Bryssa mendekati kepala pelayan di kediaman Zavier.
"Zavier sudah sarapan atau makan sesuatu?" Tanyanya.
"Belum, Nona."
"Oh, baiklah lanjutkan pekerjaanmu." Bryssa tersenyum lalu segera melangkah.
"Ah, apa dia mau mati? Semalam dia makan sedikit, pagi ini tidak sarapan. Dan siang sudah berjalan. Apa perutnya itu tidak tersiksa?" Bryssa bicara sendiri. Karena kejadian tadi pagi dia merasa sedikit bersalah tapi dia juga merasa benar. Ia seharusnya tak menunggu Zavier tapi Zavier juga harusnya tak bicara kejam.
"Sialan!" Bryssa memaki. Alasannya memaki adalah karena dia merasa terganggu karena Zavier belum makan. Zavier tak bersikap manis padanya tapi pria ini memasak untuknya meskipun dengan wajah yang dingin. Jika dikatakan Zavier tak peduli padanya maka pria itu tak akan memasak dan mengenyangkan perutnya tapi jika dikatakan peduli tapi Zavier terlihat sangat dingin padanya.
Dan lagi-lagi, Bryssa bingung pada sikap Zavier. Ia benar-benar bingung.
"Baik, aku menyerah!" Bryssa sudah seperti orang kurang waras sekarang. Menebak pikiran Zavier sangat melelahkan baginya.
"Dimana Zavier?" Bryssa bertanya pada seorang pelayan yang melintas di lorong rumah.
"Tuan sedang ada di ruang latihan."
"Baiklah, lanjutkan langkahmu." Bryssa maupun pelayan sama-sama melangkah. Di kediaman Zavier, seluruh pelayan pasti tau dimana keberadaan Zavier, Bryssa saja kadang bingung, apa Zavier selalu memberitahu pada pelayannya kemanapun dia pergi? Sebenarnya ini kebingungan Bryssa yang tidak penting jadi abaikan saja.
Ruangan latihan Bryssa tahu tempatnya tapi ia tidak pernah masuk ke dalam ruangan itu. Mungkin ruangan latihan itu tak jauh berbeda dari ruang latihannya di kediaman rahasianya.
Cklek, Bryssa membuka pintu ruangan latihan. Apa yang dia pikirkan memang benar. Ruangan itu tidak juah berbeda dengan ruangan latihannya, hanya saja ruangan ini lebih besar dari ruangan latihan miliknya dan sepertinya lebih lengkap. Peralatannya juga lebih baik dari miliknya.
Melewati beberapa komputer, Bryssa menuju ke sebuah ruangan. Bahkan dalam ruangan itu ada ruangan lainnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Bryssa mendekat ke Zavier yang saat ini tengah bermain dengan bahan-bahan kimia.
"Merakit bom."
Bryssa mengerutkan keningnya, "Siapa yang ingin kau ledakan?"
"Siapa saja yang mengusik ketenanganku."
"Kau mau meledakanku?"
Hening..
"Aku lapar. Kita makan di luar, bagaimana?"
Selalu saja mengenai perut.
Zavier tak berhenti dari kegiatannya, "Kau selalu mengeluh lapar tapi tubuhmu tetap saja kecil. Kau ini busung lapar atau bagaimana?"
Bryssa mendapatkan ejekan lagi.
"Ayolah, aku ingin makan di luar."
"Aku akan memasak untukmu."
"Tidak. Kita makan di luar saja." Entah sejak kapan Bryssa sudah bisa melakukan pembicaraan dengan nada santai seperti ini.
Zavier meletakan alat-alat yang ia pegang, "Kau tidak suka masakanku?" Matanya menatap Bryssa datar.
Bryssa menggeleng pelan, "Masakanmu sangat lezat, hanya saja aku ingin makan diluar."
"Aku tidak suka kau makan masakan orang lain. Tubuhmu milikku, jadi harus tanganku yang memasak untukmu."
Lagi-lagi tak bisa dibedakan ini kejam atau sebuah perlakuan yang sangat manis. Untuk saat ini Bryssa sedang tak ingin makan masakan Zavier, bukannya tak ingin karena tak lezat tapi karena dia ingin Zavier makan di luar bersamanya tanpa merepotkan Zavier untuk memasak.
"Satu kali ini saja, setelahnya aku tidak akan makan mengajakmu makan di luar lagi, ayolah." Bryssa memelas. Wajah Bryssa terlihat manis sekali saat ini, jelas dia tahu bagaimana caranya memohon tanpa bisa ditolak.
"Aku ganti pakaian dulu."
"Yes!" Bryssa bersorak girang. Aksi memelasnya berhasil.
Zavier menatap Bryssa datar lalu segera melangkah pergi.
"Apa tidak apa-apa meninggalkan peralatanmu begitu saja?" Bryssa menyusul Zavier.
"Apa kau pikir aku bodoh?"
Bryssa menggelengkan kepalanya, "Kau tidak kelihatan seperti itu."
**
"Kau mau pesan apa?" Bryssa memperlihatkan menu makanan ke Zavier.
Zavier mengerutkan keningnya, lalu kemudian kembali datar, "Aku pikir yang lapar disini itu kau, Little Princess."
"Tapi kau belum makan dari pagi tadi. Memangnya kau tidak lapar?"
"Kau tidak perlu memikirkan orang sepertiku. Berhari-hari tidak makan aku tidak akan mati."
Ucapan Zavier membuat Bryssa diam. Kata-kata itu diucapkan Zavier dengan sangat yakin. Memangnya pria ini pernah tidak makan berhari-hari? Tidak mungkin, dia lahir di keluarga yang kaya dan tidak pernah bermasalah dengan uang.
"Aku yang pilihkan." Bryssa akhirnya mengambil inisiatif.
Ia memesan dua menu spesial hari ini dan beberapa menu makanan lainnya.
"Kau yakin bisa memakan itu semua?" Zavier menaikan alisnya.
Bryssa tersenyum, "Aku tidak akan makan sendirian. Kau juga ikut makan bersamaku."
Zavier diam lagi. Ia sibuk dengan ponselnya, bermain game hingga akhirnya pesanan datang.
"Makanlah." Bryssa menatap Zavier dengan senyuman manisnya.
Zavier meletakan ponselnya, ia melihat hidangan di atas meja lalu menyantapnya.
Melihat Zavier makan, Bryssa juga ikut makan.
Hidangan di atas meja itu telah dihabiskan oleh Bryssa dan Zavier. Sekarang Bryssa sudah merasa tak perlu memikirkan Zavier yang tak makan sejak pagi.
"Ada apa?" Bryssa mengerutkan keningnya ketika wajah Zavier memucat. "Zavier, kenapa kau diam? Katakan sesuatu?" Bryssa kembali bersuara.
Bryssa akhirnya melihat ke arah yang membuat tatapan Zavier jadi seperti ini. Matanya melihat ke arah seorang wanita paruh baya yang kini tengah melihat ke arah Zavier.
Tangan Zavier menegang. Kepalan tangannya menguat, keringat dingin merayapi tubuhnya.
Zavier, tenangkan dirimu. Tenanglah, kau sudah besar. Dia tidak bisa mengurungmu di gudang lagi. Dia tidak bisa memukulmu lagi. Dia sudah bukan ibumu lagi. Tenangkan dirimu, Zavier. Tenang. Zavier mencoba menenangkan dirinya. Kilasan masa kecilnya yang menyedihkan terbentang kembali ketika ia melihat wanita yang sudah belasan tahun tak ia lihat. Wanita yang kerap menyiksanya dan mengatakan kata pedas dan makian kasar.
Semuanya masih teringat jelas di ingatan Zavier meski Zavier ingin melupakannya. Semua itu menjadi trauma yang selalu ia coba untuk ia obati. Bahkan terkadang ia memimpikan siksaan dari ibunya. Semenjak kedatangan Qween, Zavier sudah jarang memimpikan hal menyeramkan baginya itu tapi seperginya Qween beberapa kali mimpi itu datang, hingga akhirnya kehadiran Bryssa membuat mimpi buruk itu kembali jarang datang.
"Zavier, ada apa? Siapa wanita itu? Kenapa wajahmu pucat saat melihatnya?" Bryssa menyentuh tangan Zavier, dan dia terkejut ketika tangan Zavier sangat dingin, "Kau kenapa, Zavier? Katakan sesuatu?"
"Ayo kita pulang, Bryssa." Zavier bangkit dari tempat duduknya. Suaranya lebih dingin dari biasanya.
"Ada apa dengannya? Siapa wanita itu?" Bryssa segera bangkit dari tempat duduknya dan menyusul Zavier.
Di dalam mobil Zavier tak mengatakan apapun. Ketika suara ponselnya berderingpun ia tidak mendengar suara itu seakan trauma masalalu membuat telinganya tuli,
"Zavier, ponselmu berdering." Ucapan Bryssa yang kedua kalinya ini membuat Zavier tersadar.
Zavier segera meraih ponselnya, "Halo."
"Kau dimana, son?"
"Alona, Alona ada di kota ini, Dad. Dia ada disini."
Bryssa mengerutkan keningnya. Alona? Siapa Alona? Wanita tadi? Dia bertanya dan menjawab sendiri.
"Aku baik-baik saja, Dad. Aku sudah dewasa, dia tidak akan bisa melukaiku lagi."
Bryssa semakin memperhatikan Zavier dengan baik. Siapa sebenarnya Alona itu?
Zavier meletakan kembali ponselnya, ia fokus menyetir, mengenyahkan segala kilasan yang terbentang nyata di otaknya.
Sampai di kediamannya, Zavier segera masuk tanpa mengatakan apapun pada Bryssa.
Bryssa harus mencari tahu tentang Alona, ia tahu siapa yang bisa memberitahunya tentang Alona.
Gea.
"Gea, siapa Alona?" Bryssa sudah berada di ruang kesehatan.
Gea mengerutkan keningnya, tahu darimana Bryssa tentang Alona.
"Zavier melihat seorang wanita di restoran, dan di mobil dia mengatakan tentang Alona."
"Alona adalah ibu Zavier."
Bryssa diam.
"Alona, dia menyiksa Zavier?"
"Aku tidak bisa mengatakan lebih banyak. Hanya jangan mengatakan apapun tentang Alona di depan Zavier."
Bryssa tidak bisa memaksa Gea jika Gea sudah mengatakan hal seperti ini.
"Baiklah, aku mengerti."
tbc