"Tuan Inwoo, ada apa lagi?"
"Kita keluar saja bagaimana? Tidak berduaan di tempat sepi seperti maumu!"
Dilla menyipitkan matanya. "Baiklah, Aku akan ganti baju dulu dan menaruh bunga yang cantik ini."
Inwoo tersenyum lebar. "Terima kasih ya Dilla!"
Dilla pun masuk ke dalam dan membiarkan Inwoo tetap berada di luar apartemennya.
"Ada apa Tuan Inwoo mengajakku keluar? Ini hal yang buruk atau baik?"
Dilla pun menaruh sebucket bunga tersebut di dalam keranjang anyaman yang terletak di atas lemari es mininya.
Dilla pun beranjak ke depan lemari pakaiannya yang isinya sangat longgar karena pakaiannya banyak yang masih Ia tinggal di apartemen Dilraba. Ia pun mengambil sebuah knit long sleeve berwarna mocca yang mana dipadupadankan dengan rok panjang plisket berbahan maxmara warna soft nude. Tak lupa Ia memadankan dengan hijab berwarna coklat muda berbahan kaos yang sangat ringan dan breathable.
Ia pun tak lupa membawa tas mininya yang Ia selempangkan ke depan.
Ia pun kini telah siap untuk pergi.
"Kaja (Ayo)!" ujar Dilla sembari mengunci pintu apartemennya.
Inwoo pun dengan semangat menyambut wanita yang telah ditunggu- tunggunya tersebut.
"Kita makan di cafe Valonia ya? Kau suka wafle yang disajikan disana bukan?"
"Tuan Inwoo masih ingat saja makanan kesukaanku?" Dilla merasa tersanjung karena Inwoo akan membawanya ke cafe yang menjual makanan kesukaannya tersebut.
"Baiklah, Ayo sekarang Kita berangkat!" ujar Inwoo.
Akhirnya Inwoo dan Dilla tiba di cafe Valonia.
Inwoo memesankan wafle dengan taburan buah arberi untuk Dilla porsi besar.
Akhirnya pesanannya tersebut pun iba.
Dilla sudah tak sabar menyendokan wafle yang terlihat menggiurkan bukan main tersebut.
"Dilla, Kau nampak lebih ceria ya sekarang?" Inwoo membuka percakapan dengan basa- basi.
"Tentu, Aku menikmati wafle kesukaanku bagaimana Aku tak bahagia?!" ujar Dilla.
"Aku minta maaf karena tak bisa menemanimu saat Kau berada di masa- masa sulit!" ujar Inwoo.
"Apa?" Dilla bertanya balik sembari asyik memakan waflenya.
"Dilla, Aku bersyukur bisa melihat Kau tersenym seperti ini lagi!"
"Kau harus makan waflenya Tuan! Ku yang memesankan, masak Aku yang abiskan sendiri!"
"Baiklah!" Kini Inwoo menyendokan wafle tersebut dan memakannya.
"Sar..." Inwoo merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Sara..."
Dilla terdiam sejenak melihta ekspresi Inwoo yang nampak aneh di matanya.
"Sara? Hidup?"
"Ne... Saraga neomu eoryowo (hidupku sangat mudah)!" ujar Inwoo melengkapi kalimatnya.
"A... Baguslah Tuan jika hidupmu sangat mudah! Nae sara... neomu himdeulda (Hidupku sangat melelahkan)!" ujar Dilla sembari menghembuskan nafas panjang.
"Tersenyumlah Dilla... Bila Kau tersenyun terus nicaya, semua akan lebih mudah! Kau juga jauh lebih cantik jika tersenyum seperti ini!"
Dilla termenung mendengar perkataan Inwoo. "Komawo, Tuan! Aku juga inginnnya terus tersenyum dan hidup tanpa beban!"
Inwoo sendiri tak tahu apakah kata- katanya tadi yang dimaksudkan untuk menghibur Dilla tadi itu sudah tepat atau belum. "Dilla, selanjutnya Kau akan bagaimana?" Inwoo semakin nervous.
Dilla tak mengerti. "Bagaimana? Maksudnya?"
"Kau akan melanjutkan hidup yang bagaimana? Begitu maksudnya..."
"Ya tidak bagaimana- bagaimana! Begini saja sangat melelahkan! Aku mungkin..." Dilla memalingkan wajahnya melihat ke arah jendela.
"Apa Kau tetap akan tetap tinggal di Turki?" tanya Inwoo.
Dilla menggeleng. "Entahlah, mungkin iya, mungkin tidak! Aku belum bisa memutuskan sekarang!"
**
Kini Thalita sedang sibuk dengan pekerjaannya di meja kerjanya. Ia sedang mengurus dokumen untuk audit. Pelin membawakan segelas kopi untuk Thalita.
"Pesanannya sudha tiba?" Thalita langsung menoleh saat Pelin menyodorkan Es kopi kepdanya.
"Iya, cepet banget ya?"
"Iya! Aku tidak menyangka akan diantar secepat ini!"
Thalita pun menusukan sedotan stainless yang telah Ia siapkan sendiri untuk meminum es kopi tersebut, begitu pun Pelin.
"Aku pikir audit kali ini akan lebih sulit dari biasanya!" ujar Pelin sembari menyenderkan sebagian tubuhnya di meja sebelah Thalita.
"Mengapa bisa lebih sulit?"
"Karena yang menangani langsung adalah calon istri dari Calon Presdir Perusahaan ini, tentu auditor akan lebih teliti dan mencari kesalahan- kesalahan yang lebih detai lagi!" Ucapannya diiringi suara cekikikan.
Thalita berhenti fokus ke depan layar monitor Pcnya. Ia pun menanggalkan kacamatanya dan menikmati es kopinya sembari mentapa Pelin.
"Nggak akan pengaruh, Kau mengada- ada saja! Gimana ceritanya?!" balas Thalita.
Pelin menaruh rambutnya ke depan.
"Sudahlah, Aku jamin apa yang Aku katakan akan menjadi kenyataan!"
"Aku akan membuat Bapak- Ibu Auditor menjadi kapok!" ujar Thalita.
"Kau akan tahu nanti jika berhadapan langsung dengan para Auditor!" Pelin hanya tersenyum penuh arti.
Mustafa menghampiri Pelin dan Thalita.
"Thalita, Kau akan segera menjadi Istri Furkan Bay... Aku pikir Kau tak seharusnya masih bekerja disini! Itu sangat tidak baik untuk reputasi untuk reputasi Tuan Furkan jika Kau masih bekerja disini!"
Tanpa ada angin maupun hujan, Mustafa melontarkan kata- kata tersebut.
"Mustafa Abi..." Pelin berusaha menasihati Mustafa. "Kau pikir Kau punya hak apa mengatur apa yang harus Thalita lakukan dan apa yang tidak seharusnya Ia lakukan!" ujarnya dengan mata berapi- api.
Lain halnya dengan thalita, "Biarkan saja Pelin..." Ia memegang tangan Pelin yang berbicara penuh dengan semangat. "Jelaskan padaku, Apa yang membuat itu menjadi tak baik? Aku ingin tahu pendapatmu mengapa Aku tidak seharusnya masih bekerja disini?"
"Tuan Furkan adalah orang yang sangat menjunjung tinggi integritas. Ia tak pernah mencampuradukan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya! Siapapun di kantor ini tidak ada yang tidak tahu bagaimana Tuan Furkan! Entah berapa banyak wanita yang telah jatuh di pelukannya! Namun Ia sama sekali tak pernah melirik karyawan ataupun rekan kerja profesionalnya menjadi wanitanya! Orang- orang percaya jika sampai Tuan Furkan berhubungan dengan karyawannya sendiri akan membuatnya langsung dropped!"
"Mustafa Abi... Tuan Furkan bebas untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya! Entah ada hubungan sebagai rekan kerjanya atau bukan!" balas Pelin.
"Pelin, Kau tak mengerti konteksnya?" Mustafa tersenyum menyeringai.
"Kau tahu apa soal Tuan Furkan?" balas Pelin lagi.
"Sudah Pelin..." Thalita menahan emosi Pelin. "Aku rasa apa yang dikatakan Mustafa Abi ada benarnya."
Thalita memiliki gejolak yang cukup tinggi di benaknya. Ini tidak mungkin terjadi.
**
Furkan pun baru saja pulang ke rumahnya.
Ia langsung disambut oleh sang Ibu, Burcu.
"Anak kesayanganku sudah kembali..."
"Anne..."
Seperti biasa, Burcu mencium kening Putra tunggalnya tersebut saat Putranya lama pergi.
Furkan memang akhir- akhir ini memilih tinggal di Apartemennya sendir ketimbang pulang ke Rumah Orang Tuanya.
"Zubeyde Nine bagaimana Anne?"
"Keadaannya masih sama!"
"Aku sangat khawatir tiap hari memikirkan Nine!" ujar Furkan.
"Aku rasa, ini adalah halpaling baik buat Kita sayang..."
"Maksud Anne apa?"
"Putraku, Kau tahu kan bagaimana Ninemu sedari dulu memperlakukanku? Aku sangat lelah dengan apa yang dilakukannya kepadaku! Seolah- oleh Aku telah merebut Putra kesayangannya untuk menjadi budakku! Dia seakan- akan memusuhiku terus selama ini dan selalu menentang apa yang ingin Aku lakukan, yang paling terasa adalah saat Aku memilihkan jodoh untukmu!" Burcu akhirnya mengeluarkan uneg- unegnya mengenai Ibu mertuanya tersebut kepada sang Putra.
Furkan pun merasa iba dengan Sang Ibu. Ia menggeggam tangan sang Ibu. "Anne, sabar ya..."
**