"Sabar Dilla... Sabar... Aku tak akan meakukan hal itu kok. Tidak akan pernah, Aku hanya berandai- andai. Sekolah di Inggris mata pelajaran sejarahnya apa sih yang mereka ajari? Aku jadi penasaran deh... Setahuku sejarah Inggris tak jauh- jauh negara yang suka menjajah, seperti negara- negara Eropa pada umumnya. Ngomong- ngomong menjadi warga negara Inggris, apakah kau tak risih karena kalian punya salah satu pemimpin yang Islamphobia?"
Dilla melepaskan tangannya dari bahu Yusuf. "Aku tak akan marah jika kau bilang Inggris adalah negara penjajah karena memang kenyataannya seperti itu. Aku pun tak akan memungkirinya. Namun Aku sangat bangga sebagai warga negara Inggris karena hidup dengan toleransi yang tinggi, berdampingan dengan banyak orang dengan ragam etnis dan agama sejak kecil. Kami tak pernah membedakan darimana asal kami yang sebenarnya, namun kami tetap hidup rukun. Soal pemimpin yang Islamphobia, tak Cuma di Inggris kok bahkan d negara yang mayoritas muslim seperti Turki ini pasti masih ada yang Islamphobia juga. Jadi warga negara Inggris tak seburuk itu kok!"
Yusuf tersenyum. "Dilla, keluarga Zubeyde Nine itu sebenarnya adalah mantan ajudan setia dari Sultan Hamid Khan. Salah satu Pasha (pejabat/ salah satu peringkat tinggi dalam sistem politik ataupun militer di Kesultanan Utsmaniah) setia dari Sultan Hamid Khan. Beliau yang menjadi salah satu Pasha setia Sultan Abdul Hamid Khan adalah..."
"Tunggu biar kutebak siapa Kakek leluhur dari Nine Zubeyde, Mehmed Said Pasha."
"Benar, Mehmed Said Pasha adalah Kakek leluhur dari Zubeyde Nine. Mehmed Said Pasha, sekretaris pertama yang diangkat oleh Sultan Abdul Hamid Khan ketika beliau baru diangkat menjadi Sultan."
"Aku tak menyangka jika Tuan Furkan memiliki darah langsung dari Mehmed Said Pasha. Betapa setianya beliau mendampingi Kakek Sultanku berkuasa dulu."
"Dilla... aku juga ingin memperingatkanmu satu hal, ini demi menyangkut keselamatanmu di Turki."
"Apa itu?"
"Kau tahu kan jika isu politik Turki sangat memanas sekarang- sekarang ini? Terlebih memang dalam keadaan suasana menjelang pemilu. Partai Keadilan memang sedang jaya- jayanya sekarang ini, Tuan Presiden Ahmed Albayrak dominan sekali memimpin perolehan suara polling cepat di berbagai daerah. Namun mereka juga kini tengah concern akan terorisme di Turki yang kembali terjadi seperti beberapa hari yang lalu. Diduga QUDS, kelompok teroris yang sedang menguasai Persia dan Syam mendukung kuat Partai Keadilan sehingga membuat kekuatan Partai Keadilan semakin kokoh."
"Aku sangat miris mendengar mereka menggunakan nama QUDS sebagai nama organisasi mereka. Al Quds adalah tanah Palestine, tanah suci yang menjadi peradaban agama- agama Abraham. Aku membenci sampai ubun- ubun para teroris yang bersembunyi dibalik nama agama itu, mereka sama sekali tak mencerminkan perbuatan orang beragama, juga zionist, aku membenci mereka sampai mati. Mereka telah merampas tanah suci Al Quds, tanah rakyat Palestine."
"Sebagai Tentara NATO yang menjaga perdamaian dunia, aku juga mengutuk perbuatan zionist dan teroris."
"Setahuku NATO ini adalah tentara boneka barat, Amerika, mereka mendukung zionist."
"Kau jangan salah kaprah! Tidak semua tentara NATO bertuan Zionist. Kami pun terpecah dalam dua kelompok di dalam NATO, yang pro dan kontra dengan zionist. Demi Allah, Aku sama sekali tak pro zionist!"
"MasyaAllah... aku hargai kejujuranmu jika memang kau tak pro zionist."
"Demi Allah aku berjuang di jalan Allah untuk menjaga perdamaian dunia ini, Dilla... Aku menjadi tentara NATO hanya demi Allah dan Ibuku yang telah meninggal."
Dilla bisa melihat guratan kesedihan di wajah Yusuf asaat membahs Ibunya. Dilla menjadi tak tega.
"Demi Allah, saya tidak ingin membuatmu bersedih karena mengingat Ibumu Yusuf."
"Tidak... Kau tak salah kok!"
Batin Dilla. Aku belum bisa membaca jalan pikiran Yusuf, dia seperti sedang timpang dalam memilih kebenaran.
**
Furkan dan Thalita sedang berjalan- jalan di sebuah mall yang ada di tengah Kota Istanbul.
Thalita tampil cantik mengenakan gamis putih polos dengan payet sederhana di pergelangan tangannya, tampilannya tersebut dipermanis dengan ikat pinggang berwarna biru muda, memperlihatkan bentuk ramping pinggang Thalita. Ia memadumadankan pasmina biru berbahan jersey yang sangat nyaman dipakai. Ia hanya meyimpangkan kesamping kiri juluran hijab sebelah kanannya, sedangkan juluran hijab sebelah kirinya dibiarkan saja menjuntai di depan dadanya, seperti memang menutup bagian dadanya.
Furkan menggandeng tangan Thalita berjalan menyusuri koridor mall yang di samping kanan dan kirinya terpampang berbagai macam toko.
Thalita sebenarnya belum terbiasa, namun status mereka kini kan sudah bertunangan jadi Dia merasa tak boleh canggung lagi dengan apa yang dilakukan Furkan padanya.
"tiba- tiba Furkan menarik tangan Thalita."
"Tuan...." Thalita terkejut dengan tarikan tangan Furkan yang tiba- tiba.
"Ayo kita masuk kesini."
Thalita pun menurut apa yang dikatakan Furkan. "Tuan mau beli tas?"
Furkan hanya tersenyum menatap Thalita.
Toko tas yang dimaksud adalah Givenchy.
Furkan melihat- lihat tas yang disusun rapi di rak toko tersebut. Sementara Thalita hanya mengikuti Furkan di belakang.
Furkan mengambil sebuah tas berwarna abu- abu polos. Ia mencocokan dengan baju Thalita.
"Cocok juga dengan baju yang kau gunakan. Coba kau pakai."
Thalita pun mengambil tas tersebut dari tangan Furkan dan mencocokanya dengan bajunya. "Tuan, ini mau kau belikan untuk siapa tasnya?"
Furkan tersenyum. "Siapa lagi kalau bukan untuk calon istriku."
Seorang palayan toko menghampiri mereka berdua. "Tuan, Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tersenyum ramah.
Thalita terkejut ketika melihat label harga dari tas tersebut bernilai enam belas ribu lira atau setara dengan hampr tiga puluh juta rupiah. "Tuan, Saya tidak minta apa- apa kok." Ia pun mengembalikan tas tersebut ke rak seperti semula.
Furkan tersenyum ke arah pelayan toko. "Calon istri Saya ini memang tidak terbiasa dengan barang- barang branded Nona, biarkan kami berdiskusi dahulu."
Sang Pelayan Toko tersenyum kepada mereka berdua. "Oh iya, silahkan Tuan, Nona..."
Furkan menarik tangan Thalita dan menuju ke sudut ruangan yang lebih sepi.
"Sebagai calon istri Furkan Athagul, Kau tak seharusnya menolak pemberian calon suamimu ini Thalita! Kau jangan membuatku malu di depan pelayan Toko!"
"Aku tahu kok, nanti juga statsusku hanya istri di atas konstitusi saja. Aku hanya akan menyandang status istrimu namun kau sendiri terpaksa menjalankannya."
"Aku sudah bilang padamu Thalita, Aku tak pernah peduli dengan siapa kelak aku menikah karen Aku pun menikah hanya atas kehendak orang tuaku saja. Toh Istriku nantinya hanya akan jadi boneka keluargaku saja! Tentu Aku tak akan membiarkan orang yang kucintai terkungkung hidupnya di dalam rumah mewahku dan hanya akan menjadi boneka cantik serta pemanis menantu Keluarga Athagul!"
Thalita nampak tak terima. "Tuan, bagaimanapun Saya adalah anak perempuan Ayah Saya, Ayah Saya memperlakukan Saya sebagai seorang putri yang paling disayanginya, Kau tak bisa sewenang- wenang berkata seperti itu kepadaku!"
"Thalita, jangan bodoh! Ayahmu pun sudah menyetujui kan jika Aku akan menikah denganmu? Beliau nampak bahagia saat berbicara denganku. Beliau sangat ingin Kau menikah denganku, apalagi Aku telah memberikan sejumlah uang kepada Ayahmu."
"Tuan, Aku pun tak pernah tahu jika Ayahku mempunyai hutang sebanyak itu. Aku sendiri sangat terkejut mengetahui Ia menerima uang pemberianmu tanpa pikir panjang. Biasanya Ia adalah pribadi yang berprinsip dan tak akan mengambil uang yang bukan menjadi haknya."
Saat Furkan meminang Thalita kepada Saud Assegaf, Ayah Thalita, Furkan memberikan sejumlah uang sebagai hadiah lamaran. Furkan tidak tanggung- tanggung memberikan uang senilai enam puluh ribu dollar atau sama dengan hampir satu milyar rupiah.
Uang tersebut ternyata langsung dibayarkan Saud ke investor usahanya dimana Ia sudah memiliki banyak hutang akibat dari usahanya yang kini tengah bermasalah.
Thalita mengeluarkan nafas panjang. "Iya Tuan, Aku tahu.. seharusnya Aku berterimakasih padamu."
Thalita hendak melangkah, tiba- tiba Furkan menarik lengan Thalita. "Kuperingatkan lagi Thalita, semua yang kau dapatkan ini tak gratis. Kau cukup membayarnya menjadi pasanganku yang baik di depan khalayak umum."
Batin Thalita. Iya benar, Aku juga sudah pasrah dengan nasibku, mungkin memang ini keberuntunganku bisa mndapatkan suami seperti Tuan Furkan, apa yang harus keluhkan lagi? Semua sudah terlalu sempurna bukan?
**