Dilla sedang mengeringkan rambutnya di kamar mandi, Ia memandangi cermin sembari terus menggesekkan handuk di rambutnya.
Tatapannya sangat menyiratkan keraguan akan sesuatu. Ia ingin mencoba tawaran Furqan dengan menaruh lamaran pekerjaannya di Halloturk namun masih banyak keraguan di benaknya mengapa dia belum berani melakukannya. Ia merasa jika dia telah berbuat curang bersama Mustafa.
Mustafa, salah satu Pegawai yang sudah menempati jabatan Supervisor di Halloturk yang juga menggaet salah satu Perusahaan Korea sebagai investor di Halloturk. Beberapa kali Dilla dimanfaatkan Mustafa untuk bebuat curang. Mustafa beberapa kali melakukan kerja sama project dengan beberapa vendor, lalu dengan penawaran harga yag sangat jauh sehingga ada selisih harga yang mana menjadi keuntungan pribadi Mustafa, dimana dia memang telah melakukan kongkalikong dengan vendor tersebut agar ia mendapat jarah persenan dari project Halloturk yang sedang digarap vendor tersebut.
Namun di lubuk hatinya Ia tetap ingin melamar pekerjaan di Halloturk. "Pokoknya, sudah... aku jalani dulu!"
Tiba- tiba Dilraba mengetuk pintu kamar mandi. "Dilla... Apakah kau masih lama di dalam?"
Dilla pun buru- buru menyelesaikan pekerjaannya, ia pun menyibakan begitu saja rambut yang baru dihandukinya itu.
Ia pun buru- buru membuka pintu kamar mandi.
"Sudah!"
"Aku kira kau ketiduran!" Dilraba tersenyum kecil sembari masuk beitu saja ke dalam kamar mandi.
"Kan masih ada kamar mandi yang lain!"
"Tidak! Aku mau buang hajat disini!" Dilraba pun masuk langsung duduk begitu saja di toilet angsanya.
Dilla hanya geleng- geleng.
Dilraba tersenyum- senyum sendiri saat sedang bab.
"Kau kenapa Dilraba?" Dilla merasa aneh melihat ekspresi sahabatnya tersebut.
"Aku lagi membayangkan Tuan Furqan!"
Dilla pun mendadak kaget. "Kau masih belum melupakan Tuan Furqan?"
"Tentu belum! Bagaimana kau bisa dengan mudah melupakan pria setampan dan sebaik Tuan Furqan!"
Dilla menggeleng. "Kau tak bisa bermimpi sejauh itu!" ujar Dilla menasihati.
"Tuan Furqan sangatlah berbeda dengan pria kebanyakan! Dia telah membuatku langsung jatuh hati begitu aku mengenalnya!"
"Hati- hati!" ujar Dilla memperingati.
"Kau tak perlu khawatir!" ujar Dilraba sembari meqngedipkan matanya dengan senyuman yang penuh dengan ambisi.
Dilla khawatir akan apa yang terjadi dengan Dilraba bila benar- benar jatuh cinta dengan Furqan.
**
Thalita menelpon Sang Ayah. Ia langsung melakukan video call sembari tiduran di kasur kamarnya.
"Assalamualaikum Babeh!" ujarnya heboh.
"Eh... Anak perempuan Babeh yang paling cakep akhirnya nelpon juga!" balas Saud.
Tiba- tiba Rizky muncul di sebelah Ayahnya. "Pok Tata... lu kangen ama adek lu yang paling ganteng ini kage?!"
Thalita tersenyum sambil tertawa terbahak- bahak. "Bodo amet Dul... Lu gue tinggal mesti pacaran mulu ye?!"
"Pok... ge ga pacaran kok..." sanggah Rizky.
"Boong Lu! Dosa lu boong ame gue!" ujar Thalita.
"Tanya Babeh!"
"Iye Ta... ade Lo pacaran mulu! Babeh ampe geleng- geleng aja berani- beraninya ngado mahal ke cewek yang belum jadi mahramnya?!" ujar Said sembari melirik Rizky.
Thalita pun geleng- geleng. "Larang Beh! Atau kage usah dikasih uang jajan sekalian!"
"Enak aje main larang- larang! Ane pacaran juga ga ngapa- ngapain!" ujar Rizky menyanggah.
"Heh Tong! Kalo kage ngapa- ngapain nape lu pacaran!" ujar Thalita mengembang- kempiskan hidungnya.
"Babeh yakin sih Abdul pacaran ga ngapa- ngapain!" bela sang Ayah.
"Tetep aja Beh..." protes Thalita.
"Pok Tata nih jadi kompor meluduk mulu!" gantian protes Rizky.
"Untung pacaranya Rizky Abdullah Assegaf ini jebolan pesantren yang sholehah jadi Babeh setuju- setuju aja!" ujar Snag Ayah membela lagi anak laki- lakinya.
"Ck... Ck.... Ck... MasyaAllah- MasyaAllah Baba... Herneyse (terserah)!" ujar Thalita kesal. "Yang Sholehah nggak akan pacaran!" protesnya.
"Wallah... kita tak bisa mengukur kadar iman manusia Putri Baba!" tiba- tiba nada suara Sau berubah bernada lebih bijak.
"Pok Tata kage usah pake Bahasa Turki deh! Yang mentang Bahasa Turkinya faseh! Babbeh yang faseh Bahasa Arabnye aje biasa aje! Noh tiap maghrib ngimamin Sholat di masjid!" ujar Rizky.
"Eh... Bocah..." ujar Saud sembari memelototi Rizky.
Thalita tertawa kembali.
Tawa Thalita sepertinya mengundang orang di luar kamar sehingga suara tawa Thalita tersebut terdengar keras sampai dapur yang jaraknya jauh dari kamarnya.
"MasyaAllah... Thalita tertawa kenapa itu?" Zeynep mengurut dada.
"Tidak tau... Thalita Abla tertawa hingga sebesar itu!" ujar Dilan.
"Thalita tertawa memamg seprti itu!" ujar Sang Ibu, Cansu.
"Jika ada Baba.... dia pasti sudah ditegur! Perempuan tak ada malunya!" ujar Zeynep.
"Baba mengapa tak jadi pulag sih?!" ujar Zeynep.
"Bukan tidak jadi! Tapi ditunda sampai Sekrem Bayrami (Idul Fitri)!" bantah Cansu lagi.
"InsyaAllah Baba kan pulang hanti kalau liburan ya Anne..." ujar Zeynep tersenyum lebar.
Thalita keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur.
"Anne..." ujar Thalita sembari tersenyum. "Ada yang bisa aku bantu?"
Dilan tersenyum. "Hayir, Abla..."
"Dilan... Abla akan membantu apapun yang Abla bisa!" ujar Thalita.
Zeynep mengangguk. "Thalita, kau bisa memasukan dagingnya ke dalam adonan ravioli ini!"
Thalita mengangguk. "Tentu aku bisa!"
Thalita pun mengerjakan apa yang diperintah sang Kakak yaitu mengis adonan rabioli tersebut dengan daging dimana mereka akan membuat manti. Manti berbentuk seperti ravioli dengan isi daging, dan bumbu khas Turki.
Mereka pun memasak untuk besok sarapan karena adonan tersebut bisa dimakan pendamping sarapan besok pagi.
Kebiasaan di rumah- rumah Turki dimana anak- anak perempuan sangat dekat dengan Ibu mereka dan membantu memasak bersama- sama.
Thalita jarang memasak, ia bisa dibilang tak bisa melakukannya.
Sang Ayah bisa memasak namun tidak dengan sang anak perempuan. Wjar saja, kuliah ngekos dan biasa beli di luar dan tinggal masak nasi saja, di rumah ada pembantu yang memasak, itu membuat Thalita tak biasa memasak.
Ini pertama kalinya Thalita memasak bersama- sama dengan keluarga. Ia sendiri juga termasuk gadis yang tomboy dan lebih suka mengerjakan hal yang ekstrim dimana lebih identik dengan Pria seperti olahraga wall climbing, hiking, bahkan sesekali pernah paralayang.
**
Bandung, November 2013
Oktober ini tak pernah tiada hari tanpa hujan di Kota Bandung. Walau hari nampak mendung, tak membuat Thalita malas untuk berangkat kulian.
Ia dengan tergesa- gesa membereskan buku- buku referensi untuk skripsinya. Ia pun telah menyetrika hijab segi empat berwarna biru mendung polos.
Sang sahabat, Acha mengirimnya pensan LINE.
ACHA: [Ta, gue mau mundur aja...]
THALITA: [Maksud lo Cha?]
ACHA: [Gue mau cabut kuliah aja Tha... Gue udah nggak sanggup lanjut kuliah deqngan keadaan keluarga yang lagi berantakan begini...]
Thalita mendadak syok akan pesan Acha, sahabatnya tersebut.
Thalita pun menelpon Acha.
Namun Acha tak kunjung menjawab telepon.
Thalita pun merasa khawatir.
Tiba- tiba sebuah pesan masuk dari Villea Asyakilla di LINE Thalita.
Thalita pun tiba- tiba detak jantungnya mau berhenti melihat notifikasi dari Villea di tengah kepanikannya terhadap keadaan Acha.
DEG
Batinnya. Villea kenapa ngirimin gue pesan LINE ya?
Thalita pun ragu- ragu ingin membuka pesan tersebut. Ia memberanikan diri membuka pesan tersebut.
Thalita menarik nafas lega ketika membuka pesan LINE tersebut.
Villea: [Ayo mainkan GET RICH!]
Thalita sangat bersyukur karena Villea tak mengirim pesan yang dia cemaskan yaitu menanyakan hubungan Thalita dan Reyhan yang sebenarnya.
Thalita dan Reyhan baru saja berlibur ke Jogja seminggu yang lalu bersama teman- teman himpunan mereka.
Meski liburan tersebut adalah liburan bareng- bareng dengan teman himpunan, namun Thalita dan Reyhan curi waktu untuk pergi berdua saja di sela- sela waktu yang tak terduga.
**