Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 2 - Prabu Kertapati

Chapter 2 - Prabu Kertapati

Malam harinya, Laksama D'Almeida menghadap Prabu Surawisesa yang sedang disertai patihnya di kamar tamu kerajaan secara pribadi, "Laksamana, gerangan apakah yang hendak anda sampaikan pada malam hari begini?" tanya Prabu Surawisesa.

"Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah Gusti Prabu melihat ada keanehan pada Prabu Kertapati dan seluruh pasukan Mega Mendung seperti berperang dengan setengah hati?" ujar Laksamana Portugis tersebut.

Prabu Surawisesa berpikir sejenak "Ya… ya… Aku menyadarinya, seluruh pasukan Mega Mendung seperti diulur ke depan lalu ditarik ke belakang". Dia lalu melirik pada Patihnya "Bagaimana menurutmu, Ki Patih?".

Ki Patih menjura hormat terlebih dahulu sebelum menjawab "Ampun Gusti Prabu, hamba sendiri sudah menaruh curiga sejak lama pada Prabu Kertapati, maka hamba mengambil suatu tidakan tanpa sepengetahuan Gusti prabu, mohon ampun kalau hamba lancang Gusti".

Prabu Surawisesa menatap Ki Patih dengan tegang, "Katakan saja, Ki Patih!".

"Ampun Gusti Prabu, hamba telah mengutus seorang mata-mata untuk memata-matai Prabu Kertapati, dan memang beliau mempunyai maksud untuk memberontak pada Gusti Prabu, ada pun rencananya adalah mencari celah untuk membokong Pasukan Padjadjaran juga pasukan Islam saat perang tadi, namun untunglah mereka tidak berhasil mendapat celah tersebut" jelas Ki Patih.

"Biadab!" maki Prabu Surawisesa, dia lalu kembali menatap wajah Ki Patih yang telah sepuh itu. "Lalu menurut Ki Patih kita harus bagaimana? Saat ini di antara negeri-negeri bawahan kita yang masih mendukung kita hanya Mega Mendung, Kertapati juga adalah adikku sendiri, kami sama-sama putra mendiang Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja… Dan yang terpenting kita masih membutuhkan dukungan kekuatan Mega Mendung!".

Tanpa berpikir panjang Ki Patih langsung menjawab, "Ampun beribu ampun Gusti Prabu, bagi hamba akan lebih berbahaya apabila pembakangan Mega Mendung kita biarkan dalam situasi sekarang ini, lagipula mereka hanya berpura-pura mendukung kita… Dan yang paling berbahaya adalah mereka dapat membokong kita di setiap saat yang tak terduga! Bukankah begitu Laksmana?" sambung Ki Patih sambil meminta pendapat Laksamana D'Almeida.

"Benar Gusti Prabu, Gusti Prabu tidak perlu khawatir, seluruh kekuatan kerajaan Portugis akan mendukung Padjadjaran! Dan soal Mega Mendung, sebaiknya kita padamkan penghianatan mereka saat ini juga mumpung mereka masih setitik api kecil!".

Prabu Surawisesa mengangguk-ngangguk setuju, maka menggelegarlah titahnya "Malam ini juga serbu perkemahan pasukan Mega Mendung! Dan besok, kita ratakan dengan tanah Negeri Mega Mendung di Kaki Gunung Gede itu!" maka Ki Patih dan Laksamana D'Almeida pun pamit untuk mengatur serangan terhadap Mega Mendung.

***

Lewat tengah malam. Di area perkemahan Pasukan Mega Mendung yang terletak di batas Kutaraja Padjadjaran, Prabu Kertapati masih saja berdiri mematung di luar kemahnya. Mata Sang Prabu menatap kosong ke atas langit malam, yang hitam pekat gelap gulita. Suara dendang riang serangga-serangga juga hewan-hewan malam yang biasanya terhidang kini enggan bersuara, seakan mengerti betapa gundah gulananya hati sang penguasa Negeri Mega Mendung, suatu negeri kecil yang berada di kaki gunung Gede yang beribu kota di Rajamandala, tapi tersohor akan kesuburan dan keelokan alamnya.

Ki Patih Balangnipa, sang Mahapatih Mega Mendung datang menghadap dengan perasaan tidak enak kala menatap raut wajah gusti junjungannya itu, dia lalu menjura hormat, namun Prabu Kertapati tetap diam mematung dengan mulut terkunci rapat. Diatas kepala mereka bulan yang biasanya lembut bersinar putih tertutup awan hitam, begitu pula bintang gemintang yang biasanya bercahaya berkerlap-kerlip diatas hamparan beludru biru kehitaman yang maha luas tak memancarkan cahayanya sedikitpun, raib ditelan gelapnya awan seolah ikut menggalau bersama sang prabu yang masih muda tersebut. Ki Patih Balangnipa pun ikut terdiam, dengan kepala tertunduk, matanya lekat-lekat memandang bumi yang ia duduki.

Beberapa saat kemudian terdengarlah desahan nafas berat dari Prabu Kertapati, Ki Balangnipa pun mengangkat kepalanya dan sekali lagi ia menghanturkan hormatnya, dengan pandangan lesu, Prabu Kertapati menatap patihnya yang sangat setia itu "Kakang Patih… engkau tentu sudah tahu maksudku memanggilmu kemari".

"Ampun Gusti Prabu, maafkan kalau hamba salah… Tapi kalau yang dimaksud oleh Gusti tentang rencana kita dalam peperangan tadi siang, hamba nyakseni," jawab Patih dengan suara pelan dan segan.

"Kamu benar Kakang Patih, sungguh aku tidak mengira dengan kelihaian para pasukan Portugis itu, karena mereka ditempatkan di tempat-tempat yang tinggi di dekat garis belakang mereka dapat dengan leluasa melihat gerak-gerik kita," ucap Prabu Kertapati yang nampak jelas kemasygulan hatinya.

"Ampun Gusti Prabu, hamba dapat merasakan kegelisahan Gusti, namun dengan hormat saya meminta agar Gusti tidak terlalu khawatir, menurut hamba sekalipun pihak Padjadjaran mengetahui maksud kita yang berperang dengan setengah hati, dalam waktu dekat ini mereka tidak akan mengambil tindakan apa-apa sebab saat ini hanya Mega Mendunglah negeri bawahan mereka di tanah Pasundan ini yang masih mendukung mereka setelah Galuh, Talaga, dan Parakan Muncang habis disapu oleh para Prajurit Islam, sedangkan Sumedanglarang dan Sancang telah menerima Islam dan memilih untuk bersikap tidak memihak," jelas Patih.

Prabu Kertapati berpikir sejenak, ia sangat setuju dengan pendapat Patihnya itu, namun hatinya masih saja gundah gulana, apalagi kalau diingatnya bahwa orang-orang Portugis yang kini berada disekitar keluarga keraton Padjadjaran sangat pandai, ia pun kembali menghela nafas berat

"Kamu benar Kakang Patih, namun hati saya masih tetap tidak tenang…." Prabu Kertapati menghentikan ucapannya sejenak, ia menatap ke perkemahan para pasukannya, Ki Patih terdiam menunggu Sang Prabu melanjutkan "Kakang Patih, hati saya benar-benar tidak enak! Sangat gelisah hingga membuatku ingin terus berjaga dan pulang saat ini juga ke Rajamandala, biasanya perasaan-perasaan seperti ini adalah suatu firasat buruk! Maka dari itu, Kakang Patih, aku perintahkan untuk memperketat penjagaan, dan persiapkan seluruh pasukan, kita akan langsung pulang begitu matahari terbit!"

Sang Patih pun yang paham akan kegelisahan rajanya segera menjura hormat "Daulat Gusti!", dia beringsut meninggalkan Prabu Kertapati yang masih terdiam menatap lurus kearah Keraton Padjadjaran.

Sementara itu, di hutan dekat perbatasan Kutaraja Pakuan, Pasukan Padjadjaran dan Portugis bergerak dengan cepat namun sangat hati-hati nyaris tanpa menimbulkan suara menuju ke arah perkemahan pasukan Mega Mendung. Dengan cerdiknya mereka bergerak memutar tidak melewati jalan utama dari Kutaraja yang langsung menuju ke bumi perkemahan Mega Mendung di sebelah selatan, melainkan keluar melewati hutan di sebelah barat kutaraja dan bergerak menuju ke selatan tempat pasukan Mega Mendung berkemah.