Hari itu cerah. Aku berusia hampir 6 tahun dan sedang berada di sekolahku. Sebuah 'Sekolah Dasar Negeri' di daerah lokalku. Lebih tepatnya, 'Sekolah Dasar 002 Bukit Bestari'. Aku lahir di suatu tempat terpencil dari kota-kota besar ataupun daerah-daerah provinsi di Negara Indonesia ini. Di suatu pulau, yang cukup dekat dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia, Bintan namanya, dengan kota yang bernama, Tanjungpinang. Pulau Bintan ini dan sekitarnya, saat itu, masih menjadi bagian dari Provinsi Riau yang ber-ibukota-kan Pekanbaru. Secara geografis, letaknyapun cukup jauh dari daratan utama Riau itu sendiri.
Aku, Dandian. Seorang anak laki-laki. Berperawakan putih, rambut hitam tipis yang sedikit kepirangan dan lurus yang sedikit bergelombang. Wajahku sedikit ke 'oriental'-an dari Ayahku, seorang etnis tionghoa, yang menjadi seorang mualaf saat beliau bertemu dengan ibuku. Ya, aku juga berkulitkan putih kekuningan seperti para turunan tionghoa pada umumnya. Wajahku polos, mukaku bisa dikatakan cukup imut dan ganteng pada umurnya. Badanku tak gemuk, kurus, namun tak terlalu kurus.
Aku seorang anak yang mengidolakan ayahnya. Sementara sang ayahku yang mualaf ini, berprofesikan sebagai seorang insinyur sebuah kapal 'tanker' yang mentransportasikan hasil bumi secara ekspor ke negara-negara luar melewati lautan lepas, dan bernama Sarim. Beliau berumur di akhir 40-an, saat itu. Sementara mamaku, berusia 25 tahun hampir menjelang umur 26. Ya, umur ayahku jauh di atas ibuku. Ibuku adalah istri kedua beliau. Mereka menikah saat Ayahku telah menduda tanpa memiliki keturunan dari almarhumah istri pertamanya. Ibuku, Hasni namanya, seorang anak perempuan tertua dari 4 adik beradik di keluarganya. Sementara itu, aku, tak terlalu tahu banyak tentang keluarga dari sebelah ayahku. Karena pada umumnya, mereka semua membenci ibuku, yang mampu membuat ayahku memilih menjadi mualaf, dan seorang etnis dari luar tionghoa. Ibuku seorang etnis lokal di Bintan ini, Melayu. Berperawakan kecil pendek, dengan tinggi yang tak sampai 160cm. Kecantikan beliau terletak pada mukanya yang mulus terawat, porsi tubuh kecil yang terawat juga dan menawan, serta rambutnya yang panjang dan bergelombang. Seperti pada umumnya, rasisme pada saat ini begitu tinggi. Hingga mamaku memilih untuk hanya mengurusi rumah dan aku, selama ayahku berada di lautan sana mengais rezeki untuk kami.
Ya. Dari hal-hal ini, kita bisa mengatakan bahwa aku ber-etnis campuran. Melayu-tionghoa dan beragama Muslim. Aku bukan anak yang banyak berbicara pada orang lain, seorang pendiam. Bukan aku seorang pemalu, hanya saja aku lebih suka memperhatikan orang lain. Lagipula, meskipun otak ku sudah mampu memproses banyak hal pada saat itu, aku memilih hanya diam dan memperhatikan orang lain. Toh, jikapun aku bersuara, 'Ah, anak kecil tahu apa?', adalah hal umum yang sering kudengar di sekitarku. Jadi, lebih tenang bagiku jika aku memperhatikan saja, bukan?
Karna parasku yang campuran, pemahamanku dalam pelajaran yang cukup pesat, dan karakterku yang tidak banyak bicara yang mereka menganggap aku ini sebagai anak yang cukup penurut, kebanyakan dari guru-guru menyukaiku. Dan akupun mungkin saat itu hanya memanfaatkan situasi dimana aku bisa mendapatkan jajanan gratis dan sejenisnya jika aku menuruti ataupun mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang bersifat akademis di usia dan kelasku saat itu, di bangku kelas 1 SD.
Kembali dan lagi, hari itu cerah dan sedang berada di waktu istirahat. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku di kelas, bermalas-malasan. Jikapun aku ke kantin, aku membeli apa yang aku inginkan, lalu kembali ke kelas untuk menikmati apa yang kubeli di dalam kelas. Jarang aku ke kantin. Karena ibuku selalu menyiapkan bekal untuk ku bawa ke sekolah setiap harinya. Aku tak terlalu berbaur dengan anak-anak lainnya. Bukan karena aku tak pandai berbaur, tak suka bergaul dan semacamnya. Hanya saja, bagiku, apa yang kumiliki saat ini sudah lebih daripada cukup. Aku memiliki Ibuku dirumah. Adik-adik perempuan dari ibuku juga berada dirumahku. Aku lebih sering bermain dengan mereka, dan belajar juga bersama mereka. Aku sangat menikmati masa-masa dimana aku bersama mereka dirumah daripada diluar.
Andika, nama seorang anak sekelasku. Orangtuanya bekerja sebagai pegawai sipil. Mereka bukan warga lokal yang berdomisili di daerahku, melainkan, mereka disini dikarenakan tugas orangtuanya untuk bekerja disini. Anak ini berparas sepertiku, lebih kecil dan sedikit lebih kurus dariku. Berperawakan campuran tionghoa, dan berkulitkan putih kekuningan. Di hari itu, ia juga berada dikelas saat jam istirahat terjadi, dan ia cukup berbaur dengan teman-teman sekelasku. Ia dan aku, berjarak 2 meja. Aku di bagian paling belakang, di baris ke-2 dari kiri, dari sekian 4 baris. Setiap baris ada 5 meja panjang dan 2 kursi. Maka, ia berada di tengah-tengah baris ke-2 dari kanan. Berposisikan duduknya di kiri, sementara aku di kanan. Kami menikmati bekal masing-masing di tempat duduk masing-masing. Aku sendiri, sementara ia di temani 4 orang temannya dari anak laki-laki sekelasku. Seusai makan, aku hanya merapikan tempat bekalku, dan meletaknya kembali kedalam tasku.
Entah apa yang mereka bicarakan saat itu disana. Aku tak terlalu memperdulikan dan memperhatikannya juga. Namun, ia datang menghampiriku dari kursinya. Nampak di belakangnya, anak-anak lainnya itu tersenyum-senyum dengan mencurigakan. Segera, tak lama setelahnya, ia sampai di samping mejaku.
"Eh, kau siapa?", Andika bertanya dengan nada yang sedikit mengejek.
"Hmm?", Aku bergumam sambil menongakkan kepalaku sedikit ke atas demi melihat wajah si penanya, Andika. "Memangnya, kenapa?", aku bertanya kembali padanya tanpa menjawab pertanyaannya.
"Heh, kalau ditanya tuh, jawab dulu!", dia memaksaku menjawab dengan nada yang sedikit meninggi dan wajah yang sedikit kesal.
Aku hanya melihat mukanya, dan matanya. Sedikit kesal aku diperlakulan seperti itu. Ditambah lagi, dari tempat duduknya disana, 3 orang anak lainnya semakin tersenyum senang dengan sikap yang cukup mengejek dan memprofokasi. Aku hanya menatapnya, menunjukkan aku tak senang dengan situasi saat ini yang mengganggu ketenangan yang biasanya aku miliki.
"Woi! Ditanya dengar ga?!", Andika semakin meninggikan suaranya. Aku tetap diam, hanya memperhatikannya. Bukan aku takut, tapi mencoba menahan kekesalan yang aku miliki. Sementara itu, aku hanya duduk sendiri di bangku ku. Teman sebelahku, seorang anak perempuan bernama Nur Cahya, sedang tidak di kelas.
"Eh, kau tuli ya?", Andika mendorong bahuku dari bangkuku dengan tangan kirinya.
"HAHAHA!", ketiga anak dibelakangnya, di bangku dekat dengan tempat duduknya, tertawa dengan sikap yang mengejek. Darahku mulai memanas saat menerima dorongannya. Aku hanya diam, masih, diam.
Andika mendorong bahuku lagi dengan tengannya. "Woi tuli, dengar ga?!", ia menyerukan dengan nada tinggi. Aku mulai kalap, dengan spontan aku berdiri dari bangkuku. Bangkuku terdorong dan jatuh kebelakang saat aku berdiri di karenakan dorongan dari betisku.
'DUAK!!', bunyi keras yang terdengar saat kursiku menghempas lantai kelas. Aku berdiri disana, sambil menundukkan kepalaku menahan amarah. Nampak sebuah penggaris kayu yang tipis milikku berada di meja.
"Kenapa? Ga senang kau?", Andika mendorong kedua bahuki dengan kedua tangannya. Aku masih diam tertunduk.
Andika yang melihatku tak merespon apapun merasa semakin tinggi. Ia menolehkan kepalanya ke arah mejaku, dimana aku meletakkan padanganku yang sedanh tertunduk. Ia melihat penggaris kayuku dan mengambilnya. Mataku mengikuti gerakannya.
Ia menganggat tinggi tangannya yang menggenggam penggarisku itu. Lalu mendaratkan penggaris tersebut ke kepalaku dengan tenaganya.
'CTAK!!!', Penggaris itu patah saat terpukul di kepalaku. Spontan, aku menarik kerah baju Andika dengan tangan kiriku sambil bergeser ketepi keluar dari area mejaku.
Tersontak kaget akan aksiku, mata Andika terbuka sedikit melebar, tawaan anak-anak dibelakangnya menjadi sunyi terdiam dan memperhatikan kami dengan seksama. Aku menarik tangan kananku, mengambil ancang2 untuk mendaratkan pukulan kekesalanku kemukanya. Ia menyadari aksiku, berusaha untuk mengangkat tangannya demi menghalang pukulanku dalam detik-detik tersebut namun percuma. Aku lebih siap daripada dia.
Ku layangkan pukulan dari tangan kananku, mendarat di bagian hidungnya. Kudorong ia kebelakang setelahnya, menarik kembali tinjuku dan menyiapkannya sejajar dengan kepalaku. Doronganku membuatnya terdorong kemeja di sebelah kanan dariku yang berada di belakangnya. Kursi-kursi dan meja yang terkait dengan meja yang terdorong tersebut ikut terdorong sepantasnya. Andika, sedikit terdongak kebelakang tertahan meja. Membuat posisiku semakin pas untuk melayangkan tinju berikutnya. Kedua tangannya menggenggam tangan kiriku berusaha melepaskannya, namun kalapku terlanjur di ubun-ubun, sehingga sia-sia saja ia mencoba. Dimana energi ku datang dari amarahku, tak mungkin badannya yang sedikit lebih kecil dariku mampu mengalahkan tenagaku dengan mudah.
Tinju kedua, ketiga, dan keempat terlayangkan kemuka Andika yang mulai terjatuh ke lantai karna dorongan dari badanku dan dia. Ia terjatuh ke lantai, aku menimpanya. Kuposisikan posisiku untuk menduduki perutnya yang terbaring secara cepat lalu kujambak rambutnya dengan tangan kiriku. Kulayangkan pukulan demi pukulan kemukanya dengan tangan kananku hingga darah mulai keluar dari bibir dan hidungnya. Mungkin ia berkata sesuatu, mungkin anak-anak di belakangnya juga, namun aku tak mendengar apapun, hening.
Setelah beberapa pukulan, tanpa tersadar, anak-anak di belakangnya itu menghampiri kami. 2 dari mereka mendorongku hingga aku terdorong kebelakang. Tak lama kemudia guru Olahraga, Pak Djailani, memasuki kelasku dan dengan sigap meleraikan kami. Aku masih tak mendengar suara apapun, amarahku masih terpusat pada Andika, berusaha meronta agar aku masih bs memukulinya. Hingga akhirnya aku di peluk dan di angkat Pak Djailani, dan di bawa ke Majelis guru.
aku terdiam saat aku berada di bahunya. Toh, apa yang bisa kulakukan melawan orang tua sebesar ini? Perhatianku teralihkan ke jalan yang seakan bergerak di bawahku, dengan kaki pak Djailani sedikit sedikit, sedekali terlihat. Aku mendiamkan diri di bahunya dengan perut tersangga disitu. Kurasa, ia juga merasakan aku berhenti meronta. Ia menarikku, memposisikan gendongannya terhadapku seperti anak kecil yang duduk di lengannya, dan menghadap kebelakang melalui bahunya. Ia mengelus pundakku, yang mungkin berusaha menenangkan emosiku. Secara perlahan, suara-suara kembali mulai terdengar. Aku memejamkan mataku, getaran akan langkahnya dan elusan di punggungku, membuatku semakin tenang dan tenanh mengembalikanku ke kesadaranku yang hilang itu.
Suara knop pintu terdengar, 'Ckrek', lalu derakan pintu yang pelan menyusul setelahnya. 'Kreeeek-Jdam!', sedikit bantingan saat pintu itu tertutup. Aku didudukkan ke tempat empuk, dan mulai kubuka mataku. Kusadari ruangan tersebut adalah UKS, aku berada di sisi kasur. Pak Djailani menyeret kursi di brlakangnya, memposisikan kursi itu tepat di depanku, dan lalu beliau duduk di depanku sambil menyilanglan tangannya. Dari posisi itu, ia tampak lebih rendah dariku.
"Nak Dian, kenapa nak? Kok berantem?", Pak Djailani bertanya.
Aku, selayaknya anak-anak seumuranku, terdiam. Menundukkan kepalaku, merasa bersalah sambil mengusap punggung tangan kananku dengan tangan kiriku yang mulai terasa sedikit perih.
"Nak, berantem itu ga baik.", beliau meletakkan tangan kanannya di lutut kiriku sambil menasehatiku dengan nada yang begitu tenang. "Apa yang kamu dapat dari memuaskan rasa amarahmu? Tuh lihat, sakit kan tangan kanannya?", beliau menasehatiku lau bertanya sambil menunjuk ke arah tangan kananku yg ku usap-usapi dengan tangan kiriku menggunakan jari telunjuk tangan kirinya.
Aku tertunduk terdiam, mataku mulai memanas, terpenuhkan dan terhalang air mata. Aku mengangguk dan mulai menangis tanpa suara.
Beliau berdiri, mengusap kepalaku dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri beliau menggenggam lengan kananku. "Hush, hush, udah. Jangan nangis.", beliau sembari berusaja menenangkan aku yang mulai tertangis.
"Sudah-sudah.", beliau menggenggam kedua lenganku dengan kedua tangannya. "Coba, cerita ke bapak. Kenapa sampai kelahi?", beliau bertanya.
Aku tertunduk diam, mengusap mata dan air mataku sambil sedikit terisak. Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban untuknya.
"Daaaah, jangan takut sama bapak. Bapak, ga marah. Coba cerita sama bapak, biar bapak bantu selesaikan.", Beliau mencoba memujukku untuk berbicara.
Aku tertunduk diam beberapa detik. Menenangkan diriku. Dan sebagai anak-anak, aku percaya pada kata-kata terakhir yang beliau ucapkan. Dan mulai, aku ceritakan kepadanya akan bagaimana ini semua terjadi secara perlahan, dan beliaupun menunggu serta merespon ceritaku dengan sabar dan tenang. Membuat ceritaku secara perlahan namun pasti, terkeluarkan semuanya.