal dengan mereka. Saya hanya punya mereka saat ini."

Justine menggenggam tangan Bryssa yang ada di atas meja, "Aku menyukaimu, Bryssa."

Bryssa tidak terkejut akan hal ini, sudah jelas Justine menyukainya. Pria ini selalu memandangnya lembut. Hanya saja Bryssa tak merasakan apapun pada Justine. Bahkan dadanya tidak bergetar saat di dekat Justine, dadanya hanya bergetar ketika ia dekat dengan Zavier.

Hell, kenapa jadi menyerempet ke Zavier? Lupakan.

"Justine." Bryssa bersuara pelan. Matanya bergerak ke sekitar seakan ia tak ingin memandang mata sendu Justine.

Seketika tubuhnya membeku, ia menemukan mata yang harusnya tak ia temui.

Zavier memandangi Bryssa, ia baru berada di restoran itu sekitar 10 menit. Sudah cukup lama ia melihat Bryssa bersama dengan pria lain. Hingga pada akhirnya Bryssa menyadari keberadaannya.

Prang! Cangkir yang Zavier genggam kuat pecah di tangannya. Ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju ke Bryssa. Menarik tangan wanita itu dan melumat bibir Bryssa dengan kasar di depan mata Justine.

Justine terkejut, ia hanya diam di tempat duduknya melihat Bryssa dan Zavier.

Bryssa tak melawan dari Zavier, ia membiarkan Zavier melakukan apa yang pria itu mau.

Ciuman terlepas. Tangan Zavier yang tak berdarah memnggenggam tangan Bryssa.

"Mulai hari ini dia berhenti bekerja dari perusahaanmu!" Zavier menatap Justine tajam. Aura mengintimidasinya memenuhi sudut ruangan itu. Orang-oarng yang ada di restoran melihat ke arah Zavier, Bryssa dan Justine.

"Jadi, Bryssa. Alasan kau ingin mengundurkan diri bukan karena bibimu tapi karena pria ini?" Justine menatap ke Bryssa.

Bryssa menghela nafas, ah, kebohongannya terbongkar sekarang. Belum sempat ia membalas ucapan Justine, Zavier sudah menarik tangannya.

"Kau tidak berhak memaksa Bryssa untuk berhenti!" Justine menghalangi Zavier. Pria ini tahu Zavier anak pengusaha kaya raya Velasco tapi dia tak tahu jika Zavier adalah seorang pria dingin yang bisa membunuh tanpa belas kasih. "Bryssa, kau tidak perlu takut padanya. Aku akan membantumu."

Bryssa menghela nafas, membantu? Bryssa sangat yakin jika ialah yang akan membantu Justine lolos dari Zavier.

"Menyingkir!" Zavier bersuara pelan tapi berbahaya.

"Pak, menyingkirlah." Bryssa meminta Justine untuk menyingkir.

"Tidak, Bryssa. Pria ini tidak bisa memaksamu. Kau pasti takut padanya jadi kau memilih untuk berhenti. Aku bisa melaporkannya ke polisi untuk membantumu."

Zavier kehilangan kesabarannya, ketika Zavier hendak melepaskan tangan kanannya dari lengan Bryssa, Bryssa menahannya.

"Aku tidak takut padanya. Dia kekasihku, bagaimana mungkin aku takut padanya. Dia tidak memaksaku, aku sendiri yang ingin berhenti bekerja. Aku merasa tidak cocok menjadi sekertaris anda. Lagipula kekasihku adalah pewaris Velasco Group. Untuk apa aku bekerja jika aku akan menjadi nyonya besar." Bryssa memilih menyelesaikan dengan caranya sendiri. Dia tidak ingin Zavier berkelahi. Bukan karena dia takut Zavier kalah tapi karena dia memang tidak ingin Zavier berkelahi. "Ayo pergi, Sayang." Bryssa menggunakan nada manis.

Bryssa akhirnya melangkah melewati Justine yang kini tengah patah hati.

"Bagus sekali, Bryssa. Aku membiarkan kau bekerja dan aku menemukan pria menyentuh tanganmu. Kau sadar kau milik siapa, kan?!" Zavier mencengkram tangan Bryssa kasar.

"Aku sudah mengundurkan diri. Mana aku tahu jika dia akan memegang tanganku." Bryssa tak mau disalahkan.

Zavier membuka pintu mobilnya dan memaksa Bryssa untuk masuk.

"Joan, lenyapkan Justine." Zavier bicara pada Joan yang menjadi sopirnya.

"Jangan keterlaluan, Zavier." Bryssa menatap Zavier tajam.

"Tak ada yang boleh menyentuhmu, Bryssa. Kau hanya milikku."

"Kau sakit jiwa, ya!"

"Lenyapkan dia, Joan."

"Jangan, Joan!" Bryssa melarang Joan.

"Aku tidak bekerja lagi untuknya, Zavier. Jangan membunuhnya."

Zavier bergeming. Bryssa tahu cara keras tak akan membantu saat ini, "Jangan membunuhnya, aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhku lagi. Tolong ampuni dia."

"Kau bahkan memohon untuk dia. Kau menyukainya, hm?! Apa saja yang sudah kau lakukan dengannya? Bercinta dengan kasar? Apa kau kurang puas denganku?!"

Ucapan Zavier menguji kesabaran Bryssa tapi Bryssa menahan dirinya, "Aku tidak menyukainya, Zavier. Aku hanya tidak ingin kau membunuh. Sebaiknya kita pulang, aku akan mengobati tanganmu."

"Kita pulang, Joan." Akhirnya Zavier mendengarkan kata-kata Bryssa.

Bryssa bernafas lega, syukurlah.

Sesampainya di kediaman Zavier, Bryssa segera mengurusi luka di tangan Zavier karena pecahan gelas tadi. Luka Zavier selesai di balut oleh Bryssa.

"Patahkan tangan Justine."

Mendengar kata-kata Zavier, Bryssa mengangkat wajahnya.

"Apa yang kau lakukan, Zavier?"

"Aku tidak akan membunuhnya, Bryssa. Aku hanya mematahkan tangannya. Harus ada harga yang dibayar karena telah berani menyentuh milikku."

"Kau sakit jiwa!" Desis Bryssa.

"Jika kau lupa, aku ini binatang." Zavier bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Bryssa.

"Arrghhh, si brengsek itu!" Bryssa memaki kesal. Apa sebenarnya mau Zavier ini? Jika tak ingin ada orang lain yang menyentuhnya lalu kenapa Zavier cuek dan dingin padanya. Apa sebenarnya yang ada di otak Zavier?

Bryssa lelah memahami jalan pikir Zavier. Hampir satu bulan dia dengan Zavier, berbagi kenikmatan di atas ranjang tapi Zavier tetap saja dingin dan cuek padanya. Pria itu hanya bicara singkat lalu setelahnya meninggalkannya. Datang ketika ia membutuhkan tubuh Bryssa dan pergi setelah puas. "Sialan! Aku ini apa baginya? Pelacur?! Binatang peliharaan atau apa?!" Bryssa memaki lagi.

tbc