Thalita sendiri di kamarnya. Ia sibuk dengan sosial medianya, kali ini Ia membuka facebooknya yang sudah terbengkalai dan tak terurus lagi.
Thalita pun membuka album fotonya di facebook. Hari- hari Thalita saat di luar pekerjaan rasanya masih sangat sunyi, ia jarang sekali kelar untuk hanya sekedar bermain dengan teman- teman kantornya atau denga saudara- saudara tirinya.
Berbeda sekali kehidupan Thalita saat di Jakarta dan Istanbul, dia dulu suka sekali bermain bersama teman sepulang kerja, bisa mampir ke cafe, mall, bioskop, ataupun tempat karoke. Thalita tak pernah sama sekali menyentuh bar selama di Bandung ataupun Jakarta, walau teman- teman ceweknya ada yang berhijab tetap masuk ke klub malam, namun tentu dia tak mungkin melakukannya, masuk diskotik dengan hijab. Ia juga tak tertarik menginjakan kaki ke tempat itu.
Thalita sesekali bermain dengan teman kantornya, itu pun hanya sampai jam 8 saja karena di atas jam 8, banyak yang lebih memilih masuk diskotik atau klub malam. Thalita sampai sekarang belum menemukan teman kantor yang bisa dibilang tidak suka minum dan tidak ke klub malam. Mungkin ada, tapi dia tidak tahu saja. Ia juga sebenarnya kadang sungkan dengan beberapa orang Turki yang sudah bersikap jutek duluan, padahal jika di Indonesia, teman- temannya sudah melabelinya sebagai miss berwajah jutek, namun hal tersebut tidak ada apa- apanya saat di Turki.
Thalita sebenarnya sesekali penasaran dengan klub malam, namun ia menahannya saja karena memang dia meyakini lebih banyak mudharatnya jika masuk ke klub malam. Ia seperti belum bisa beradaptasi dengan Istanbul ini.
Semua orang yang ada di sekitarnya tak ada yang bisa sejalan dengannya, bahkan termasuk shabat dekat kantornya, Pelin.
Thalita tiba- tiba teringat saat ia masih kuliah. Ia punya segeng teman pria yang sangat dekat dengannya dan termasuk cowok- cowok yang masih bisa dibilang alim, termasuk Rayhan ada di dalam geng tersebut. Mendadak ia rindu dimana punya teman yang bisa diajak suka, duka namun tetap dalam koridor norma yang dianutnya. Bersenang- senang sampai larut malam dimana paling banter tempat nongkrong mereka adalah tempat karoke, namun tetap saling mengingatkan untuk sholat agar jangan sampai tak terlewat.
Norma sosial dan agama yang kuat melekat pada Thalita dimana Ia sudah dididik oleh orang tuanya secara pendidikan Islam yang kuat. Ia bahkan sudah memakai hijab dari masih TK. Thalita tak pernah terbesit sedikit pun sampai saat ini untuk menanggalkan hijab dan mencoba- coba memakai pakaian seksi untuk keluar rumah. Thalita sesekali berkaca dan meyakini memang dirinya cantik, wajar saja karena meamng dia memiliki paras cantik dan bentuk badan ideal. Namun kadang kala ia tetap punya rasa iri kepada kawannya yang belum atau tidak berhijab karena pernah merasakan masa pakai pakaian seksi.
Thalita kecil sudah mengenakan hijab saat keluar rumah, oleh sang Ayah tidak pernah sama sekali membelikan Thalita pakaian pendek ataupun baju pendek. Banyak foto Thalita kecil dimana ia dipakaikan hijab kecil dengan poni yang diperlihatkan, wajah bulenya itu benar- benar membuatnya seperti boneka kecil berhijab. Sang Ayah sesekali menyentil Thalita bila Thalita memakai jins yang super ketat pas badan dengan model waist dimana tingginya sampai sepinggang atas. Namun Thalita tentu tahu jika itu adalah hijab fashion, ia masih belum bisa menanggalkan pakaian modis hijabnya untuk beralih ke gamis, namun dia berusaha tetap mengenakan rok dan setidaknya berusaha memanjangkan hijabnya, namun dia lebih sering mengikat hijabnya ke belakang. Khimar dan gamisnya hanya ia pakai saat mengikuti kajian yang dulu biasa ia ikuti di Masjid Nurul Iman Jakarta bersama teman- temannya yang sudah hijrah, selain itu juga dipakai saat mentoring kajian.
Thalita sudah beberapa bula, tepatnya sejak pertengahan 2017, yang artinya sudah 1 tahun ini berhenti tidak ikut liqo. Hal yang paling disayangkan baginya untuk berhenti liqo karena disinilah ia bisa banyak menuntut ilmu agama. Ia berhenti karena kesibukan kerja yang tidak memungkinkan mengatur jadwal liqo ditambah jika hari libur ia sering ada acara, maka kegiatan liqonya terpaksa diberhentikan sementara dan ia pun hanya mengikuti kajian mngguan di Masjikd Nurul Iman di Rabu malam.
Samapai sekarang Thalita masih belum pernah mengikuti kajian lagi dikarenakan atmosfer menuntut ilmu agama yang berbeda antara Jakarta dan Istanbul. Ia harus ke Universitas Istanbul dulu jika mau kajian yang ramai pemudanya. Namun ia juga tidak memiliki waktu di hari libur untuk itu. Thalita mau tidak mau hanya mendengarkan kajian lewat youtube saja kini, itu pun tak terlalu sering.
Beberapa hari lagi akan memasuki bulan Ramadhan. Thalita sudah tidak sabar untuk mencoba puasa Ramadhan yang akan berlangsung sekitar 15 jam di Istanbul. Bayangkan saja, puasa disini akan jauh lebih berat dimana subuhnya saja jam setengah 4 pagi, lalu jam setengah sembilan baru adzan maghrib. Matahari tenggelam jam 8 lewat di musim panas ini. Panas kota Istanbul di bulan Juni ini adalah kisaran terdingin di 18 derajat celcius dan tertinggi 27 derajat celcius saja, bisa dibilang masih kalah jauh panas Jakarta yang sinar mataharinya amat terik dengan suhu minimalnya 22 derajat celcius, dan yang paling peak nya ada di 32 derajat celcius, menghadapi suhu panas Jakarta yang rata- rata di atas 27 derajat celcius pada siang hari ini tentu sudah mbukan masalah berarti bagi Thalita, maka jika hanya 15 jam puasa di Turki dengan suhu musim panas di Turki yang hanya segitu bukanlah halangan baginya.
Thalita keluar dari kamarnya, ia mendapati Dilan baru saja pulang dari kuliahnya.
"Dilan, kau baru pulang? Tumben sekali!"
"Abla, aku..."
Tiba- tiba Dilan jatuh.
Thalita pun panik.
Ternyata saat Thalita mencium bibir Dilan, ia mabuk.
"Dilan... kau mabuk- mabukan?"
Tiba- tiba sang Ibu, Nyona Cansu keluar kamar. "Dilan..."
"Anne, sepertinya Dilan..."
"Dilan mabuk?! Sudah biasa!"
"Anne..." Thalita mengernyitkan dahinya.
"Thalita, ini hanya hal kecil saja jika Dilan mabuk! Sudahlah!"
Batin Thalita. Anne, aku merasa jika Anne sudah banyak berubah, dari hijab yang sudah tak terpakai lagi, tidak melarang mabuk- mabukan, aku harus bagaimana?
"Thalita, bantu Anne membawa Dilan ke kamarnya!"
Thalita pun menuruti perintah Ibunya.
Ia membawa Dilan ke kamarnya dan membaringkannya di kaur Dilan.
Batin Thalita. Haruskah aku pergi saja dari rumah Anne?
"Thalita, suami Anne... Ayahnya Dilan dan Zeynep akan pulang dari Kuwait! Ia akan liburan bulan Ramadhan di Turki jadi Aku minta kau jangan cerita soal Dilan yang mabuk ya!"
"Maksud Anne?" Thalita tercengang.
"Pokoknya, besok selama bulan Ramadhan rumah ini akan berubah 180 derajat. Apalagi suami Anne pulang dari Kuwait!"
"Aku tak mengerti Anne..." Thalita memincingkan matanya.
"Sudahlah, kau lihat saja nanti!" ujar Cansu memberikan tanda tanya pada hati Thalita.
**
Furqan mendapati jika di rumahnya sang Ibu, Nyonya Burcu sudah memberikan sederet nama- nama wanita serta biodata lengkap dan portofolionya.
Furqan tentu terkejut dengan tumpukan biodata tersebut yang mana sang Ibu menyodorkan langsung kepadanya.
"Anne, ini apa- apaan lagi? Aku kan sudah bilang jika aku bisa mencari sendiri pasanganku!" protesnya
"Anne ingin pasangan yang paling terbaik untukmu Furkan Oglum (Putraku)!" ujar Burcu.
"Anne..." Furkan pun mencium kening Ibunya. "Tesekkur ederim Anem (Terimaka sih Ibuku)! Kau adalah Ibu terbaik di dunia ini! Kau sangat sayang dan mementingkan semua yang berkaitan denganku termasuk jodohku!"
Sang Ibu tersenyum karena Sang Anak yang berprilaku sangat romantis kepadanya.
Furkan memang terkenal sangat romantis dan perhatian pada wanita teruatam kepada Ibu dan Neneknya. Ia tak segan segan memeluk dan mencium kening sang Ibu, dan biasa mencium pipi neneknya. Ia memang adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya.
Sang Nenek, Nyonya Zubeyde Bayar Atagul pun muncul dari arah dapur.
Furkan tak menyangka sang nenek ada juga di rumah mereka.
"Nine..." Furkan pun berdiri dan menghampiri sang Nenek. Ia pun mencium tangan neneknya.
"Selamun Aleykum!" ujar sang Nenek.
"Wa aleykum salam!" jawab Furkan, diikuti jawaban salam Burcu yang juga ikut membalas salam Zubeyde.
"Merhabe Anne..." ujar Burcu melanjutkan.
Tampilan Zubeyde dan Burcu sangatlah berbeda jauh.
Burcu biasa berpenampilan ala Ibu- Ibu sosialita Turki dengan pakaian modis, biasnaya memakai dress selutut dan ditambah rambutnya dicat warna merah kecoklatan agar nampak lebih modis lagi dan bisanya rambutnya di blow agar membentuk.
Zubeyde walaupun sudah berusia 77 tahun, namun masih kelihatan cantik dan sangat sehat, ia memakai hijab segi empat yang sampai menutupi dadanya serta memakai gamis. Zubeyde sangatlah taat agama dan tidak hidup sekuler seperti kebanyakan orang di Istanbul.
Lain halnya dengam Burcu yang lebih memilih hidup secara sekuler seperti kebanyakan orang di Istanbul.
"Nine sudah sangat ingin kau menikah Furkan!" ujar sang Nenek. "Nini juga ingin menggendong cucu darimu!
"Iya Nine, aku pasti akan menikah!" ujar Furkan sembari memeluk sang Nenek.
"Nine akan mencari jodoh untukmu saja, Nine tak yakin dengan jodoh pilihan Ibumu!"
Burcu tertegun. "Anne, aku sudah menyeleksi anak gadis dari beberapa politikus maupun orang terpandang di Turki untuk menjadi calon menantuku!" ujarnya tak terima. "Semua backgroundnya jelas, asal- usul bibit bobotnya!"
"Burcu anakku, kau hanya melihat calonnya Furqan dari segi pendidikan dan dari keluarga mana saja dia berasal, kan? Kau haru mempertimbangkan soal Agamanya juga!" ujar Zubeyde menegaskan lagi.
"Anne, yang penting calonnya Furkan kan agamanya juga Islam. Itu saja sudah cukup bukan?!" tegas Burcu.
"Aku ingin calonnya Furkan setidaknya berasal dari pejabat yang ada di Kota Konya!" tegas Zubeyde. Zubeyde besar dari keluarga di Kota Konya dimana Kota Konya bisa dibilang Kota paling konservatif di Turki, sebagian besar para warga kota Konya adalah Muslim yang taat menjalankan ibadah dan wanitanya pun sebagaian besar berhijab.
"Ya Allah Anne... Lagi- lagi soal itu... Kita tanya saja dengan Furqan, kau lebih suka wanita yang masih terlalu kolot pemikirannya di jaman modern ini atau wanita yang sduah sangat maju dan sangat berpikiran modern!" ujar Burcu.
"Siapa bilang wanita yang taat agama itu sangat kolot?!" Zubeyde memincingkan matanya.
"Tidak semua memang Anne, tapi kebanyakan begitu! Kalau begitu cari di Istanbul saja, ada tidak wanita yang sangat taat agamanya, namun juga merupakan anak dari orang terpandang di Istanbul atau anak politisi?!"
"Wallah... sepertinya tidak ada bila di Istanbul, maka dari itu aku lebih setuju Furqan mencari wanita Konya!"
Furkan tak ingin berpihak kepada Ibu maupun neneknya. "Begini saja, Nine dan Anne... kalian coba seleksi calonku... apakah ada yang paling sreg untukku? Aku tak masalah, soal bagaimana dia menjalankan kehidupan beragama sesungguhnya... yamg penting cocok saja denganku!" ujarnya menengahi Zubeyde dan Burcu.
"Baik! Cucu Nine yang paling hormat dan paling Nine kagumi adalah kau Furqan! MasyaAllah..." ujar Zubeyde sembari mengelus jenggot tipis Furqan.
Furqan tersenyum.
"Furqan, Anne yakin wanita ilihan Anne lah yang akan menjadi istrimu!" ujar Burcu tak mau kalah. Furqan hanya tersenyum memandangi sang Ibu
**