Chereads / Dandian, 1992 / Chapter 3 - 3 Maret, 2010 - I,

Chapter 3 - 3 Maret, 2010 - I,

"Mas, udah sampe mas.", pak supir menegurku yang sedang sedikit tertidur di kursi belakang. Aku terbangun, kembali tersadar ke duniaku saat ini. Aku membayar argo taxi ku, sembari menarik sabuk tas sandangku dan lalu keluar tanpa sepatah katapun.

'JGREK!', suara pintu mobil taxi tersebut tertutup saat aku menutupkannya dengan lembut agar tidak di teriaki pak supir.

Hari itu hujan deras, aku langsung sedikit berlari ke arah gedung motel tempat aku menginap. Bercat-kan warna merah muda pada dinding luarnya. Sesampainya, aku langsung masuk seketika itu juga yang kemudian berhenti di atas keset kaki lebar di balik gerbang pintu masuk tersebut, bertuliskan [Welcome] diatasnya dan tampak seperti terbuat dari jerami. Aku mengelapkan tapak kakiku sedikit disana meskipun aku tau sepatuku tak kotor. Lebih seperti suatu kebiasaan yang melengket pada diriku. Kamarku terletak di Lantai 4, dengan nomor 3A-29.

Motel ini sangat simple dan relatif murah. Tampak sang gadis resepsionis melihat aku yang sedang mengelap sepatuku.

"Selamat datang, pak!", ujarnya, memberikan sapa kepadaku mengira aku pengunjung yang baru akan check in. Ia sedikit menganggukan badannya dengan pose kedua telapak tangannya saling di-temukan di depan dadanya.

Aku mengangguk dan lalu berjalan ke arah kananku tempat dimana tangga keatas berada. Aku sedikit berlari di tangga, sedikit berlompat melangkaui beberapa anak tangga agar sampai lebih cepat ke tangga 4. Di lantai 2, lurus kedepanku sebuah lorong berderetkan pintu-pintu kamar disebelah kiri. Begitu juga dengan sebelah kiriku. Di balik kiriku tangga naik ke atas. Aku langsung mengikuti tangga tersebut dengan sikap yang sama. Di lantai 3, bentuk posisi tangganya juga sama seperti lantai 2. Aku tetap sedikit berlarian, sedikit melompat di tangga demi melangkaui beberapa anak tangga sambil tangan kiriku menahan sabuk tas sandangku sebagai bentuk suatu kebiasaan.

Sesampainya di lantai 4, aku langsung berjalan lurus kedepan mengikuti lorong yang ada di depanku. 426, 427, 428, dan akhirnya ruangan 429 berposisikan di ujung lorong yang buntu. Sengaja aku pilih kamar tersebut karena berada di posisi tertinggi dan memiliki jendela dengan pemandangan gedung yang berada di belakang motel tersebut. Tinggi gedung tersebut hanya 2 tingkat. Jarak antara gedung motel ini dan gedung tersebut terpisah oleh gang kecil sempit yang cukup kotor penuh dengan beberapa sampah2 plastik, dan lain sebagainya yang umum ditemukan di negara Indonesia ini.

Di depan pintu kamarku, aku mengeluarkan kunci ku dan langsung membuka pintuku tanpa basa-basi. Aku mencabut kunciku saat pintu terbuka, masuk kedalam, dan menutup kembali pintu kamarku itu. Ku 'selip'-kan kartu yang bergantung pada kunci ke dalam 'slot' di samping 'switch' lampu kamarku.

'CKLEK!', listrikpun aktif mengaliri kamarku. Aku tak mematikan lampu saat aku keluar. Lampu di kamarku seketika aktif saat ku selipkan kartu motelku itu ke dalam 'slot' tersebut. Aku melemparkan tas ku ke atas tempat tidur. Ku lepaskan topi ku, yang berbahan anti air dan tak menyerap air itu dari kepalaku, lalu kemudian ku kibaskan sedikit sebelum ku taruhkan diatas meja lampu di samping tempat tidurku.

Aku membuka jaket 'levi's'-ku yang sedikit basah. Ku lemparkan jaketku ke sebelah kananku dimana kursi terletak, sederet dengan dinding pembatas kamar mandi kamar ini. Ku keluarkan kedua 'Beretta'-ku dari sabuk rombi senjataku yang terbuat dari kulit, dengan kedua tanganku secara menyilang sambil berjalan kearah TV yang di sangkutkan ke dinding sejajar dengan kepalaku, didepan tempat tidurku. Ku letakkan kedua senjata api itu di atas meja panjang yang mengikuti dinding yang berawal dari bawa TV, dan berhujung di ujung sudut kamar ini. Tepat di samping jendela sorong lebar, sedikit kebawahnya.

Rambutku 'mohawk' panjang. Yang dimana panjangnya hanya dari bagian depan kepala hingga ke bagian belakang kepalaku. Sisi-sisi kanan dan kiriku 'skin head' tipis, membentuk rambut bagian belakang ku berbentuk 'V' pada ujungnya. Rambut ku terikat, berkuncir tunggal selaras dengan kepalaku. Aku menggunakan kacamata Minus, tak terlalu parah. Aki meletakkan kedua tanganku dimeja dimana aku meletakkan 'Beretta'-ku. Sedikit merenungkan ingatan yang teringat di kepalaku saat aku sedikit tertidur di dalam taxi. Sebuah kenangan saat aku masih di bangku SD, tepat sebelum aku mengenal Andika.

Aku menghentakkan ujung sepatu kananku ke lantai sambil mengusap muka ku dengan kedua tangan ku setelahnya. 'Move on' dari ingatan akan masa kecilku. Aku berjalan ke arah jendela, ku singkapkan tirainya hingha bergeser ke ujung pembatas tirai membiarkan jendela agar tampak sepenuhnya. Cahaya dari sinar matahari yang redup mulai masuk menambahkan sedikit warna cahaya kedalam kamarku ini. Aku memutarkan kenop yang menghalangi jendela untuk bergeser terbuka. Lalu, aku menggeser jendela sebelah kiriku ke sebelah kanan sepenuhnua agar terbuka, dan suara hujan deras mulai terdengar semakin jelas.

Hujannya tak akan tempias ke dalam kamarku. Beralaskan atap yang sengaja di bikin pemilik motel tepat diatas setiap jendela sepanjang gedung. Suara berisik rintik hujan bertemu atap 'waterproof', entah mengapa sedikit menenangkanku. Aku menarik smartphone ku dari saku celanaku. Menekan beberapa tombol demi menelepon seseorang. Saat aku memencet 'Call', sebuah nama, 'Sheina', muncul di layar HP-ku. Suara dering mulai telepon mulai terdengar, aku meletakkan HP-ku itu di samping telingaku, menaruhkan lengan kiri ku di sisi dinding berdempetkan rel jendela, melihat keluar kearah ujung langit, menunggu telponku di angkat oleh Sheina.

"Ya?", Sheina menjawab.

"Aku di motel.", kataku tanpa berbasa basi.

"Ok. [Status]?", ia bertanya.

"Sendiri. Nobody's following me.", aku menjawab, dengan sedikit bahasa Inggris.

"Hmm.", ia sedikit menghela nafas saat bergumam. "Okay. Sebelum gue lanjut, ada hal yang lu butuhin?", ia bertanya lagi.

"Ada.", jawabku singkat. "2 peredam, laras pendek, cocok untuk 'Beretta'. 2 box amunisi MU16-TJ. 4 magasin tambahan, optimal untum b'eretta'. Terakhir, aku butuh makan malam.", tambahku.

"Mmhmm.", ia bergumam seiring aku menyebut kebutuhanku satu-persatu. "Makan malam?", tanya-nya lagi.

"Yes.", jawabku.

"Oh, tumben?", sedikit tertawa dari nadanya. "Oke, jam 9. Lu mau dimana?", ia bertanya kembali.

"Oke, jam 9. noted.", jawabku mengkonfirmasi. "Dimana aja, selama cukup tersembunyi. Kita bahas tugas-tugas aku disana.", tambahku.

"Ah shit, D!", ia sedikit berteriak, lalu tertawa. "Barusan gue kirain lo ngajakin gue nge-date! The hell?!", jawabnya dengan nada yang seperti ketawa meskipun bahasanya menunjukkan kekesalan.

"Date?", gumamku. "Yah, terserahlah. Aku ikut saja. Yang pasti aku lebih tenang jika tugasku di bahas face-to-face.", jawabku lagi dengan nada tenang.

"HaaaaaaHhhhhh.", ia menghela nafas panjang. "Ya, Oke~. So, kalau gitu malam ini gue lagi pengen makan di cafe.", jawabnya.

"Fine. Send-loc di jam 8.30.", jawabku tanpa basa basi.

"Ok. See you, D.", pamitnya. Aku menjawab dengan bergumam yang menandakan setuju. Lalu mematikan telponku.

Aku.menghela nafas panjang, menepuk rel jendela kamarku sambil menegakkan diriku. Aku menutup jendela ku, memutar kenopnya demi mengunci, lalu menarik tirai jendela demi menutupnya kembali. Aku melemparkan HP ku dengan sedikit trik membuatnya berputar di udara ke atas tempat tidurku. Melepaskan kacamataku dan meletakkannya di samping kedua 'Beretta'-ku, dan lalu kemudian, aku mulai melepaskan attribut sabuk senjataku. Ku lanjutkan dengan melepas pakaian-pakaian ku sambil berjalan lalu melemparkannya kearah kursi dimana jaketku terlemparkan sebelumnya, melepaskan ikatan rambutku lalu meng-gelangkan ikat rambut itu ke tangan kananku. Aku langsung berjalan masuk ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan badanku yang tertimpa hujan, sore itu.

Di dalam kamar mandi, hanya ada 'shower' ber-kenop tarik, memiliki lambang air panas dan dingin. Toilet duduk, dan wastafel yang di lengkapi dengan kaca yang tertanam di dinding serta tempat sampah plastik yang dalam nya beralaskan plastik 'kresek'. Seluruh ruangan dilapising keramik kecuali langit-langitnya yang berbahan seperti gipsum atau partisi. Terdapat blower yang menyedot udara tepat diatas toilet duduk tersebut. Sejajar dengan tinggi 'shower', ada handuk yang tergantung dengan terlipat rapi pada sebuah besi. Aku mulai menarik kenop, mengatur suhu airnya untuk cukup hangat hangat bagiku. Dengan tangan kiri ku, aku menadahkannya di air yang mengalir, memeriksa suhu nya. Saat sudah mulai cukup hangat, aku membenamkan diriku di bawahnya.

Tersimbah dengan air dari 'shower' itu, aku menundukkan kepalaku, menikmati sensasi hangat yang ditawarkannya. Aku mulai memikirkan tentang mimpi setengah sadarku tentang masa kecilku. 13 tahun lebih kurang sudah berlalu dari saat itu. Saat ini, umurku 18 tahun. Pola fikirku tak seperti mereka, yang seumuran denganku namun hidup normal. Ya, jalan hidupku tak normal. Tapi cukup normal bagiku. Hanya saja sisi yang kupilih, bukan sisi abu-abu, apalagi putih. Aku bermain di gelapnya dunia, di balik kasat mata. Berperang dengan apapun yang menghalangi ambisiku, ataupun kelompokku.

Aku kembali teringat soal Andika. Setelah kejadian itu, kami mulai berteman, sangat dekat, saat kami menginjak kelas 2 SD, di pertengahan CAWU, atau caturwulan, ke 3. Fikiran ku mulai mengarah kemana mana tentang masa lalu. Tentang ibuku, tentang sahabat-sahabat sekolahku, semua secara klise dan acak mencolek fikiranku.

Aku menggelengkan kepalalu, kemudian mengadahkannya ke atas agar simbahan dari 'shower' secara langsung menghampas muka ku. Selang beberapa waktu, aku menundukkan kembali mukaku, mengusap muka ku dengan kedua tanganku demi mengalihkan air dari sekitar kelopak mataku, dan berjalan ke arah wastafel. Setelah mengusap mukaku, tanganku langsung kuarahkan mengusap kebelakang kepalaku demi sedikit merapikan rambut panjangku. Aku mengambil botol kecil bercairkan sabun berwarna merah, dan langsung mulai menyabuni seluruh tubuhku dengan 'shower' yang kubiarkan terus mengalir. Lalu, ku ambil botol bercairan hijau pekat yang umumnya digunakan kebanyakan motel, sebagai shampo. Aku mencurahkannya ke tanganku, dan mulai mengusapkannya ke kepalaku sambil berjalan dan terhenti tepat di samping shower yang mencurahkan air hangat itu. Aku membersihkan kepalaku tanpa berfikir apapun. Fokusku membersihkan diri. Setelah beberapa lama ber-shampo, aku langsung membenamkan diriku ke dalam curahan air hangat. Membersihkan busa-busa sabun dan shampo yang ada di tubuhku. Setelah semuanya selesai ku bersihkan, aku menghentkkan curahan air dengan kenop di bawahnya. Mengusap mukaku dari air dengan kedua tanganku, dan menarik handuk putih yang tergantung dengan terlipat rapi pada gantungan itu dan mulai mengelap sekujur tubuhku. Lalu setelah selesai, aku membalutkannya ke tubuhku, menutupiku dari pinggang hingga ke lutut. Menyimpulkan pada sisi balutan di samping pinggangku agar sedikit kemat dan tak gampang jatuh. Aku kembali mengarah ke wastafel.

Ku ambil bungkusan plastik yang berisikan sikat gigi kecil dan pasta gigi dengan merek 'entah apa', yang tak aku perhatikan itu dengan tangan kiriku. Ku buka plastik bening itu dengan menggigit ujungnya lalu menariknya. Ku keluarkan pasta gigi dan sikat gigi 'mini' itu dengan tangan kananku. Ku hembuskan plastik yang tergigit di mulutku ke telapak tangan kiriku yang menggenggam plastik pembungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah di bawah wastafel. Aku mulai menyikat gigiku sambil melihat kearah kaca yang dipenuhi uap yang berembun dari air hangat.

Selesai dari itu semua, aku keluar dari kamar mandi. Mengarah ke kursi di mana pakaian ku tertaruh dari lemparanku. Aku menarik celanaku, melepaskan ikat pinggangku dari situ. Ku rogoh sakuku demi mengeluarkan dompet ku lalu meletakannya di atas meja di bawah TV, di sekitar kedua 'beretta'-ku dan kacamataku.

Aku mulai mengumpulkan baju-baju dan jaketku dan meletakkannya setempat, di samping tas ku. Aku membuka tas tanselku itu. Mengeluarkan pakaian gantiku dan 1 box kecil. Aku meletakkannya di samping kiri tas ku, lalu mulai memasukkan pakaian bekas pakaiku ke dalam tas ku. Aku mengenakan pakaian-pakaian ku.

Berbaju kemeja hitam, jaket hoodie tebal berwarna abu-abu yang masih kubiarkan terlipat di atas kasur. Celanaku denim, berwarna seperti levi's pada umumnya. Ku kenakan sepatu converse ku beserta kaus kakiku. Setelahnya aku berjalan mengambil dan mengenakan kacamataku, lalu dufuk di tepi kasur. Aku.memutarkan badanku demi mengambil HP-ku dan kembali. Ku lihat jam yang tertera di HP-ku menunjukkan pukul 6.27 sore menjelang malam. Ku matikan layarnya dan memasukkannya ke saku celanaku. Aku berjalan ke sisi tenpat tidur di samping jaket dan kotak kecilku berada lalh kembali duduk disisi. Ku ambil kotak kecil itu dan ku buka. Berisi 2 magasin berisi peluru kaliber 9 yang umum digunakan untuk 'beretta', ku ambil dan menutup kembali kotak itu. Lalu ku masukkan kedalam tasku. Sambil memegang kedua magasin itu, aku menarik atribut rompi sabuk senjataku lalu mengenakannya. Aku berdiri dan berjalan kearah 'beretta'-ku masih dengan sembari memegang kedua magasin cadangan itu. Aku meletakkannya dekat dengan kedua senjataku. Mengambil salah satu, mengeluarkan magasin yang berisi peluru yang tak penuh dan lalu menukarkannya dengan cadangannya bergantian. Lalu ku sarungkan keduanya ke dalam sarung dari rompi sabukku yang terletak di kanan dan kiriku, tepat di bawah ketiak terhimpit lengan. Aku berjalan sambil membawa kedua magasin yang tak penuh itu ke arah jaketku sembari menarik dompetku lalu memasukkannya ke saku belakang celanaku. Memasukkannya kedalam saku jaketku yang cukup lebar. Jaket hoodie ku menggunakan kancing 'zipper' di tengah, saku yang lebar di kanan kiri, serta kain halus yang tebal. Aku mengenakannya setelah itu.

Aku berjalan ke arah pintu. Ku tarik topi di atas meja lampu di samping tempat tidur dengan tangan kananku, lalu menjepitnya dengat ketiak kiriku sembari berjalan. Ku ambil kunci yang tertanam pada 'slot' di samping 'switch' lampu lalu memasukkannya ke saku celanaku sebelah kanan.

'CKLEK!', seketika itu, listrik dikamarku padam. Aku membuka pintu, menutupnya, lalu keluar dan turun. Di bawah, di lantai dasar, aku menuju ke resepsionis. Di karenakan diluar masih hujan, aku berniat memesan taxi menggunakan jasa motel.