Dari hasil pengamatan Joan, sudah dipastikan bahwa Alejandro adalah orang yang bertanggung jawab atas percobaan penculikan yang terjadi pada Bryssa. Hal ini sudah diperkirakan oleh Zavier sebelumnya, ia hanya butuh untuk memastikannya saja.
"Bereskan 4 orang itu, Joan!" Zavier tetap memperhatikan kabel-kabel yang saat ini sedang ia hubungkan. Ia sedang menyiapkan sesuatu yang akan ia gunakan untuk meledakan Alejandro.
"Baik, Tuan." Joan memberikan hormat lalu segera meninggalkan ruangan latihan itu.
"Joan!" Zavier menghentikan langkah kaki tangan kanannya.
"Ya, Tuan?" Joan kembali mendekat ke sisi Zavier.
"Rumah Bryssa, sudah kau beli?"
"Sudah, Tuan."
"Pergilah!" Zavier mempersilahkan Joan untuk pergi. Ia hanya ingin menanyakan tentang kediaman orangtua Bryssa yang beberapa waktu lalu dilelang. Apapun yang menyangkut tentang Bryssa pasti selalu Zavier dahulukan.
Ketika seorang Zavier menginginkan wanita maka ia tak akan setengah-setengah. Ia akan mencari tahu tentang Bryssa hingga ke titik yang paling rahasia, namun tentang Bryssa seorang agen rahasia, ia baru mengetahuinya setelah beberapa hari ia tertembak oleh Bryssa. Zavier bukan tipe orang yang akan membiarkan orang lain melukainya, ia mencari hingga ia menemukan jawabannya sendiri.
Dari selongsong peluru, ia hubungkan dengan orang-orang yang mengetahui tentang selongsong itu. Zavier mengirim beberapa anak buahnya secara rahasia untuk mencari tahu, dan yang ia dapatkan adalah bahwa pembuat senjata yang telah tiada itu membuatkan senjata itu untuk beberapa orang agen rahasia. Ketika Zavier mencari tahu tentang beberapa orang yang memakai senjata itu ia menemukan sesuatu yang menarik. A02, kode seorang agen yang tak ia kenali sebelumnya, dengan bantuan kepala direktur badan intelijen, Zavier mendapatkan sebuah nama, Autumn Bryssa. Meskipun kepala badan intelijen sendiri tak tahu siapa orang yang bernama Autumn Bryssa namun bagi Zavier ia hanya mengenal satu orang yang menggunakan nama itu. Mengejutkan sekali untuk Zavier, wanita yang ia anggap lemah ternyata orang yang hampir menewaskannya. Tidak, Zavier tidak menaruh dendam, seperti yang Gea katakan, meski Bryssa menembaknya, ia tak akan pernah membalasnya.
Sejak awal Zavier sudah mengatakan pada Oriel untuk berhenti mencari tahu tentang siapa yang menembaknya dan ini cukup menolong Bryssa karena yang mengetahui tentang Bryssa hanya Zavier, dan Zavier sendiri tak mengatakan apapun pada sahabat-sahabatnya karena identitas Bryssa tak boleh diketahui oleh orang lain, bahkan Zavier sendiri bersikap seolah ia tak tahu apapun.
"Zavier." Jika tadi bicara dengan Joan tak membuat Zavier mengalihkan perhatiannya, kini ia mendongakan wajahnya, menatap si pemilik wajah indah yang mendekat padanya.
"Ada apa?"
"Kau sudah beberapa jam disini, kau tidak bosan?" Bryssa mendekat. Hubungan mereka yang dulunya memanas kini tak tampak begitu lagi. Bryssa lebih bersahabat meskipun Zavier masih terus memasang wajah dinginnya.
"Aku masih mengerjakan sesuatu."
"Merakit ini?" Bryssa menunjuk ke bom yang sedikit lagi Zavier selesaikan. Pekerjaan Zavier di dalam ruangan itu bukan hanya merakit bom, ia melacak keberadaan Alejandro dan melakukan beberapa hal lainnya.
"Kau butuh sesuatu?" Zavier tahu benar, jika Bryssa sudah mendatanginya pastilah wanita ini membutuhkan sesuatu.
"Aku tidak membutuhkan apapun, hanya sedang bosan saja."
Zavier salah kali ini.
"Membaca novel saja, atau menonton film kartun kuningmu dan ulat konyol itu."
"Ayolah, mereka punya nama. Spongebob dan Larva." Bryssa memperbaiki panggilan Zavier. Ia tak suka serial kesukaannya dicemooh oleh Zavier, ia memang kekanakan karena menonton film seperti itu tapi apa yang harus ia lakukan jika ia suka serial konyol itu. "Aku tidak ingin menonton. Ah, aku membaca disini saja, bagaimana?"
"Lakukan apapun yang kau inginkan, Bryssa."
Bryssa tersenyum senang , ia segera melangkah keluar dari ruangan Zavier, dan kembali dengan beberapa buku.
"Sampai berapa hari kau akan membaca buku-buku itu, Bryssa?" Zavier melihat tumpukan buku yang dibawa oleh pelayan Zavier yang sudah diletakan di atas meja.
"Aku malas memilih jadi aku meminta dibawakan beberapa buku." Bryssa duduk, ia segera membaca salah satu buku yang menurutnya menarik.
"Ah, Mafia dan seorang agen rahasia, terdengar menarik." Bryssa mengomentari buku yang ia pegang.
Zavier hanya mengawasi Bryssa dari jarak pandang beberapa meter. Buku itu seperti ia dan Bryssa, entah apa isi novel itu.
Suara langkah sepatu terdengar, dari yang Zavier pastikan itu adalah langkah kakak sepupunya.
"Ada apa?" Zavier bertanya ketika Gea sampai di dekatnya.
"Qween, dia sadar." Gea bersuara pelan agar tak terdengar oleh Bryssa.
Deg.. Jantung Zavier seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat. Tangannya menjadi kaku saat ini. Ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan melangkah keluar dari ruangan itu.
Bryssa melihat ke arah Zavier, ia merasa bingung dan akhirnya bertanya.
"Ada sesuatu yang terjadi?" Tanyanya pada Gea.
"Lanjutkan membacamu, Zavier akan segera kembali."
"Ehm, baiklah."
Bryssa pikir itu hal biasa, ia kembali membaca.
Zavier masuk ke dalam ruang kesehatan, seseorang di atas ranjang telah benar-benar membuka matanya, bukan hanya sekedar mengintip saja.
"Z-z." Qween mencoba untuk memanggil Zavier tapi karena tubuhnya sudah bertahun-tahun tak ia gerakan dan sekarang jadi kaku.
"Apa yang terjadi padanya?" Zavier bertanya pada Gea yang kini sudah berada di dekat Zavier.
"Dia akan kembali ke semula setelah terapi, otot-otot tubuhnya kaku setelah bertahun-tahun tak digunakan."
Tangan Qween hendak bergerak namun terlalu sulit baginya untuk begerak saat ini.
Meski melihat Qween hendak menyentuh tangannya, Zavier tak meraih tangan Qween, tidak setelah apa yang terjadi beberapa tahun lalu.
"Lakukan apapun untuk membuatnya kembali bicara, Gea. Aku tidak peduli dia bisa begerak atau tidak, aku hanya ingin mendengar penjelasan darinya."
Seruan dingin Zavier membuat Qween menangis. Air matanya jatuh mengalir di dua sisi wajahnya. Ia sudah mendengar semua percakapan Zavier dan Qween bertahun-tahun lamanya, sebuah penjelasan yang Zavier butuhkan itu, ia bisa menjelaskannya sedetail mungkin, tapi dinginnya Zavier saat ini membuat hatinya teramat sakit. Benar-benar menyakitkan.
"Akan aku lakukan. Kita bicara di luar." Gea mengajak Zavier untuk keluar dari ruangan itu.
"Kau tidak bisa membiarkan Bryssa di rumah ini jika kau ingin Qween di terapi. Bryssa bisa melihat Qween karena tak mungkin terus menyembunyikan Qween di ruangan ini."
"Aku akan segera memindahkan Bryssa ke kediamannya."
"Bagaimana jika jawaban Qween tidak seperti yang selama ini kita pikirkan, Zavier? Siapa yang akan kau pilih untuk bersamamu?"
Zavier tak pernah berpikir jika yang ia pikirkan berbeda dengan kenyataan. Saat ini yang ia pilih adalah Bryssa, wanita yang bisa mengalihkan sakit yang ia rasakan akibat Qween.
"Tak perlu memikirkan itu, Gea. Lakukan apapun yang bisa membuatnya bicara saja."
Gea menghela nafasnya, "Baiklah, akan aku lakukan."
Cinta Zavier pada Qween telah menghilang di hari dimana Qween mengkhianatinya. Bagi Zavier, seseorang yang telah mengkhianatinya tak pantas lagi untuk ia cintai. Cintanya tak akan berulang untuk wanita yang telah melukainya, hanya itu.
Zavier kembali ke ruang latihannya, ia sedikit terkejut melihat Bryssa ada di dalam ruangan itu, pada kenyataannya ketika Qween terbangun, ia melupakan jika di ruangan itu ada seorang Bryssa.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Bryssa menaikan alisnya, merasa bingung dengan tatapan terkejut Zavier.
"Sudah malam, Bryssa. Kembalilah ke kamar dan tidur."
"Kau?"
"Aku ada urusan. Kau tidurlah lebih dulu."
"Urusan apa?" Bryssa kini mulai banyak tanya, seperti Bryssa biasanya. Terlalu ingin tahu.
"Kau tidak perlu tahu. Naiklah ke kamar dan tidur."
Bryssa diam sejenak, setelahnya ia bangkit dari tempat duduknya, "Baiklah. Selesaikan urusanmu dan jangan terluka." Pada sisi ini Bryssa terlihat seperti seorang Qween. Kalimat itu sering diucapkan oleh Qween ketika Zavier memiliki urusan yang Qween tahu pasti urusan yang berbahaya.
"Zavier, kau dengar aku, kan?" Bryssa bersuara lagi ketika Zavier tak menjawab kata-katanya.
"Aku tidak akan terluka."
Bryssa tersenyum lembut, "Selamat malam." Kecupan singkat diberikannya pada bibir Zavier.
"Malam."
Bryssa keluar dari ruangan latihan Zavier. Ia segera ke kamarnya dan bersiap untuk tidur. Yang terjadi adalah matanya tak ingin tertutup. Ia kehilangan sesuatu yang biasa ia dapatkan ketika tidur, sebuah pelukan hangat.
"Baiklah, Bryssa. Tidurlah, pria itu ada urusan dan tak akan memelukmu malam ini." Bryssa bicara pada dirinya sendiri, "Jadilah anak baik, Bryssa." Sambungnya lagi sambil mengelus kepalanya sendiri. Hal seperti ini sering dilakukan oleh ayahnya ketika ia masih kecil, ketika ia sulit terlelap.
tbc