Furkan berjalan mondar- mandir di depan rumahnya.
Ia sangat memikirkan apa yang Neneknya bicarakan mengenai menyuruhnay membatalkan pertunangannya dengan Thalita. Tentu hal ini tak seudah membalikan telapak tangan. Ia tak pernah menduga sang Nenek sudha tahu sejak lama mengenai hal ini.
Ia pun mencoba mencari ide agar masalah ini cepat selesai dan Sang Nenek tak mempermasalahkan pernikahannya dengan Thalita karena walau bagaimanapun, pernikahannya dengan Thalita sebenarnya juga bukan sebuah kamuflase dimana Ia akan tetap berusaha memperlakukan Thalita sebagai istrinya kelak.
Thalita pun akhirnya datang bersama Ibu dan Kakaknya. Mobil taksi tersebut masuk hingga depan rumah Furkan, dimana pekarangan Rumah Furkan sangat megah hingga bisa bisa membuat mobil berjalan berputar- putar bak di sirkuit balapan.
Thalita pun keluar dari mobil taksi tersebut. Ia duduk di kemudi depan taksi sedangkan Kakak dan Ibunya duduk di jok belakang taksi tersebut.
Thalita pun mengeluarkan barang bawaan Ibunya dari bagasi mobil taksi tersebut.
Sang Supir taksi juga membantu Thaita mengeluarkan barang- barang tersebut.
Sedangkan Kakak dan Ibunya sibuk merapikan baju Mereka.
Furkan pu menyambut kedatangan Calon Ibu dan Kakak Mertuanya tersebut.
"Cansu Anne... Selamun Aleykum." Ia mencium tangan Cansu.
Cansu sangat tersipu dengan perlakuan Furkan yang sangat manis tersebut.
"Aleykum Salam." Cansu membalas salam Furkan.
"Tuan Furkan, apa kabar?"
"Halo Zeynep. Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Aku juga." Zeynep tersenyum centil di hadapan calon adik iparnya tersebut.
Sementara Thalita masih di belakang ingin membawakan barang- barang.
Cansu menoleh ke belakang.
"Ya ampun Thalita... Kau ini kenapa harus ikutan mengangkat- anggkat barang- barang itu? Itu sangat melelahkan kan? Biarkan Driver taksinya yang lakukan! Anne juga sudah memberikannya ttip untuk ongkos mengangkat barang- barang itu."
Furkan melihat barang bawaan Keluarga Thalita yang cukup banyak.
"Ada apa ini? Kenapa Cansu Anne membawakan banyak barang? Benar- benar tidak usah repot repot. Aku merasa tak enak dengan semua ini!"
"Ya ampun Furkan.., Aku ini calon Ibu mertuamu dan bisa dibilang juga Ibumu. Kenapa harus merasa Aku direpotkan? Ini hal yang sangat kecil, tidak ada apa- apanya kok. Benar- benar tak merepotkan sama sekali!" jawab Cansu dengan percaya diri.
"Ya sudah, ayo masuk! Kedua orang tuaku sudah ada di dalam!"
Cansu dan Zeynep pun masuk duluan ke dalam rumah Furkan. Sementara Furkan memanggilkan pekerja rumahnya untuk mengangkut barang- barang dari Cansu ke belakang.
Furkan berjalan beriringan berdua dengan Thalita.
Thalita sedikit mendumel dan terdengar oleh Furkan.
"Kau kesal ya karena Ibumu sangat over attention di depanku?" terka Furkan.
"Dih, Tuan Furkan... Anda kok jadi orang kegeeran banget?!" umpat Thalita.
Furkan pun menggoda Thalita. "Sebentar lagi Aaku akan menjadi Anak kesayangan Ibumu, kan?"
"Terserah!" jawab Thalita ketus.
Kedua orang Tua Furkan tengah berbincang dengan Cansu dan Zeynep.
"Ibumu sepertinya sangat pandai ya bersosialisasi? Ayah dan Ibuku pun tampak sangat cepat akrab dengan Ibumu," bisik Furkan.
"Ibuku gitu- gitu supel loh! Seperti anaknya juga!" ujar Thalita.
"Supel?" Furkan menggoda Thalita lagi. "Aku mengerti... supel yang Kau maksud itu... bisa mudah dekat dengan bosnya ya?"
Thalita hanya geleng- geleng saja mendengar candaan Furkan.
Ibaunya memanggil Thalita. "Sini Thalita..."
Akhirnya Thalita menghampiri Sang Ibu.
Thalita sangat tenang saat Zubeyde keluar dari kamar tidurnya dan bergabung bersama para orang tua.
Thalita meringis geli karena Furkan terus menggodanya dengan berbisik ke bagian telinganya yang terbungkus hijab.
"Tuan Furkan..." ujar Thalita.
Cansu melihat ke arah putrinya. "Thalita Kau ini, jangan bermesraan di depan orang tua. Itu sama sekali tak sopan!" tegurnya. "Maafkan Putri Saya yang kurang sopan ya Tuan, Nyonya..." ujarnya kepada Orang Tua Furkan.
Furkan hanya tersenyum tipis.
Thalita hanya bisa memasang wajah memerah. Batinnya. Sial! Siapa yang mesra- mesraan?!
Pertemuan keluarga pun dimulai.
Para Orang Tua berbincang- bincang. Cansu nampak sangat antusias membicarakan pernikahan Putrinya dengan Furkan, sementara Burcu nampak sangat hati- hati menghadapi Cansu.
Karem dengan lembut menanggapi Cansu.
"Suami Anda bekerja di Qatar dan baru pulang setahun sekali?" tanya Bburcu.
"Iya benar. Suami Saya bekerja di Perusahaan tambang minyak di Qatar. Dia sangat senang sekali Thalita ada yang meminang, terlebih dari Keluarga yang sangat terhormat dari keluarga Atagul."
"Nyonya Cansu, Saya dengar mantan Suami Anda adalah Gubernur Jakarta saat ini?" tanya Burcu.
"Oh iya, Saya juga mendengar hal itu dari Furkan."
Cansu terdiam sejenak.
"Iya benar. Ayah Cansu, Dian Assegaf merupakan Gubernur Jakarta saat ini." Cansu menjawab pertanyaan tersebut tanpa ragu dan sangat meyakinkan.
Ia menatap ke arah Thalita.
"Saya sangat berharap Thalita akan mengundang Ayahnya ke Turki untuk menghadiri pernikahannya," ujar Burcu.
"Tidak..."
"Tidak mungkin."
Thalita dan Cansu menjawab secara bersamaan.
"Kenapa?" tanya Zubeyde.
"Ayah Thalita sangat sibuk. Pernikahan Thalita akan sangat memakan banyak waktu dan tenaga Beliau, jadi sebaiknya tidak perlu menaksakan Beliau datang," jawab Cansu.
Thalita berusaha tenang di hadapan keluarga Furkan maupun di depan keluarganya sendiri.
"Lagipula pernikahan hanya akan diadakan dengan peresmian sipil saja, jadi tidak perlu pakai wali segala, jadi ada atau tidaknya Ayahnya Thalita bukan suatu masalah yang besar, bukan?!" Karem menimpali.
Thalita tersenyum sembari menelan ludah. Batinnya. Aku memang tak benar- benar menjadi Istri Tuan Furkan, lebih baik tidak usah akad, karena walau bagaimanapun ini hanya pernikahan kontrak.
Zubeyde menimpali. "Karem, Kau bagaimana sih? Akad nikah itu sangat penting, peresmian pernikahan secara Agama itu sangat penting. Kau tidak menanyakan pendapat Thalita, Ia saja seorang Muslimah yang taat, bagaimana mungkin Ia mau menikah tanpa adanya akad? Benar kan Thalita? Kau tidak mungkin mengabaikan akad pernikahan bukan?" tanyanya sembari memandang tajan mata Thalita.
"Iya. Aku mengikuti saja kemauan keluarga seperti apa, tradisi di Turki seperti apa," jawan Thalita.
"Thalita, Kau tahu kan jika menikah tanpa akad dalam hukum agama itu tidak sah? Kau Muslimah yang taat kan? Seharusnya Kau tahu soal itu," tegur Zubeyde.
"Iya Nine, Anda benar. Saya tahu jika dalam Islam, akad pernikahan adalah wajib. Tapi, Saya thu kalau keluarga Tuan Furkan dan Tuan Furkan sendiri cukup sekuler."
Zubeyde memotong pembicaraan Thalita. "Thalita, Kau tidak boleh seperti itu! Jjangan mentang- mentang Furkan, serta Orang tuanya sekuler, Kau jadi mengikuti arus sekuler juga! Kau harus punya pegangan dan pendirian sebagai seorang Muslimah!" Ia dengan tegas menegur Thalita yang mengikuti saja apa permintaan Furkan.
Furkan menjawab Neneknya. "Nine, soal ada tidaknya akad, Kami sudah sepakat jika itu tdak perlu."
Zubeyde menatap tajam Thalita. "Anakku, Kau tidak membenarkan hal itu kan?"
**