Bryssa membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah dagu lancip Zavier. Ia mengangkat wajahnya dan kini matanya bertemu dengan mata indah Zavier.
"Kau sudah terjaga." Bryssa masih menatap iris indah Zavier.
"Hm."
Bryssa segera merubah posisi tidurnya jadi duduk, "Kau lapar?"
"Maaf, aku bukan kau yang selalu kelaparan."
Bryssa menghela nafas pelan, Aih, dia baru membuka matanya dan sudah bisa mencemoohku.
"Kau mau kemana?" Bryssa bertanya ketika Zavier turun dari ranjang.
"Ke kamarku dan mandi."
"Kau bisa ke kamar sendirian?"
"Aku ini tertembak di tangan, Bryssa. TIdak lumpuh tidak juga tertembak di kaki."
Sekali lagi, Bryssa menyesal bertanya.
"Kau bisa mandi sendiri?"
"Jangan bertanya jika kau tidak bisa membantuku."
"Aku akan membantumu."
Zavier diam sejenak, "Lalu kenapa kau masih disana jika ingin membantuku?!" Tanyanya dengan nada ketus.
Bryssa memajukan bibirnya sebal, ia sudah berniat baik membantu tapi tetap saja Zavier tak ada manis-manisnya. Kakinya turun dari ranjang, menyentuh sandalnya dan segera melangkah menyusul Zavier yang sekarang sudah melangkah keluar dari ruang kesehatan.
Sampai di kamar Zavier, Bryssa segera menyiapkan air hangat untuk Zavier.
"Kau ingin aku berendam di bathtub?"
"Memangnya kenapa? Kau tidak akan mati karena berendam disana, kan?"
"Bagaimana dengan lukaku?"
"Ah, benar." Bryssa menepuk jidatnya.
"Apa saja yang ada di otakmu itu, Bryssa."
"Hal mesum." Jawaban itu meluncur begitu saja.
Zavier nyaris saja tergelak, tapi ia menahan dirinya, "Jangan katakan padaku jika kau memperkosaku selama kau menjagaku," Zavier memicingkan matanya.
"Kau gila!" Bryssa mengelak cepat. Dia tidak memperkosa Zavier, dia hanya mengukur dan menyentuh junior Zavier dengan kain lap.
"Wajahmu merah, Bryssa. Mengaku saja."
"Aku tidak melakukannya."
"Kau pasti iya." Zavier menggoda Bryssa.
"Tidak!" Bryssa bersuara tegas, "Aku hanya mengukur juniormu saja."
Dan benar saja, tawa Zavier meledak.
"Sial! Otakmu benar-benar kacau, Little Princess." Zavier bicara di sela tertawanya.
Tuhan, tolong aku. Bryssa tidak kuat. Ia tidak kuat melihat tawa Zavier. Lebih dari sekedar indah. Kenapa tawa seindah ini selalu disembunyikan darinya. Kenapa?
"Lihatlah betapa bahagianya kau saat ini. Bibirmu bisa robek jika tawamu sekeras itu, Tuan." Bryssa mencibir Zavier setelah ia bisa mengendalikan dirinya. Ia mendekat ke shower dan menyalakan shower.
"Aw, dingin, Bryssa."
"Uh, sorry." Bryssa mematikan shower. Menyalakannya lagi dengan air yang sekarang berganti hangat.
"Pakaianku belum dilepaskan, Nona."
"Ah, aku lepaskan." LIhatlah bagaimana baiknya Bryssa sekarang. Zavier senang bukan main karena tingkah Bryssa saat ini. Ia bersedia tertembak berkali-kali jika Bryssa bersikap manis seperti ini padanya setiap hari.
Zavier mungkin sudah tidak waras. Dia mungkin lolos dari maut saat ini tapi jika ditembak berkali-kali, bukan perlakukan manis dari Bryssa yang ia dapatkan tapi panggangan dari api neraka yang akan membakar tubuhnya.
"Nah, apa yang kau lihat sekarang?" Zavier mnggoda Bryssa yang melihat ke tonjolan di balik Calvin Klein yang ia kenakan.
Bryssa menggeleng cepat, "Aku tidak melihat apa-apa." Elaknya.
Orang pikun juga tahu apa yang Bryssa perhatikan. Hanya orang buta yang tidak bisa melihatnya.
Wajah Bryssa bersemu merah. Sudah bisa ditebak, pikiran otaknya pasti sedang kotor.
"Kau sepertinya terlalu banyak menonton video porno, Bryssa."
"Sembarangan saja!" Bryssa bersuara cepat, "Aku hanya membaca novel erotis."
Jawaban itu selalu saja jujur. Bryssa menghela nafasnya, kenapa mulutnya sekarang tidak bisa dikendalikan. Astaga, memalukan sekali.
"Kenapa harus membaca, kita bisa melakukannya jika kau mau."
"Kau mesum."
"Memangnya kau tidak? Aku tahu diotakmu saat ini pastilah bermain di bawah shower, seperti di drama maupun di novel yang kau baca."
Tebakan Zavier benar. Tuhan, tenggelamkan Bryssa di rawa-rawa sekarang. Dia sudah tak punya rahasia lagi. Dia mudah ditebak sekarang.
"Kau itu sedang sakit!"
"Bahuku saja yang sakit. Aku masih bisa memuaskanmu."
Bryssa menganga, luar biasa sekali Zavier ini.
Dengan sekejap saja tubuh Bryssa sudah berada di bawah guyuran shower, air membuat pakaiannya basah dan menempel bagaikan kulit kedua. Dagunya mendongak karena jari telunjuk Zavier berada di bawah dagunya.
"Jangan mengkhayal lagi. Kau bisa langsung melakukan apapun yang kau pikirkan."
Pipi Bryssa kembali merona. Persetan dengan semuanya. Otaknya sedang tidak waras sekarang. Sudah sejak kemarin ia membayangkan hal aneh karena membaca novel-novel erotis.
Bibir Bryssa telah dibungkam oleh bibir Zavier. Lidahnya membalas belaian dari lidah Zavier. Matanya terpejam, menikmati dan terus menikmati sentuhan Zavier.
Seperti yang Zavier katakan, bahunya memang sakit tapi kejantanannya masih bisa membuat Bryssa mengerangkan namanya dengan keras.
**
Setelah selesai mandi dengan mempraktekan beberapa adegan yang Bryssa baca di novel kini Bryssa dan Zavier berada di meja makan. Bryssa memperlakukan Zavier seperti orang sekarat. Ia menyuapi Zavier dengan tangannya. Memberikan minum juga dengan tangannya.
"Ah, aku lupa mengabari teman-temanmu." Bryssa mengingat sesuatu. Ia harus mengabari teman-teman Zavier.
"Tidak perlu. Biar aku saja yang mengabari mereka."
Bryssa diam sebentar.
"Aku bisa menelpon, Bryssa."
"Ah, ya ya." Bryssa kembali menyuapi Zavier.
Makan selesai.
"Kau harus istirahat total. Kau tidak boleh berlatih, bekerja atau pergi."
"Lihat siapa yang memerintah sekarang." Zavier menatap Bryssa mengejek.
"Itu karena kau sakit."
"Aku sudah biasa sakit."
"Aku tidak peduli dengan jawabanmu, kau harus istirahat. Aku akan mengawasimu 24 jam."
Itu bagus. Zavier suka bagian terakhirnya.
"Baiklah." Dia menurut. Bryssa tersenyum senang. Dan sekarang Zavier mendapatkan banyak bonus, dari perilaku baik Bryssa hingga ke senyuman tulus Bryssa.
Kau sangat cantik, Little Princess. Zavier memandangi wajah tersenyum Bryssa.
**
Di dalam kamar Zavier, Bryssa kembali membaca novel, sementara Zavier, pria itu sibuk bermain game. Posisi mereka saat ini adalah Zavier duduk bersandar di sandaran ranjang dengan Bryssa yang meletakan kepalanya di paha Zavier. Sesekali Bryssa tertawa karena novel yang ia baca. Zavier yang bermain game sesekali memperhatikan wajah Bryssa yang fokus membaca novel.
Bryssa selalu serius dengan apa yang dia kerjakan.
Zavier meraih novel yang Bryssa baca, ia menundukan wajahnya lalu melumat bibir Bryssa. Setelah selesai mencium Bryssa, Zavier mengembalikan buku Bryssa.
"Adegannya sama persis dengan yang kau baca, kan?" Zavier menatap mata Bryssa.
Bryssa salah tingkah, ia segera membalik halaman dari novel yang ia baca.
"Bagian itu sudah kau baca, Little Princess." Zavier mengejek Bryssa.
Bryssa segera merubah halamannya lagi. Zavier tersenyum melihat tingkah Bryssa, ia kembali bermain game.
**
Bryssa terlelap dengan novel yang kini berada di atas perutnya. Zavier meletakan ponselnya. Ia membenarkan posisi tidur Bryssa. Mengamati wajah cantik Bryssa sejenak lalu keluar dari kamarnya.
"Ada apa, Gea?" Zavier mempersingkat jaraknya dengan Gea dan pelayan utama di kediaman ayah Zavier.
"Daddymu sakit."
"Kenapa dia bisa sakit?" Zavier bertanya pada pelayan utama ayahnya.
"Tuan kurang tidur. Dan sepertinya ia memiliki beban pikiran. Sudah sejak beberapa hari lalu Tuan besar mengkonsumsi alkohol lagi."
Zavier tahu penyebabnya. Ia tahu apa yang membuat ayahnya kembali mengkonsumsi alkohol.
"Uncle Thomas sudah memeriksanya?"
"Sudah. Hanya saja Tuan besar keras kepala. Dia masih tetap minum meski dilarang minum."
"Tua bangka itu." Zavier menghela nafasnya. "Aku akan segera mengunjunginya."
"Hanya anda yang bisa menghentikannya, Tuan."
"Jangan khawatir, Paman Bob. Kembalilah ke rumah sekarang."
"Baik, Tuan Muda."
Bob pergi.
"Apa karena Alona?" Tanya Gea.
"Siapa lagi yang bisa membuat kami kacau jika bukan karena dia."
"Ada, dua wanita yang tinggal di rumah ini juga bisa membuatmu kacau." Gea menjawab sekenanya.
"Bryssa sedang tidur. Jika dia menanyakan aku katakan saja aku ke tempat Daddy." Zavier tak membahas apa yang Gea katakan.
"Baiklah."
Zavier segera pergi meninggalkan Gea.
Sampai di kediamannya, ia melihat sang ayah sedang duduk di balkon kamar, tak ada minuman tapi asap rokok mengepul.
"Bagus sekali." Zavier mengejutkan ayahnya.
Edwill segera membuang rokoknya.
"Aku melihatnya, Dad." Zavier mendekati ayahnya. "Merokok tak baik untuk kesehatanmu. Jika kau masih muda aku tak akan melarangnya tapi sekarang kau sudah tua. Jangan mempersulit tubuhmu."
"Siapa yang tua? Daddy baru 16 tahun."
Zavier memutar bola matanya, "Sudah gila rupanya." Ia mencibir ayahnya, "Kenapa masih memikirkannya, Dad?"
"Siapa?"
"Jangan berpura-pura bodoh, nanti Daddy benar-benar jadi bodoh."
"Daddy bertemu dengannya."
"Dimana?"
"Mall, dia bersama dengan seorang remaja putri yang Daddy yakin adalah putrinya. Dia juga bersama dengan suaminya."
Zavier tahu saat ini hati Daddynya pasti sedang sangat sakit.
"Inilah kenapa aku selalu mengatakan pada Daddy untuk tidak terpaku pada masalalu. Dia sudah bahagia dan Daddy masih sakit disini. Daddy sakit memikirkannya dia sedang tertawa dengan keluarganya. Apa itu adil?"
Edwill menarik nafas dalam lalu menghembuskannya, "Mengenyahkan dia dari pikiran Daddy tak semudah jatuh cinta padanya, Son."
"Sampai kapan Daddy mau seperti ini? Aku cuma punya Daddy, jika Daddy sakit aku dengan siapa? Jangan kejam padaku." Zavier tahu Daddynya sangat menyayanginya, itulah kenapa Zavier menggunakan dirinya untuk membuat Daddynya berhenti memikirkan mantan istrinya.
"Maafkan Daddy. Daddy tak bisa mengontrol diri Daddy."
"Tak usah dimaafkan, Zavier. Daddymu akan mengulanginya setelah kau pergi." Suara wanita itu membuat Zavier dan Edwill membalik tubuh mereka.
"Kau sudah kembali?" Edwill nampak terkejut.
"Tidak ingin memberikan aku pelukan?" Wanita anggun itu mendekat.
Edwill memberikan pelukan hangat pada wanita itu, "Aku kira kau akan berada di Denmark lebih lama lagi, Elza."
"Aku merindukan sahabatku yang sudah tak terlihat tampan lagi." Elza memasang wajah kasihan yang dibuat, "Baru 6 bulan aku pergi tapi kau sudah menua 15 tahun, Ed."
"Daddymu merepotkan, Jagoan?" Elza beralih ke Zavier. Ia memeluk Zavier yang sudah ia anggap anaknya sendiri.
"Sangat merepotkan, Aunty. Aku benar-benar kewalahan menjaganya."
"Waw, kalian membentuk tim untuk memarahiku lagi." Edwill memasang wajah tak suka. Anaknya dan sahabatnya adalah paket lengkap yang bisa ia jadikan musuh sekaligus sahabatnya.
"Jadi, ada apa dengan keadaanmu yang memburuk?" Tanya Elza.
"Aih, Bob sepertinya perlu aku beri pelajaran." Edwill tahu, yang memberitahu Elza dan Zavier pastilah pelayan utamanya itu.
"Kau yang perlu diberi pelajaran." Elza menatap Edwill galak. Sosok Elza tak pernah berubah, tetap galak seperti mereka di masa remaja.
"Hajar saja, Aunty. Aku akan membiayai biaya pengobatannya setelah ini."
"Waw, lihatlah betapa kejamnya kalian." Edwill merasa teraniaya sekarang.
Percakapan itu berlangsung cukup lama. Sekarang Zavier bisa sedikit tenang. Ada Elza yang bisa menjaga ayahnya. Dan ayahnya tak bisa melawan Elza, Zavier tahu benar jika ayahnya selalu kalah dari Elza. Entah itu dalam perdebatan atau dalam permainan basket dan dalam berkelahi.
"Aunty, aku benar-benar berharap Autny bisa menjaga Daddy." Zavier sudah sampai di depan mobilnya. Ia sudah harus pulang sekarang.
"Tenang saja. Aunty akan menjaga Daddymu dengan baik." Elza tersenyum hangat.
"Bagaimana dengan pekerjaan Aunty?"
"Sangat baik. Karena itulah Aunty bisa kembali dengan cepat."
"Baguslah. Tinggalah di rumah ini, Aunty."
"Aunty akan tinggal untuk beberapa hari."
"Terimakasih karena terus mencintai Daddy." Zavier menggenggam tangan Elza, "Aku mohon jangan pernah berhenti meski Daddy tak pernah menyadarinya."
Elza tersenyum lembut, "Tak akan berhenti. Berada di dekatnya sudah sangat membuat Aunty senang. Tenanglah, Aunty memang tak bisa menenangkan hatinya yang sakit tapi Aunty janji untuk berada disisinya agar dia tidak jatuh terpuruk."
"Daddy benar-benar beruntung memiliki wanita yang mencintainya seperti Aunty. Semoga suatu hari nanti Daddy menyadarinya, Aunty."
"Aunty masih menunggu hari itu tiba, Zavier."
Dari Elza Zavier bisa belajar, tak ada kata menyerah untuk cinta. Hubungan ayahnya dan Elza memang sedikit rumit. Elza mencintai ayahnya sejak mereka sekolah di sekolah menengah atas yang sama. Namun ayah Zavier sudah mencintai Alona dan tak pernah menganggap Elza lebih. HIngga akhirnya ayahnya menikah dengan Alona dan Elza di jodohkan dengan seorang pria pilihan orangtuanya. Kehidupan pernikahan mereka sama-sama buruk. Ayah Zavier bercerai dan Elza juga sama. Elza memiliki seorang putri yang saat ini tinggal bersama dengan mantan suaminya namun disini hubungan Elza dan mantan suaminya cukup baik, mereka merawat putri mereka bersama-sama meski tak tinggal bersama lagi.
Dari perceraian itu Zavier selalu berharap jika ayahnya dan Elza bisa bersama tapi sudah lewat belasan tahun namun mereka masih belum bersama. Ayahnya masih mencintai ibunya dan Elza masih tak bisa mengatakan perasaannya. Cinta sebelah pihak ini tak tahu kapan akan berakhirnya.
tbc