Chereads / Diego & Irene / Chapter 54 - Chapter 54 : Pernikahan?

Chapter 54 - Chapter 54 : Pernikahan?

At ALVAROS Mansion. Berlin--Germany. 08:30 AM.

"Ku mohon jangan lakukan ini, Jackson... Hiks... Ku mohon jangan.... hiks... sakiitthh, Jackson... lepaskan rambutku... jangan tarik aku.... hiks... jangan mendekat! Jangan!!!"

Kedua mata coklat Bae Irene langsung terbuka. Wanita cantik dengan rambut hitam itu juga langsung bangun di atas ranjang kamarnya dengan jantung yang masih memompa. Mata Irene memerah, dia ternyata menangis--terbukti dari air mata yang tumpah sampai membasahi pipi. Astaga.... tadi itu Mimpi buruk. Lebih tepatnya kenangan yang tidak ingin Irene ingat lagi. Buru-buru Irene menghapusnya air matanya.

Irene mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Tidak ada Diego. Tidak, Irene.... Kau tidak boleh sedih. Seharusnya kau mengerti. Mungkin Diego sedang sibuk dengan urusan di luar sana, atau lelaki itu sedang pergi entah kemana. Tapi kenyataan ini membuat Irene bertanya-tanya. Kemana Diego? Tumben sekali lelaki itu tidak tidur bersamanya. Biasanya... ketika Irene bangun dia tidak merasa selega ini--pasti selalu ada lengan kekar yang memeluknya, menghangatkannya, menyentuhnya seakan ia adalah sesuatu yang begitu Diego dambakan.

Hell... memikirkan Diego saja sudah membuat jantung Irene makin menggila. Apalagi ketika bertemu langsung dengannya?

"Irene... kau harus lupakan Jackson Samuel! Lupakan! Dia bukan sesuatu yang harus kau takutkan! Dia sudah mati!" gumam Irene guna menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah itu Irene lebih memilih untuk mandi. Setelahnya dia harus menggunakan baju senyaman mungkin. Tentu saja karena babies. Hari ke hari perutnya bertambah besar. Hal itu menandakan bahwa baby twinsnya tumbuh dengan baik. Rasanya senang sekali tiap kali Irene membayangkan mereka. Irene ingin sekali memeluk mereka, menggendong mereka, merawat mereka hingga akhir hayatnya.

"Irene...." suara berat Diego terdengar begitu Irene baru saja duduk di meja riasnya.

Irene menoleh, menatap sosok laki-laki yang berdiri di depan pintu. Tersenyum. Diego terlihat tampan dengan pakaian kasualnya. Tidak terlalu formal, tapi cukup mewah. Rambut lelaki itu sudah hitam berkilat. Sepatu dan dasi kupu-kupu Diego juga sepertinya baru. Well... lelaki ini mau kemana sampai berpakaian serapih ini?

Irene mengangkat sebelah alisnya. "Diego?"

Diego menyeriangi, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berjalan ke arahnya dan berhenti tepat di belakang tubuhnya. Mata biru Diego memindai setiap detail tubuh Irene lewat cermin. Kedua tangan Diego menarik bahu Irene, membuatnya berdiri. Irene langsung berbalik, matanya menatap Diego penuh tanda tanya.

"Kau mau kemana? Tiba-tiba datang sepagi ini dengan pakaian serapih itu. Lalu semalam kau kemana? Kenapa kau tidak tidur dengan-" ucapan Irene terpotong. Diego tiba-tiba meraih tengkuk Irene, lalu mengecup bibirnya. Irene membelalakkan mata--terkejut. Kali ini Diego melumat bibirnya.

"Pertanyaanmu banyak sekali." dengus Diego begitu ciuman mereka terlepas.

Bibir Irene mengerucut, menatap Diego sebal. "Kau ini menyebalkan! Oke! Kalau begitu aku tidak akan bertanya lagi padamu. Terserah kau mau pergi kemanapun dan selama apapun. Pergilah sepuasmu! Aku tidak peduli!"

"Kau merajuk?"

"Menurutmu apa?!" Irene memilih membuang pandangan. Tidak lucu. Dia menunggu Diego semalaman, dan lelaki ini? Tiba-tiba datang dan langsung menciumnya. Geez, dasar menyebalkan! Irene berbalik, hendak bergerak menjauhi Diego.

"Irene." Diego menahan pinggangnya. Tangan Diego merangkul tubuh Irene, memeluknya erat. "Jangan marah,"

"Diego...." lirih Irene serak, meminta dilepaskan.

"Acara pernikahan kita." bisik Diego, tepat di telinganya. Irene menahan napas, jantungnya berdebar mendengar kalimat Diego.

"Maksudmu?" Irene tidak yakin, apa dia salah dengar?

Diego menghapus jarak di antara mereka. Menarik pinggang Irene lebih dekat, merapatkan tubuh mereka. Bibir Diego mendarat di leher Irene, menciumnya--memberikan gigitan kecil disana.

"Diego...." erang Irene, berusaha mendorong Diego. Tidak bisa. Diego menahannya.

"Your neck makes me want to eat you. You know? I'm addicted." bisik Diego. Dia menjauhkan wajahnya, menatap Irene. "I miss you so much. So painful." Diego kembali bergerak. Bibirnya bergelirya, mencumbu lubang telinganya. Irene melenguh. Jemari Diego sibuk melepaskan kimononya.

"Di-diego....." erang Irene pelan. Ingin menyudahi ini. God! Dia butuh penjelasan Diego.

"Hm?"

"Maksudmu... acara pernikahan kita?" Irene mendorong dada Diego. Kali ini berhasil. Wajah mereka berhadapan. Diego memeluknya tidak seerat tadi, tapi dia tidak bisa lepas.

"Benar," Diego tersenyum, lalu mencium kening Irene lama. "Siang dan malam aku selalu memikirkan pernikahan kita. Aku ingin segera mengubah statusmu menjadi nyonya Alvaro. Kau satu-satunya wanita yang ingin aku nikahi. Aku ingin kita hidup bersama. Selamanya. Bersama babies. Tidak lama lagi... kau benar-benar akan menjadi milikku. Aku mencintaimu. Sangat." jelas Diego tegas.

Hati Irene menghangat. Dia ingin menangis haru, tapi dia berusaha untuk tersenyum. Diego tidak suka jika dia menangis. Irene tersenyum. Diego memang lelaki tampan yang penuh kerumitan, menyebalkan, kacau, kadang pemaksa--tapi dia selalu mampu membuat Irene jatuh cinta setiap hari. "Aku sangat senang, Diego...."

Diego menarik diri, mengangkat satu alisnya. "Kau tidak minta ingin di temukan dengan orang tuamu dulu?"

Mata Irene menyipit. "Huh?"

"Keluargamu di Indonesia. Ibumu dan adikmu. Kau tidak ingin bertemu dengan mereka dulu?" tanya Diego sembari melepaskan pelukannya, kemudian menghelanya duduk di atas kursi meja riasnya.

Irene menarik napas panjang. "Aku tidak tau. Kepergianku sudah lama sekali. Mereka pasti mengira aku menghilang. Aku... aku tidak tau apa yang harus aku katakan pada mereka. Apa mereka mencariku? Apa mereka merindukan aku? Aku tidak tau."

"Kalau begitu besok kita ke Indonesia." ucap Diego cepat.

Irene menatap mata Diego lewat cermin, mencari keyakinan. "Kau serius?"

"Tentu saja. Kita langsung bertemu dengan mereka. Dan aku akan meminta restu pada ibumu kalau aku ingin menikahi putrinya yang cantik ini."

Lagi. Jantung Irene berpacu, wajahnya merona begitu mendengar kalimat Diego. Lelaki ini selalu bisa membuatnya berdebar.

"Tapi sebelum itu aku mau kau menemaniku malam ini." ucap Diego, tangannya mengelus bahu Irene.

"Kemana?"

"Rekan bisnisku merayakan pesta hari ulang tahun pernikahannya. Dia mengundangku. Aku tidak mau pergi sendirian. Kau harus menemaniku." ucap Diego tak terbantahkan.

Irene tersenyum, pandangannya menghangat melihat binar di mata Diego. Lelaki ini benar-benar tidak bisa di tolak. "Baiklah. Kalau begitu aku mau siap-siap. Kau tunggu saja di luar." katanya, lalu berdiri. Berbalik. Mengecup bibir Diego. "Sebagai nyonya Alvaro aku harus tampil berbeda. Bukankah begitu?" tanya Irene.

Mata biru Diego berkilat, menyeriangi. "Kau Mrs. Alvaro. Berdandanlah yang cantik, sweetheart." ucap Diego.

"Diego...." Irene ingin berias, tapi tapi ujung lidah Diego sudah kembali menyentuh bibirnya, menggoda dengan ciuman tertahan. "I miss you. So badly." gumam Diego sembari menarik tengkuknya, memperdalam ciuman mereka.

I miss you... Lagi-lagi kalimat ini yang keluar dari mulut Diego.

"Diego..." Irene melenguh, Diego berhasil melucutinya.

Damn! Irene tidak bisa berkutik. Sama seperti Diego, lelaki ini adalah kelemahannya. Pelukan Diego mengencang, sementara bibirnya bergerak bebas. Beradu. Tahu bagaimana mereka saling mengisi, menghantarkan Irene ke dalam pusaran gairah. Ciuman ini membuat kaki-kaki Irene lemas. Lelaki ini... benar-benar merindukannya.

•••

Malam harinya...

"Nona Irene!"

Irene menoleh ke arah suara Luna, maid muda itu langsung melepaskan celemek dan sapunya. Mata Luna melebar ketika melihat Irene yang baru keluar dari elevator mansion bersama beberapa pelayan yang memegangi gaunnya.

Irene sangat cantik. Dia terlihat seperti Princess. Rambut hitamnya di gerai cantik. Bagian bawah gaun sutranya menggeser lantai dengan indah, sedangkan bagian atas gaunnya dengan puluhan batu kristal menghiasi lekukan payudaranya yang sedikit terbuka. Gaunnya nyaman. Tidak sempit, pas untuk perutnya. Pilihan Diego memang selalu cocok dengannya.

"Nona... bolehkah aku memelukmu?" tanya Luna, matanya berbinar penuh harap.

Irene langsung tersenyum, mengangguk. "Tentu saja. Kau kan temanku." ucap Irene, lalu merentangkan tangan.

Luna sangat senang. Dia memeluk Irene erat-erat. "Astaga, nona! Kau cantik sekali!"

"Terimakasih. Kau juga cantik," kekeh Irene sembari membalas pelukan Luna.

Mereka mirip sekali seperti ratu dan pelayan. Pelayan yang dengan berani memeluk tuannya. Hal itulah yang di pikirkan oleh maid-maid yang berdiri di dekat Irene--tangan mereka masih memegangi bagian bawah gaunnya.

"Luna... kau jangan lancang. Dia itu tuanmu." bisik Margareth tepat di telinga Luna. Maid tua itu menatap Luna dengan tajam.

Irene melangkah mundur setelah melepas pelukan Luna. "Bibi Margareth. Tidak apa." ucap Irene, tersenyum ketika menatap maid tua itu. Dia menyentuh bahu Luna, mengelusnya. "Luna sudah aku anggap sebagai temanku. Tidak peduli dia siapa. Aku akan tetap berteman dengannya." ucap Irene.

"Aku benar 'kan, Luna?" tanya Irene, masih dengan senyumannya.

Luna memainkan jemarinya, tampak takut. Apalagi Margareth dan pelayan yang lain tengah menatapnya setajam itu. "A-aku..."

"Kau tidak boleh takut. Aku ini temanmu." ucap Irene, berusaha mengambil keyakinan dalam diri Luna. Tapi gadis itu hanya diam saja.

"I-iya, nona." Luna mengangguk perlahan. Irene tersenyum lebar, lalu memeluk Luna lagi.

Margareth dan para pelayan yang mendengarnya tidak percaya. Seriously? Seorang Ratu mau berteman dengan pelayan? Membayangkannya saja pasti tidak mungkin. Tapi kali ini memang benar-benar ada. Astaga... Irene memang berbeda. Wanita itu tidak memandang status. Bahkan dia menghormati maid yang lebih tua darinya. Itulah Irene. Sifatnya yang seperti ini membuat mereka takjub.

Suasana tegang tadi segera hilang dengan tawa Luna. Gadis itu memang pencair suasana. "Oh Jesus! Lihat dirimu, nona! Kau sangat mahal! Gaunmu... perhiasanmu!" Mata Luna makin melebar. Terkesiap. Begitu pandangannya tertuju pada leher Irene. "Bukankah itu berlian Cullinan?! Sekarang berlian termahal ketiga di dunia ada pada nona? Gila! Terakhir aku dengar di televisi harganya sekitar US$400 juta! Nona benar-benar nyonya Alvaro!"

[Author Note : US$400 juta = Rp. 5,6 Triliun. Kasian kalo sercing ke google wkwk😝]

"Tuan...." sapaan pelayan membuat Irene dan Luna menoleh. Diego tiba-tiba muncul dari dalam elevator mansion. Luna yang menyadari kedatangan tuannya buru-buru menundukkan kepala--sama seperti para maid yang lain.

Senyum Diego mengembang begitu matanya bertemu dengan Irene. "Dia memang Nonya Alvaro." belum sempat Irene menimpali, Diego lebih dulu menyahut, merangkul pinggang Irene posesif sembari menatap tajam ke arah Luna. "Dia calon istriku. Milikku."

Irene tertawa kecil, sementara Luna makin menundukkan kepalanya. Sadar dengan tatapan Diego yang tidak bersahabat.

"Pergilah!" perintah Diego pada mereka. Semua maid pun pergi, termasuk Luna.

"Hei, kenapa kau berganti pakaian? Wait... kau juga memakai baju pink? Astaga! Kau mengikutiku, Diego!" kekeh Irene sembari menatap Diego dari ujung kepala hingga kaki.

"Aku tidak mengikutimu. Pakaian kita memang di rancang khusus, jadinya seperti ini. Well... kenapa kau bertanya seperti tadi? Tidak suka?" tanya Diego penuh selidik, matanya memicing.

Irene menelan ludah. "No.... Aku hanya terharu saja. Tenanglah. Tidak usah menatapku seperti itu."

Diego tidak berkomentar. Pandangannya jadi kaku, ia juga sedikit mengendus sebelum mengecup kening Irene. Di saat yang sama Christian memasuki ruang tengah sembari membawa meja dorong yang berisi gelas air putih, beberapa obat dan kue.

"Diego... ini?" Irene menatap obat itu.

"Vitaminmu."

"Tapi aku tidak sakit." Irene mundur selangkah, menjauhi Diego.

Diego menggeleng, menatap Irene tajam, sementara tangannya mencekal lengan Irene. "Kita akan lama disana dan kandunganmu masih lemah. Minum ini dulu, aku tidak mau tahu." tegas Diego, melirik gelas air dan obat yang dibawakan Christian.

Melihat obat itu membuat perut Irene mual. "Tidak mau! Pahit!"

"Irene...." geram Diego.

Irene mengerang. "Diego!"

"Minum!"

Irene menggeleng, membuang wajah. Namun tiba-tiba Diego menarik tubuh Irene dan menciumnya. Irene terbelalak. Ini bukan hanya ciuman, Diego juga memaksakan Irene menelan vitamin dan air lewat ciuman mereka.

Irene memberontak, memukul dada Diego kesal. Diego malah lanjut melumat bibirnya. Dalam. Memabukkan. Irene tidak kuasa, kakinya mendadak lemas. Dia mengerang sembari mengalungkan lengannya di leher Diego--membiarkan Diego makin menguasainya. Sementara Christian yang masih berdiri di sebelah mereka makin menunduk--berjalan mundur perlahan.

To be continued.

Bersambung ke Chapter selanjutnya!

Diego & Irene | Chapter 55 : The Party

Untuk Chapter dengan judul Identitas Irene[2] habis itu yaaa! Menyusul!😉