Lova sedang menonton berita di televisi. Wajah sang ayah terlihat jelas dengan beberapa orang berbadan tegap yang berdiri di dekatnya.
"Apa yang kau tonton, Love?" Aeden datang, pria itu baru selesai mandi. Aeden melihat ke arah televisi. Ia kemudian memandangi wajah tenang Dealova.
"Kau tidak perlu menonton berita seperti ini, Love." Aeden mematikan televisi.
Lova memiringkan wajahnya, "Jika kau berpikir aku terluka karena tontonan barusan maka enyahkan pemikiran itu dari otakmu."
"Aku bisa membebaskannya jika kau ingin, Love."
Lova menatap Aeden serius, "Jika kau melakukanya, aku pastikan aku tidak akan bicara denganmu lagi."
"Kau benar-benar membenci Jayden?"
"Aku tidak membencinya. Aku hanya tidak ingin berhubungan lagi dengan Jayden ataupun keluarganya."
Aeden memeluk Lova, "Kau pasti telah sangat menderita karena mereka."
Lova tak ingin mengingat seberapa banyak luka yang telah dilakuan oleh Jayden dan keluarganya.
"Aku tak akan membantunya jika kau tak ingin aku melakukan itu." Aeden mengecup puncak kepala Lova.
Lova tidak akan menjadi orang yang picik, jika Jayden tidak bersalah dia tak akan melarang Aeden untuk menolong pria itu. Seperti yang Lova katakan, jika Jayden bersalah maka ia harus dihukum sesuai dengan kejahatannya.
♥♥
"Makam siapa yang akan kita kunjungi?" Lova bertanya pada Aeden yang duduk di sebelahnya.
"Orangtuaku." Jawab Aeden, ia keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Lova, "Ayo, turun."
Lova keluar dari mobil, ia baru pertama kali dibawa oleh seorang pria untuk bertemu dengan makam orangtuanya.
"Ayo." Aeden meminta tangan Lova. Ia melangkah setelah Lova memberikan tangannya untuk digenggam.
"Mom, Dad, aku datang lagi." Aeden tersenyum menatap makam orangtuanya yang besebelahan. "Kali ini Aeden tidak datang sendirian. Aeden membawa seorang wanita cantik." Ia melihat ke arah Lova, "Love, perkenalkan dirimu." Pintanya dengan lembut.
Lova melihat ke arah makam, "Selamat pagi, Paman, Bibi, aku Dealova."
"Dad, Mom, dia cantik, kan?"
Lova memperhatikan Aeden, wajahnya terlihat sangat lembut, suaranya terdengar sangat tulus, jelas bahwa Aeden sangat menyayangi orangtuanya.
"Sekarang Aeden sudah tidak kesepian lagi. Aeden sudah memiliki Lova yang akan menemani Aeden." Orangtua adalah segalanya bagi Aeden, ketika ia kehilangan orangtuanya, hidupnya menjadi sangat sepi. Meski ada 3 sahabatnya, tetap tidak bisa mengisi kekosongan karena kehilangan orangtuanya, namun semenjak ada Lova, Aeden sudah benar-benar merasa tak kesepian lagi. Ia bisa tertawa dan tersenyum seperti ia tak pernah kehilangan sebelumnya. Lova, wanita pengganti, benar, wanita pengganti yang menggantikan orangtuanya untuk menemaninya, dan bukan lagi wanita pengganti Lovita.
"Tapi, Mom. Sepertinya Love bukan tipe menantu idaman Mommy."
Lova melihat ke arah Aeden yang kini tersenyum jahil padanya.
"Dia bukan wanita penurut dan lembut. Dia sering sekali menantangku. Ketika ia bicara padaku matanya menatap lurus mataku, dan ya, dia selalu mengatakan mual ketika aku menggombalinya. Saat pertama kali kami bertemu, dia bahkan tidak tertarik padaku dan bersikap sangat angkuh." Aeden terus bercerita pada orangtuanya. Menceritakan bagaimana sifat dan sikap seorang Lova. "Tapi, Dad, Mom, hanya dia wanita yang bisa membuatku gila. Hanya dia wanita yang bisa membuatku tertawa dan tak kesepian. Bukankah ini lebih penting dari sosok lembut dan penurut?"
"Ah, setelah menjelekiku kau memujiku, bagus sekali, Aeden." Lova mencibir Aeden dengan wajah ketusnya.
Aeden tertawa kecil, "Lihat, Dad, Mom. Wajahnya benar-benar ketus sekali, kan?"
Lova tersenyum karena cibiran Aeden, "Paman, Bibi, apa yang dia katakan memang benar. Dia tidak salah sedikitpun."
Aeden tersenyum melihat Lova yang mengikutinya berbicara dengan orangtuanya.
"Love," Aeden memanggil Lova pelan. Lova melihat ke arahnya dengan tatapan matanya yang lembut, "Aku mencintaimu."
Lova membeku, ia tak pernah berpikir pria seperti Aeden akan membuat sebuah pernyataan cinta, apalagi di tempat seperti ini, di depan makam kedua orangtuanya.
"Aku benar-benar mencintaimu." Seru Aeden dengan semua kesungguhan hatinya. Melihat Lova yang hanya diam saja, Aeden merasa sedikit kecewa, namun ia mengerti jika Lova belum bisa mencintainya, "Aku tidak memaksa kau untuk mencintaiku, Love. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu."
Lova ingin mengatakan bahwa ia mencintai Aeden, tapi kalimat itu tertahan di ujung lidahnya. Bayangan cinta yang tak ia dapatkan dari keluarganya membuatnya takut.
"Dad, Mom, kami harus pergi. Kami akan mengunjungi kalian lain kali." Aeden bohong jika dia tidak sakit hati saat ini, dia terluka karena Lova benar-benar tak menjawab pernyataan cintanya.
"Love, ayo." Aeden mengajak Lova, ia membalik tubuhnya dan melangkah. Genggaman tangannya pada tangan Lova terlepas ketika Lova tak ikut melangkah bersamanya. Aeden berhenti melangkah, membalik tubuhnya dan melihat ke arah Lova yang menatapnya.
Lova melangkah kedepan, berdiri tepat di depan Aeden, memperhatikan wajah Aeden beberapa saat lalu mendekatkan bibirnya ke bibir Aeden. Melumat lembut bibir itu beberapa saat lalu melepaskannya.
"Aku tidak ingin jadi pengecut yang tak berani melangkah." Lova memandang mata hijau Aeden lekat, "Aku juga mencintaimu." Dan kalimat itu terucap dari bibirnya. Ia tidak bisa berkaca dari cinta yang salah. Jika ia tak berani melangkah saat ini maka tak akan pernah ada langkah maju untuknya lagi. Dinding penghalang yang menghalangi Lova dan Aeden diubah menjadi pintu oleh Lova, dan sekarang ia membuka pintu itu dan melangkah menuju ke Aeden.
Senyuman terlihat di wajah Aeden, ia tak bisa melukiskan bagaimana perasaannya saat ini. Ia menarik Lova ke dalam pelukannya, mengecup kening Lova beberapa saat.
"Aku akan menjaga cintamu dengan baik, Love. Terimakasih karena berani melangkah bersama denganku."
Lova tidak melakukan ini untuk Aeden, tapi ia melakukan ini untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin menahan perasaannya, ia tak ingin menjadi orang lain atas dirinya sendiri. Jika ia ingin Aeden maka ia harus mengatakannya.
♥♥
"Bagaimana orangtuamu bisa meninggal?"
Jika pertanyaan ini diajukan oleh orang lain maka Aeden pasti akan menatap orang itu dengan tajam dan tak akan pernah menjawabnya, tapi karena ini ditanyakan oleh wanita yang ia cintai maka tatapan lembut itu tak berubah.
"Karena pengkhianatan dari orang kepercayaan Daddy. Dia membuat mobil Daddy kehilangan kendali dan akhirnya mobil Daddy masuk ke jurang. Saat itu Mommy ada bersama Daddy, sementara aku selamat karena aku memang tak ada disana."
Lova menyesal bertanya, ia pikir orangtua Aeden meninggal bukan karena kejahatan orang lain.
"Kau sendiri, bagaimana Ibumu bisa meninggal. Dan bagaimana kehidupanmu selama ini?" Aeden ingin tahu semua tentang Lova, ia bisa mencari tahu tentang kehidupan Lova tapi ia tak melakukannya karena mengetahuinya dari mulut Lova sendiri lebih baik dari mencaritahu sendiri.
Melihat wajah Lova yang tiba-tiba datar, Aeden berpikir jika Lova tak bisa menceritakan tentang hidupnya.
"Tidak usah bicara jika tak bisa mengatakannya." Aeden memilih untuk menunggu. Suatu hari nanti Lova pasti akan menceritakan itu padanya.
"Ibuku meninggal ketika melahirkan aku. Aku diasuh oleh sebuah keluarga sederhana yang dibayar oleh Jayden untuk merawatku." Penjelasan itu singkat, tapi luka yang dialami Lova terlihat jelas dari kalimat itu. "Ibuku hanya seorang pelayan bar dan mereka mengatakan bahwa aku adalah kesalahan."
"Kau bukan kesalahan, Love. Jayden yang salah, dia pria yang tidak bisa mengontrol dirinya."
Lova memiringkan wajahnya, "Kau sama seperti dia, pencinta wanita."
"Aku sudah berhenti, Love. Aku berhenti ketika aku menyadari bahwa aku hanya menginginkan kau seorang."
"Ah, aku mual lagi."
"Wanita memang seperti itu. Mulut dan hati berbeda."
Lova tertawa kecil, "Kau memang pencinta wanita, kau paham betul tentang wanita."
"Tidak, aku hanya pencinta Dealova sekarang. Aku hanya akan mengerti Dealova seorang."
Lova menangkup wajah Aeden, tersenyum manis dengan matanya yang melengkung indah, "Manisnya, priaku ini."
Priaku? Kata itu membuat Aeden menatap Lova dengan wajah serius, tanpa kata-kata ia melumat bibir Lova. Memasukan lidahnya ke bibir Lova yang telah terbuka. Saling membelitkan lidah dengan mata yang tertutup.
Ciuman terlepas, jarak wajah Aeden dan Lova hanya dua centi saja. Mata hijau Aeden menatap lekat mata indah Lova.
"Kau wanitaku, Love."
"Dan kau priaku, Aeden."
Mereka kembali melanjutkan ciuman yang terputus.
Asisten Aeden yang tengah menyetir mobil tak berani untuk melihat ke belakang melalui kaca spionnya, ia hanya terus menyetir dan mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa bosnya sangat kejam, bermesraan ketika ia sedang putus cinta.
tbc