"Aku akan tetap bekerja. Lagipula usia kandungannya masih muda. Dan aku masih bisa bekerja."
"Tidak! Aku tak mau mengambil resiko. Bagaimana jika kau tiba-tiba kelelahan? Bagaimana jika kau kecelakaan dan keguguran? Aku tidak mau! Kau harus berhenti bekerja," protes Brian tak terima.
"Kau tidak bisa memaksaku untuk berhenti bekerja. Lagipula di dalam kesepakatan kita tak ada point yang mengatakan aku tak boleh bekerja. Jadi, aku akan tetap bekerja." Ucapan Elena memancing amarah Brian. Dia sangat tak suka jika ada yang menentang keinginannya.
"Elena!" Bentak Brian marah.
"Berhenti bekerja!"
"Tidak!" Elena dan Brian saling pandang dengan amarah dan kekesalan yang sama tinggi.
"Sudahlah." Elise mencoba menengahi perdebatan itu. Dia menyentuh lengan Brian dan menarik perhatian pria itu agar memandangnya.
"Biarkan Elena tetap bekerja. Kita tidak bisa mengekangnya." Sekali lagi, Elise mengusap lengan Brian, menenangi pria itu. Brian menarik napas dan menghembuskannya panjang.
"Baiklah. Kau boleh terus bekerja. Tapi aku tak mau sesuatuq yang buruk menimpa baby. Kau mengerti?" Elena hanya mengangguk.
....
Sudah hampir seminggu Elena tinggal di Mansion Brian. Pagi ini Elena terbangun dengan perut yang bergejolak. Dia berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan semua yang ada di perutnya. Namun tak ada apapun yang keluar. Hanya cairan asam. Elena menopang tubuhnya di sisi wastafel.
Setelah beberapa menit perutnya sudah lebih baik. Dan Elena tak ingin muntah lagi. Dia menatap wajahnya di cermin. Sepertinya mulai sekarang Elena harus kuat menghadapi morning sickness-nya. Elena tersenyum. Sebenarnya dia masih tak percaya bahwa kini dia tengah hamil. Dan morning sickness yang baru saja dia alami membuat Elena yakin.
Setelah selesai mandi dan rapi. Elena turun ke bawah untuk sarapan. Di meja makan sudah ada Elise dan Brian yang tengah memakan sarapan mereka. Pagi ini Bi Yanti yang membuat sarapan, nasi goreng.
Elena duduk di kursinya. Dan menatap nasi goreng yang tersaji di hadapannya. Nasi goreng itu terlihat menggiurkan namun saat wangi nasi goreng itu tercium, seketika perut Elena bergejolak. Dia menutup mulutnya dan dengan cepat bangkit berlari menuju kamar mandi.
Elise dan Brian saling pandang setelah Elena pergi. Lalu sedetik kemudian mereka bangkit dan menyusul Elena. Mereka melihat Elena yang tengah muntah di washtafel. Suaranya benar-benar membuat orang lain meringis. Pasti sangat menyakitkan. Elise memijat tengkuk Elena. Mencoba membantu Elena agar lebih baik. Setelah tiga menit berlalu, gejolak di perut Elena mereda. Dia membasuh bibirnya dan mengangkat wajahnya. Wajah Elena putih pucat dengan airmata di sudut matanya. Wanita itu tersiksa dengan aksi yang berusaja dia alami.
"Ada apa?" tanya Brian khawatir.
"Perutku mual mencium aroma nasi goreng itu."
"Sepertinya efek kehamilanmu mulai muncul. Ibu hamil memiliki indra penciuman yang sensitif. Apa kau juga mengalami morning sickness?"
"Ya. Tadi pagi aku mengalaminya." suara Elena pelan. Tubuhnya berpegangan dengan Elise.
"Lebih baik kau beristrahat saja."
Saat Elena ingin menentang ucapan Brian, pria itu sudah menyelanya, "Istirahat Elena."
"Sudah, kau istrahat saja. Aku akan berbicara dengan bossmu agar kau bisa izin tak bekerja hari ini." Elena mengangguk pasrah.
"Lebih baik kau kembali ke kemar dan beristirahat." Elise menuntun Elena untuk kembali ke kamar. Brian hanya menatap punggung dua wanita itu dengan pandangan khawatir.
Elise membantu Elena berbaring di ranjangnya. Tak lama kemudian Brian masuk dengan segelas susu di tangannya. Susu ibu hamil milik Elena.
"Ini! Minum dulu susumu." Brian menyodorkan susu itu ke arah Elena.
"Nanti saja," jawab Elena pelan.
"Minum selagi hangat agar perutmu juga lebih baik."
"Benar Elena. Ayo minum susumu." Elise yang duduk di pinggir ranjang Elena membantu wanita itu bangun. Elena dengan enggan meminum susunya hingga habis. Setelah itu Elena kembali berbaring.
"Istirahatlah," ucap Elise. Lalu Brian dan Elise keluar dari kamar. Membiarkan Elena beristirahat.
....
Brian tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia selalu teringat wajah pucat Elena. Dia khawatir. Tak sanggup menahan kegelisahan hatinya. Brian menghubungi telpon rumahnya. Tak beberapa lama panggilannya diangkat Bi Yanti.
"Bi, bagaimana keadaan Elena?" tanya Brian langsung saat panggilannya diangkat.
"Nona Elena masih beristirahat di kamarnya."
"Apa dia sudah makan?"
"Tidak tuan. Nona Elena tak ingin makan. Bahkan saat bibi membawakan makanan ke kamarnya. Nona Elena langsung muntah-muntah hebat dan mengusir Bibi."
"Terus paksa Elena makan ya, Bi."
"Iya, tuan."
Setelah mematikan panggilannya Brian menghembuskan napas lelah. Dia malah semakin mengkhawatirkan keadaan Elena.
Untung saja sebentar lagi jam pulang kantor. Brian bergegas merapihkan barangnya dan bersiap pulang. Dia akan pulang lebih awal hari ini. Lagipula tak akan ada yang memarahinya jika dia pulang lebih dulu, karena perusahaan itu miliknya.
....
Brian kini sudah sampai di Mansion. Saat melewati ruang tengah dia melihat Elise yang menuruni anak tangga sambil membawa nampan. Brian bergegas menghampiri Elise. Matanya menatap makanan yang ada di dalam nampan itu.
"Apa Elena tak memakannya?"
"Dia makan tapi hanya sedikit." Brian menghembuskan napasnya. Setidaknya Elena sudah makan walau hanya sedikit. Setelah itu Elise pergi menuju dapur dan Brian masuk ke dalam kamarnya.
....
Kini keadaan Elena sudah lebih baik. Dia masih sering mengalami morning sickness tapi dia mencoba memaksakan diri untuk makan. Dan Elena selalu saja mual jika mencium aroma bawang putih. Ugh, Elena benci itu. Dan entah mengapa Elena selalu senang jika berada dekat dengan Brian. Wangi pria itu membuat perutnya yang tadinya bergejolak berhenti dan menjadi lebih baik.
Elena sudah kembali bekerja sejak beberapa hari yang lalu. Untungnya Cafe tempatnya bekerja hanya memasak kue dan minuman ringan. Jadi Elena tak bersibaku dengan aroma bawang putih yang selalu sukses membuat perutnya mual.
Hari ini Elena mendapat jatah libur kerjanya. Wanita itu kini tengah duduk di ruang keluarga, menonton tv dan memakan buah apel. Elise sedang pergi dengan Bi Yanti ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan. Sedangkan Brian sedang bekerja. Dan hanya Elena yang tinggal di mansion itu sendiri.
Tiba-tiba suara bell terdengar. Elena mengerutkan keningnya bingung. Selama dua minggu dia tinggal di mansion ini, belum ada sekalipun tamu berkunjung. Ini pertama kalinya. Apa Elena harus membukakan pintu?
Bell kembali berbunyi. Berulang kali hingga mengusik pendengaran Elena. Sepertinya sang tamu sudah tak sabar lagi. Elena bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Tangannya terulur membuka kunci pintu. Dan menarik napasnya sebelum membuka pintu itu lebar.
Elena mematung dengan mengamati sosok yang ada di hadapannya. Keningnya mengerut dalam, tak mengenali sosok itu.
"Mengapa kau lama sekali membuka pintu, Elise?" ucap sosok asing itu. Wanita yang di hadapan Elena mendengus kesal.
Elise? Kening Elena mengerut saat wanita cantik yang ada di hadapannya memanggil namanya Elise. Berarti wanita itu mengenal Elise. Tapi siapa dia? Elena tak mungkin menanyakan hal itu. Tak ada yang tau tentang dirinya selain Brian, Elise dan pekerja yang bekerja di mansion ini.