Chereads / Dandian, 1992 / Chapter 4 - [Dinner], Sheina.

Chapter 4 - [Dinner], Sheina.

Sesampainya aku didedepan meja resepsionis, ku kenakan topi yang kubawa. Wanita yang menjadi resepsionis ini berkulitkan coklat, tidak terlalu hitam. Mungkin etnis Jawa pada umumnya untuk lebih mudah difahami. "Erna", tertulis di atas [Name Badge] yang ia kenakan pada seragam kerjanya.

"Mba, bisa pedan taxi?", tanyaku, ia menoleh sedikit mendongak keatas dari posisinya duduk d balik meja.

"Oh?", responnya. "Bisa mas, mau kemana mas?", tanya-nya.

"SKA mall.", jawabku.

"Oh, ok mas. Tarifnya 75 ribu rupiah mas.", pintanya.

"Mmhmm.", gumamku sambil menarik dompetku keluar. Ku tarik beberapa helai uang dengan nominal yang pas dan meletakkannya diatas mejanya.

"Pas ya mas. Boleh tunggu sebentar di lobby? Saya panggilkan taxinya.", pintanya.

"Ok.", jawabku lalu berjalan kearah sofa, sebelah kanan dariku yg menghadap meja resepsionis. Aku duduk disana, membuka [HP]-ku, sedikit berselancar dengan internet, mencari bacaan atau artikel-artikel yang menarik perhatianku. Mungkin komik, light novels, apapun itu. Tak lama, teringat tentang Sheina. Fikirku, aku akan ke mall, toh tak ada salahnya aku mengabari.

[Aku otw SKA mall. Ada yang perlu kucari.], dariku.

[OK. Kalau gitu, kita makan di cafe mall itu aja.]

[Ok.]

[Ntar aku kabari kita meet up dimana nanti, disana.]

[Ok.]

[OK, see you.]

--

[SMS] kami berakhir disitu. Setidaknya dengan dia begitu, mempermudah urusanku tanpa harus kesana kemari lagi. Aku kembali duduk, sedikit 'browsing' untuk membuang waktuku menunggu taxi. Selang beberapa menit, supirnya datang menyapaku, lalu aku mengikutinya kemobil. Dia membawakan payung untukku berjalan dari depan motel ke mobil tanpa harus membasahi pakaianku oleh hujan. Selabg berjalan waktu, akupun menuju ke destinasiku, SKA Mall, demi mencari sebuah ransel.

Sesampainya di SKA mall, tanpa basa-basi aku langsung masuk dan memutari isinya. Mencari ransel yang 'simple' dan cocok dimataku. Uang, bukan masalah bagiku. 'By the way', posisiku di Pekanbaru. Sebuah ibukota dari Provinsi Riau, di Indonesia ini yang menjadi bagian dari pulau besar Sumatera. Jam di HP yang sesekali ku buka, menunjukkan pukul [7.38] malam. Ku ambil sembarang ransel yang cocok dimataku. Toh, pada akhirnya bukan hal yang akan selamanya kupakai, ku fikir tidak perlu untuk terlalu banyak memilih. Harganya lumayan, 270 ribu Rupiah. Entah, aku tak terlalu suka menawar bak ibu-ibu PKK saat kepasar. Bagiku, itu suatu hal yang sangat membosankan dan buang2 waktu, serta sedikit menjatuhkan image ku.

Setelahnya, ku copot brand mark dan lain sebagainya dan langsung kukenakan tanpa meminta plastik pembungkus. Si oom penjual hanya senyum-senyum, tak ku gubris. Langsung kucari toilet umum dan masuk kedalam bagian toilet berpintu, tidak di urinoir. Ku sanggahkan ranselku ke depan, ku keluarkan magasin yang tak penuh dari saku jaketku dan lalu ku masukkan ke dalam tas. Ku kenakan tasku kembali setelahnya. Sebelum keluar, ku putar kenop 'Flush' dari toilet duduk itu, tidak penting, hanya suatu kebiasaan.

Menuju ke wastafel, mencucu tanganku. Beberapa orang lalu lalang keluar dan masuk, seorang cleaning service pria dengan attributnya mengepel lantai toilet. Mukanya terlalu baik-baik, tak mungkin kuajak keduniaku. Fikirku, jikapun aku tak tega melihat muka melasnya. Sambil berjalan keluar, ku keluarkan HP dari saku celanaku. Berniat untuk mengirim [SMS] ke Sheina.

[I'm here.] < aku.

[OK. Gue hampir sampe kok.]

[Ok, noted.]

SPJ, atau Singkat Padat nan Jelas. Untuk mereka yang belum mengenalku, mungkin lebih berfikir bahwa aku seorang yang apatis, tak peduli siapapun. Sebenarnya, aku hanya tak terlalu suka membuang waktuku terlalu banyak. Toh, akan berjumpa muka juga kok. Aku berjalan menunggu Sheina sampai di titik lokasi yang entah dimana akan dipilihnya. Singkat kata aku memasuki 'Grocery Store', supermarket mall yang menjual serba serbi kebutuhan sehari-hari demi membuang waktuku sambil menggenggam HP-ku, sambil berjalan.

[Lantai 3, Godeeva. Sudut, deket jendela.]

[Ok.]

Pesan yang kuterima, saat kurasakan HP-ku bergetar sambil berjalan membuang waktu. Tanpa fikir panjang, kupatahkan haluanku keluar dari area Supermarket, menuju destinasi yang diarahkan. Saat berjalan masuk, sambil kuperhatikan Sheina dari jauh yang sedang melihat 'Menu'. Seorang laki-laki berpakaian rapi dan tegap, duduk sendiri tak terlalu jauh darinya. Sebuah tas tangan yang berukuran sedang disampingnya. Ia, entah mengapa, hari ini mengenakan gaun berwarna hitam. Sedikit menampakkan lekukan tubuhnya. Rambutnya panjang terikat dengan aksesorus kacamata bundar besar melengkapi wajahnya menambahkan ke imutan wajahnya. Dan, dia juga mengenakan heels. Aneh, fikirku. Yang biasanya dia hanya akan mengenakan pakaian kasual yang biasa-biasa saja di setiap meet up yang kami lakukan. Sheina, adalah salah satu 'support' dan 'supply' ku. Ku hampiri dia, dan duduk di depannya tanpa menegur terlebih dahulu.

"Hmm?", ia meletakkan menu keatas meja sambil melihatku. "Sedikit, 'Hi, malam Sheina!', atau 'Hi She!' sebelum duduk, apa salahnya coba?", keluhnya sambil mengernyitkan dahi dan sedikit menghela nafas.

"Oh.", responku pelan. "Ok, malam, Sheina.", jawabku sambil melepaskan tas dari bahuku.

"Yayayayaya.", dengan muka sedikit kecewa atau kesal dia merespon sambil mengibaskan tangannya kearahku. "Hari ini, gue sama 'Bodyguard' gapapa kan ya?", tanyanya.

"Mmhmm.", gumamku setuju.

"Nih pilih pesanan.", tawarnya sambil mendorong menu kearahku.

"No.", tolakku sambil menggelengkan kepala. "Impress me.", tambahku. Maksudku, biar dia memilihkan menu untukku.

"Eh? kok gitu?", tanyanya bingung.

"Ya.", jawabku. "Hanya sedikit apresiasi dariku untuk seseorang yang tampil cantik tak seperti biasanya hari ini.", godaku. Dia sedikit terkejut dengan godaanku.

"Oh ya?", responnya sambil memangkukan pipi kanannya degan tangan kanannya yang diatas meja dengan senyuman dan tatapan yang sedikit 'menantang' dalam arti yang intim. "So finally, you're looking at me?", tanyanya.

"Pertanyaan macam apa itu?", keluhku sambil sedikit tersenyum.

"Hahaha. Okay!", jawabnya sambil menepukkan kedua tangannya, memecah suasana. "Kita makan santai dulu. Sesekali, gue tuh pengen ngobrol biasa sama kamu, D. Bisa?", pintanya.

"Hmm.", gumamku sejenak. "Ok, ga masalah.", jawabku setuju.

Dia memesankan aku makanan ala western food yang umum tersedia di cafe-cafe. Dia juga memesankan untuk bodyguard-nya yang duduk sedikit menjaga jarak darinya. Ya, meskipun dunia yang dia selami segelap denganku, bukan berarti dia monster seperti para [OKB] atau Orang Kaya Baru yang terlalu sombong untuk sedikit mengayomi orang-orang yang bekerja dengannya seperti pembantu, baby sitter, dan lain sebagainya. Umumnya, dia tak tak akan meminta jarak dari bodyguardnya. Hanya saja, untuk kali ini, dia memintanya untuk sedikit memiliki privasi demi menikmati waktu kasual, bersamaku, mungkin. Selanjutnya, kami makan dengan tenang. Mungkin karena dia juga tahu kebiasaanku yang tak ingin berbicara saat menyantap makanan atau rezeki yang terhampar di depan mukaku.

"Phew.", dia sedikit menghela nafas yang mengarah ke puas. "Enak ga, D?", Tanyanya.

"Ya, enak. Masih makanan. Toh, I prefer M*D", jawabku. Well, ya. Aku penggemar burger yang tersedia di M*D, terutama menu paginya, [muffin].

"Uh wow.", Jawabnya dengan nada datar. "Tetap setia dengan M*D, huh?", Godanya sambil meraih tangannya keatas memanggil [waiter].

"Uh-huh.", Aku mengangguk. Seketika, pramusajinya pun, datang.

"Mas, ini piring-piringnya angkatin aja semua. Sama sekalian punya bapak itu ya? Trus, tanyain bapak itu mau pedan minuman apa. Paksain ya mas! Jangan sampe ga mesen dianya. Trus, aku mau nambah [Chocolatte Frappe].", Pintanya. "D, you want anything?", Tanyanya padaku sambil menoleh ke arahku.

"Hmm.", Gumamku sejenak. "[Espresso]", jawabku.

"Uh, okay. Sama itu satu ya mas.", Pintanya.

"Mmhmm.", Sang pramusaji bergumam sambil menulis nota di atas nampan yang dia balikkan dengan genggaman tangannya di samping nampan tersebut.

"Ok, udah semua mba?", Tanyanya.

"Mmhmm. Makasih ya mas!", Sheina berterimakasih pada pramusaji tersebut.

"Iya mba.", Dia menjawab sembari memungut piring dan gelas dari meja kami. Dia membawanya ke arah kasir, lalu berbicara sedikit pada temannya sambil menyerahkan nota sambil menunjuk ke arah bodyguard yang di sewa Sheina dengan bahasa tubuhnya. Seketika, temannya membawa nampan, beserta nota yang dia berikan ke meja bodyguard tersebut.

"So, business time?", Tanya ku.

"Ahhh no, please, jangan dulu.", Dia menyorongkan kedua tangannya kearahku dengan membuat sebuah gesture yang seperti "ew!" yang menandakan jijik atau ketidak mauan yang tinggi. "I have what you need here. Everything! Tanpa perlu diragukan sama sekali. Malah ada bonus. Tapi, you are mine, tonight. Got it?!", Omelnya dengan muka serius sambil menunjuk dengan jari telunjuknya keatas seperti seorang guru yang sedang menjejaskan suatu peringatan kepada muridnya. Dimataku cukup imut toh.

"Huh?", Aku menaikkan alisku, terkaget. "What?", Tanyaku tidak yakin.

"Idih!", Kesalnya. "Perlu dua kali gitu?", Tambahnya dengan nada sedikit kesal.

"No.", Jawabku. "Cuman pengen klarifikasi aja.", Godaku.

"Pfft! Fine.", Kesalnya lagi. "Malam ini, you're mine. So, elu mesti nemenin gue, sampe gue bilang cukup. Apa ada masalah?", Tanyanya.

"Uh, okay.", Jawabku sedikit tak yakin.

"Good. Problem solved!", Puasnya sambil menepul meja dengan kedua tangannya.

"You know, She?", Godaku sambil melipatkan tanganku keatas meja, sedikit memajukan wajahku ke arahnya. Dia terkaget sedikit tersipu melihat aksiku yang lalu mengikuti dengan gesture yang sama.

"Mmhmm?", Gumamnya manja.

"That's not how a lady act.", Ejekku. Dia tersontak kaget sedikit kecewa. Lalu memundurkan wajahnya.

"Fffff. Duh, pengen ngomong kasar.", Kesalnya.

"Why?", Tanyaku polos.

"Kirain kan, mau ngatain hal romantis apa gimana gitu kek. Read the mood, please!", Kesalnya sambil menadahkan kedua tangannya kesamping sembari menaikkan bahunya sedikit.

"Uh- Okay, baiklah.", Jawabku. "Toh aku tak terlalu faham dengan apa yang lo minta, sebenernya.", Tambahku jujur.

"Oh iya. I forgot.", Jawabnya dengan bahasa tubuh yang seakan teringat sesuatu. "Sekarang umur lu berapa ya, D? Berapa sih jarak kita, lupa gue. 2 tahun?", Tanyanya.

"4", jawabku singkat.

"Oh, bener kan 2 tahun ternyata.", Jawabnya.

"She, 4.", Tambahku sebagai argumen.

"Sudahlah, anggap saja 2.", Gelengnya. "So, berarti lu 18 yah?", Tanyanya meyakinkan.

"Mmhmm.", Gumamku meng-iyakan.

"Wah, cita rasa brondong nih.", Godanya.

"Cita rasa 'my ass'!", Gelengku sambil menepuk mukaku.

"Fuhahaha!", Tawanya. "It's okay D. Let this 'Onee-san' treat you!", Godanya lagi sambil menadahkan dagunya dengan kedua tangannya yang berpangku pada siku-sikunya diatas meja.

"Hadeh.", Hela- ku. "Ya ya. Just for you, it's fine. Toh aku gada pilihan lain.", Godaku sambil menolehkan mukaku ke jendela, lalu menadahkan daguku dengan tangan kananku yang berpangku dengan sikunya diatas meja, dan menghela-kan sedikit nafas pada akhirnya.

"Eh?", Ia mengernyitkan dahinya dengan senyuman penuh godaan. "So, am I not attractive enough to you?", Godanya sambil bertanya. Aku meliriknya dengan mataku di ujung pelipis mata. Aku menolehkan mukaku ke arahnya. Kubuat sebuah gesture yang melihat dari kepala hingga perutnya yang terlihat diatas meja. Dia meresponku dengan berdiri sambil berpose didepanku.

"So? Am I good enough?", Tambahnya lagi. Aku masih terdiam sejenak memperhatikan lekukannya. Pertama, dia cantik. Kedua, dia tak gemuk, dan juga tidak kurus. Yang pasti, proporsi tubuhnya ideal nan seksi. Ketiga, 'daya tarik'-nya juga cukup besar. Keempat, dia putih mulus. Kelima, meski umurnya diatasku 4 tahun, wajah dan tubuhnya, seperti sepantaran denganku, bahkan dibawahku. Bisakah aku menolak tawaran ini? 'Hell no!'. Tapi ya, tak perlu terlalu berharap. Dia juga seperti keluarga bagiku di jalan ini.

"Perlu banget gue jawab?", Tanyaku datar dengan bahasa tubuh yang menandakan malas.

"Uh-huh.", Dia mengangguk berkali-kali seperti layaknya anak kecil yang ditanya 'adek mau permen?'.

"Fine, come here.", Jawabku sambil menggeserkan posisiku sedikit kearah jendela. Dia tersenyum lalu berjalan kearahku dan duduk. Di belakangku, terdengar langkah kaki pramusaji. Seketika Sheina duduk disampingku, sang pramusajinya sampai. Kali ini, seorang wanita.

"Permisi mba, ini pesanannya.", Izinnya sambil menaruh minuman ke atas meja.

"Ok mba, terimakasih.", Jawabnya tersenyum. "Bapak itu udah mesen?", Tanyanya.

"Sudah mba.", Jawabnya. "Si bapak mesen air mineral saja dengan rokok. Si bapak minta bill rokok di pisah tadi.", Tambahnya.

"What?!", Jawabnya sedikit kaget tanpa sedikit teriak. "No mba, jangan dipisah. Satuin. Jadikan 2 bungkus rokok yang bapak itu pesan ya mba? Kalo dia protes, bilang, mba yang disini maksa.", Omelnya. Ya, si kecil Sheina ini, sangat gemar mengomel, kurasa. Aku hanya memperhatikan dia berbicara.

"Um. Ok mba.", Angguknya tersenyum.

"Terus, kalau dia butuh apa-apa, suruh dia pesan langsung ya mba? Sama ini nih, langsung bayar aja biar ga kesalip akunya.", Tambahnya sembari mengeluarkan kartu kreditnya dari tas kecil di pergelangan tangannya.

"Baik mba, saya proses dulu.", Jawabnya.

"Bill sama kartunya nanti kasi-in ke bapaknya aja ya mba.", Jawabnya sambil mengkedipkan mata ke mba pramusaji. Si mba pramusaji kemudia menoleh kearahku, lalu kembali mengarah ke Sheina.

"Siap mba.", Jawabnya sambil tersenyum dengan penuh kode kearah Sheina. Aku mencolek punggung Sheina yang terbuka.

"Uh, hei.", Kagetnya. "Kenapa D?", Tanyanya sambil menoleh kearahku tanpa perasaan bersalah.

"Apa maksudnya itu?", Tanyaku datar.

"Hmm?", Gumamnya sambil melihat kearahku. Kemudian mendekat kearahku, sedikit agresif yang menggoda. "So.. Aku belum denger jawaban dari pertanyaan aku sebelumnya loh.", Tanyanya dengan wajahnya di depan wajahku yang terpangku okeh tanganku diatas meja sambil tangan kanannya memegang lembut paha kiriku.

"What?", Responku datar, berusaha tenang.

"Apa gue cukup menarik untuk seorang Dandian?", Tanyanya penuh godaan. Aku berfikir sejenak sambil melihat tajam kearah matanya yang bertemu pandang denganku. Aku menegakkan posisiku diatas kursi sambil menoleh kearahnya, ia mengikuti gerakku. Seakan, memberi kode yang memintaku untuk menciumnya. Namun, sedikit ketidak yakinan terhampar di kepalaku. Aku menggenggam lembut pipinya dengan tangan kananku. Dia tersenyum, lalu menutupkan kedua matanya. Okay, fixed! She asked for it. Lalu aku memajukan muka ku pelan kearahnya, menghentikan gerak majuku saat hidung kami saling bertemu, membiarkan hembusan nafasku bertemu dengan nafasnya. Dia sedikit membuka mulutnya sebagai respon yang mengartikan 'menerima'-ku. Aku memajukan kembali wajahku kearahnya, dan ku lumat lembut bibirnya yang di balas kembali olehnya.

--

Tanpa kusadari, di luar, sebuah plank bertulisan "RESERVED". Yang mengartikan bahwa semua meja di Godeeva ini, sudah dipesan. No entry allowed.