"Alan, udah, deh. Jangan menggodaku." wajah oval Lia merona malu. Tetapi, ada yang berbeda dari wajahnya, seaakn dia menyembunyikan kesedihannya.
Alan menyandarkan kepalanya di pundak Lia, ke dua pipi mereka menempel, membuat suasana hati merasa nyaman.
"Maafkan aku!" bisik Alan, mengecup lembut pipi kanan Lia. Wanita itu sontak terkejut, dia tertegun, menyentuh pipinya.
"Ini kecupan untuk apa?" tanya Lia heran.
"Untuk wanita tercantik dalam hidupku." suara serak, sedikit berat itu mulai membiusnya, membuat ke dua pipi Lia semakin merona malu. Seperti biasa di saat Lia marah, Alan selalu memberikan sebuah gombalan kecil untuk Lia.
"Udah, deh, Alan. Jangan menggodaku." ucap Lia, mencoba mengelak perasaan nyaman dalam hatinya. Hatinya yang sempat terluka dengan apa yang sudah di lihatnya tadi. Membuat ia mencoba bersikukuh teguh pada pendiriaannya untuk marah dengan Alan.
Alan melepaskan pelukannya, dia memegang ke dua bahu Lia, memutar tubuhnya menatap ke arahnya. "Lihatlah aku!" pinta Alan, menyentuh dagu Lia. Membuat ke dua mata mereka saling bertemu.
"Apa kamu masih marah?" tanya Alan, di jawab sebuah senyuman tipis dari Lia. Lalu menarik sudit bibirnya tak suka.
"Marah? Memangnya aku marah kenapa?" balik tanya Lia, seakan dia melupakan apa yang di lakukan Alan pada Salsa tadi.
Alan menempelkan ke dua telapak tangannya di pipi Lia. "Aku tahu kamu sejak lama, aku tahu semua tentang kamu. Gimana kamu marah? Dan bagaimana kamu kecewa di saat bersamaku," jelas Alan.
Lia menepis tangan Alan di pipinya. Wajahnya terlihat sangat muram. Memendam kekesalan. "Aku tidak apa-apa," jawabnya memalingkan wajahnya. "Oya, ini wedang jahe kamu. Lebih baik cepat minum," Lia mencoba pergi, langkahnya terhenti, keburu sebuah tangan memegang lengannya. Mencegahnya pergi, menariknya masuk ke dalam dekapan hangat tubuhnya.
Deg!
Degup jantung Lia, mulai berdetak tak beraturan.
Dekapan hangat ini? Kenapa membuatku sangat nyaman?
Alan mengusap punggung belakang Lia.
"Jangan kemana-mana," Alan memeluk erat tubuh Lia. Seakan tidak mau lepas dari kehangatan tubuh Lia.
"Jika aku salah, tolong bicaralah."
"Kamu gak salah," Lia mencoba untuk mendorong tubuh Alan dari dekepannya.
"Kalau aku tidak salah, kenapa kamu marah? Atau, kamu tidak ngin hal yang paling berharga ini menjadi sebuah kisah."
Lia memincingkan matanya bingung. "Apa maksud kamu?" Wanita bermata hitam pekat itu mendorong tubuh Alan menjauh darinya.
"Aku tahu, maksud kamu hal berharga soal Salsa?" tanya Lia, menarik sudut bibirnya sinis, wajahnya berpaling penuh kekecewaan. Meluapkan emosinya yang menggebu.
"Kenapa bahas dia? Sekarang Salsa lagi sakit. Dan kamu tidak pikirkan kesembuhannya. Malah berpikir aneh-aneh," decak kesal Alan.
"Jadi kamu bela dia, kamu tidak bela aku. Aku pacar kamu. Dan aku berhak mempertanyakan hubungan kita."
Lia merembak, ke dua matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang seakan ingin sekali tumpah membasahi pipinya.
"Aku bilang jangan pernah berpikir aneh-aneh,"
Alan mencoba menenangkan4 Lia.
"Apa katamu? Siapa yang tidak berpikir aneh-aneh. Aku sudah melihat semuanya.." Lia mendorong-dorong bahu Alan kesal. "Aku tahu jika kamu mencium tangan dan keningnya. Apa itu namanya kisah, kisah indah yang akan kamu ingat...." Lia melemparkan wajahnya ke kanan, tersenyum samar menahan rasa sakit hatinya.
"Oke.. Aku tahu sekarang. Atau kamu sekarang sudah punya rasa dengannya... Eh.. Atau jangan-jangan kamu sudah lama suka dengannya."
"Tega kamu sakitin aku. Kamu tahu, aku berusaha menjadi yang terbaik. Tapi apa balasan kamu. Di belakangnya kamu berani mencium wanita lain. Itu yang aku lihat hanya sekilas." Lia menunduk, tak kuasa air matanya menetes begitu derasnya. "Hikss.. Hikss.. Mungkin kamu sudah melakukan kecupan bibi juga tadi sebelum kamu pulang."
Alan termenung sejenak, pikirannya mulai melayang mengingat kejadian di saat di tengah hutan tadi. Dia memang terpaksa mengecup bibir tipis mungil yang mampu menghangatkan dirinya.
"Kenapa kamu diam? Jadi memang benar, kan?" Lia menyeka air matanya, membalikkan badannya mencoba untuk pergi. Untuk ke dua kalinya langkahnya terhenti. Alan memeluk erat tubuhnya, engan ke dua tangan melingkar di perutnya.
"Aku sudah bilang jangan pergi," gumam Alan, mempererat pelukannya.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau kamu jauh dariku." jelas singkat Alan. "Aku tidak pernah sama sekali melakukan apa yang kamu pikirkan tadi. Sekarang, aku hanya ingin kamu. Dan hanya kamu," Alam menarik dagu Lia ke samping, melayangkan sebuah ciuman manis di bibir mungil di balut dengan lips pink yang menggoda.
Lia yang terkejut, mengerjapkan ke dua matanya. Mengedip-ngedipkan tak percaya. Perasaannya mulai berkecamuk saat merasakan guluman lidah Alan mulai menggulum lidahnya. Sebuah kecupan lembut penuh dengan gairah.
Alan melepaskan bibirnya. Mengambil napas sejenal, kemudian menarik tengkuk Lia kembali, seakan tak mau membiarkan dia mengambil napas banyak. Kecupan itu kini berbuah menjadi sebuah gairah. Wajah Lia yang semula marah, seakan mulai rontok dalam dirinya. Dia tidak bisa menolak kecupan lembut Alan. Lia tak mau munafik, dia memang menginginkan ini, hanya sebuah kecupan yang mempu membuat hatinya merasa tenang kali ini.
"Sekarang, kamu jangan marah lagi," gumam Alan mengusap lembut rambut panjang Lia, sedikit berombak.
"Tapi kamu jangan berbohong lagi padaku." Lia menguntupkan bibirnya, dengan jemari saling meremas, cemas.
Alan mengembangkan bibirnya. "Tenang saja, aku tidak akan pernah bohong padamu," sebuah kecupan singkat mendarat di kening Lia.
"Oya, kamu tadi belum jawab pertanyaanku." Alan mendorong pelan dahi Lia dengan telunjuk tangannya.
Lia terdiam, menguntupkan bibirnya. Dia membalikkan badannya. Menatap dapur tanpa skat, membuat nuansa bintang lima meja makan itu terlihat sangat jelas di depannya. Sebuah tangan melingkar perlahan di pinggangnya.
"Apa kamu jadi mau menikah muda denganku," suara lembut Alan mampu membiusnya. Wajahnya merah, malu.
"Emm.. Gimana ya," Lia membalikkan badannya, menarik dua sudut bibirnya membentuk senyuman. "Aku mau menikah muda, asalkan dengan kamu."
"Kamu yakin?" tanya Alan girang.
"Sangat yakin, tapi..." Lia tertunduk lesu.
Alan memegang ke dua lengan Lia. Mencengkeramnya perlahan. "Tapi apa?" tanyanya.
"Tapi... " Lia mengangkat kepalanya, membuat ke dua mata mereka bertemu. "Apa orang tua kamu setuju akan hal itu?"
Alan memutar matanya, sembari berdengus lirih. "Entahlah. Aku juga tidak tahu." ucapnya tak berdaya.
"Lebih baik, kita fokus saja kuliah. Setelah itu kita bisa kerja bersama setelah kuliah nanti, terus nikah."
"Lama..." Alan menguntupkan bibirnya manja seperti anak kecil.
Lia terkekeh kecil, mengusap wajah alan dengan telapak tangannya. "Jangan seperti itu, aku jijik, tahu." gumamnya.
Alan menguntupkan bibirnya, menarik kelopak matanya sedikit ke atas. "Apa katamu, jijik?" tanya Alan, jemari tangannya mulai beraksi nakal menggelitik pinggang Lia.
"Alan... Hentikan! Geli.. Alan, hentikan"
"Alan, aku geli.. Awas ya kamu.. Kalau tidak mau berhenti." gerutu Lia, tertawa terbahak membuat air mata menetes tak sengaja.