Hari seperti biasa, Helen kembali terlambat masuk kerja gara semalam Bos sinting datang mengganggu tidurnya. Yang membuat Helen kebingungan saat dirinya ada di sofa lalu berpindah di kamarnya sendiri.
Memikirkan itu paling sulit diprediksikan apa benar dirinya tidur sambil berjalan. Kalau benar pastikan dia ada terbentur sesuatu. Ia pusing memikirkannya itu.
Sampai di kantor, Helen mengetuk pintu tiga kali, terdengar suara di dalam memerintahkan dirinya masuk. Helen membuka dan suasananya sedikit mencengkam tubuhnya. Beliau dan Ibunya ada di ruangan Bryan. Helen kok jadi gugup begini. Tetap saja ia harus profesional, ia kan kerja untuk menghidupi kebutuhannya bukan untuk menerima kegugupan.
"Jadi dia yang kamu sukai, Bryan?" Pertanyaan dari Ibunya yaitu Lita. Nadanya terdengar tajam apalagi matanya sungguh seperti ular ingin mematok mangsanya.
"Iya, Ma, dia yang aku suka," jawab Bryan menatap wajah Lita.
"Maaf, saya mengganggu. Saya hanya ingin mengantar makanan dari Pak Bry—"
"Silakan duduk, saya ingin menanyakan beberapa hal kepadamu," potong Lita kemudian.
'Anak dan orang tua sama saja selalu memotong pembicaraan. Sebal banget!' - celetuk Helen dalam hati.
Helen meletakkan rantangan di atas meja kerja Bryan, lalu duduk berjauhan dengan Bryan. Helen merasa seperti akan disidang sama Pak Hakim. Mata Lita dan Mata Johannes benar-benar bikin Helen menelan ludah.
"Nama kamu siapa?" Lita mulai bersuara nada masih sama tajam
"Helen Jovanka Kimberly," jawab Helen cepat.
"Sudah berapa lama kerja di perusahaan anak saya?"
"Dua tahun tiga bulan."
"Apa profesi orang tua kamu?"
Helen mengerut alis, kenapa jadi mempertanyakan soal orang tua. Maksudnya apaan ini? pikir Helen.
"Ma, sudah dong jangan dibahas lagi. Kok jadi bahas tentang orang tuanya. Mama, kan, sudah janji tidak membahas orang tua sebelum Bryan yang meminta." Bryan mulai bersuara, Helen makin tambah bingung di buat mereka berdua.
"Jangan potong pembicaraan, Mama tanya dia bukan kamu!" tegas Lita membuat Bryan terkatup rapat mulutnya.
"Apa profesi orang tuamu, Helen? Jangan takut kami hanya ingin mengetahuinya saja," sambung Johannes nadanya sedikit lembut.
"Ayah saya seorang petani di kampung, sedangkan ibu saya jualan nasi uduk di rumah," jawab Helen cepat. Memang keluarganya sederhana tidak sebanding dengan keluarga Bryan yang mewah dan kaya.
Wajah Lita dan Johannes terdiam, melirih Putranya, Bryan menatap wajah mereka berdua. Helen apalagi, lebih di bingungkan.
"Asal kamu dimana? Jadi kamu merantau kerja di sini? Berapa bersaudara?" Pertanyaan demi Pertanyaan kembali terlontarkan oleh mulut Lita.
'Ini kok seperti interview ngelamar calon suami sih? Interview pekerjaan saja tidak sampai bertanya seperti ini. Sebenarnya ada apa sih, Pak Bryan! Makin tambah buruk saja hidupku.' - Batin Helen bertanya - tanya pada dirinya sendiri.
"Saya anak satu- satunya. Serta tulang punggung keluarga. Tujuan saya tentu membahagiakan orang tua, membanggakan orang tua. Saya merantau kerja setelah kuliah selesai," jawab Helen tetap tenang meskipun pertanyaan ada di kepalanya masih bertanda tanya.
"Selama bekerja di perusahaan putra saya, apa saja yang kamu kerjakan? Apa itu sulit atau Bryan membuatmu sedikit tertekan?"
"Selama saya bekerja semua berjalan lancar tidak ada kendala, pekerjaan saya tentu melakukan selayaknya sekretaris menuruti perintah dari atasan, awalnya sulit tapi lama kelamaan saya sudah mulai beradaptasi. Hingga sekarang saya di jadikan asisten pribadi oleh Pak Bryan," jawab Helen sejujur-jujurnya.
Lita mendengar lalu melirih Bryan, Bryan sih senyum tipis. Johannes masih setia dalam diam, karena yang berbicara itu Lita, Ibu rumah tangga lebih tahu segala hal mencari menantu yang pantas dan hasil keturunan.
"Apa Bryan suka membuat kamu terlihat kesal, jengkel, marah dan seterusnya. Apa itu pernah?"
"Pernah, sering malahan sehingga saya harus sabar menerima perintah konyol, dan selalu membuat saya menahan amarah. Kalau Pak Bryan bukan atasan saya mungkin sudah jadi sambal belacan super pedas," jawab Helen cepat membuat mata Lita mendelik lebar.
"Apa kamu bilang? Saya lakukan ini juga masalah pekerjaan!" bantah Bryan tidak terima dengan jawaban dari mulut Helen.
"Masalah pekerjaan tapi tidak harus sekarang juga kan, Pak. Setiap hari saya harus terlambat masuk kerja juga karena bapak, kalau bukan disuruh belanja pagi-pagi ke pasar masak buat Bapak!" balas Helen membantah ucapan Bryan.
"Ehem!" Lita mendehem.
Membuat Beliau jadi kurang fokus, ini semua karena Bryan. Jadi tidak sopan sama Ibunya. Sedangkan Johannes senyum - senyum diam lihat sikap putranya dan sekretarisnya. Pantasan Bryan mengotot tidak ingin menikah dengan Friska. Alasan dia suka sama seorang wanita adalah sekretarisnya. Johannes bisa lihat sendiri sikap Bryan sangat mirip dengannya saat ingin melamar Ibunya. Sifat sekretarisnya sopan dan terlihat gengsi ya mungkin karena profesi di dalam kantor.
"Jadi Bryan selalu menyuruh kamu setiap hari memasak?" Lita pertanyaan ini.
"Iya, Bu. Meskipun masakan rumahan saja seperti saya ada di kampung, tapi bergizi dan halal kok, Bu. Pak Bryan saja sampai ketagihan," jawab Helen melirik Bryan.
"Apa kamu membawanya?"
"Ada, Bu."
Helen bangun dari duduknya kemudian mengambil rantangan ada di atas meja kerja Bryan. Membawanya, memperlihatkan kepada Lita dan Johannes. Lita menatap sayuran serba hijau. Lita yakin Bryan tidak akan memakan sayuran hijau, karena putranya ini benci dengan sayuran berwarna hijau.
"Apa kamu belum tahu kalau Bryan ini tidak suka dengan sayuran hijau?" tanya Lita pada Helen.
Helen tersenyum lalu berkata, "tahu kok, Bu."
"Lalu kenapa kamu masih juga memasaknya? apa kamu mencoba racuni putra saya?"
"Tidak kok, Bu. Awal saya tidak tahu kalau Pak Bryan tidak menyukai sayuran hijau. Tapi, saya mencoba mengolah sayuran ini agar Pak Bryan menyukai dan tidak memuntahkannya. Mungkin rasanya memang bau dan tidak enak untuk Pak Bryan. Dulu saya juga tidak menyukai makanan berbentuk sayuran. Ucapan dari ibu saya, jika kita mengonsumsi sayuran maka tenaga dari asupan lebih sehat daripada makanan berbentuk lemak. Vitamin Sayuran lebih banyak bermanfaat," jelas Helen panjang lebar
Lita, Johanes dan Bryan terdiam saat kejelasan Helen membuat mereka bertiga tidak bisa berkata-kata. "Lantas kamu memasak lagi?"
"Iya saya masak lagi atas perintah dari Pak Bryan. Katanya dia suka dengan telur dadar di campur sayuran hijau. Jadi saya buat lagi terlihat sedikit berbeda. Tidak semuanya orang benci sayuran."
"BRAVO!" seru Johannes bertepuk tangan salut pada Helen.
Helen senyum, merasa bangga pada dirinya walaupun tidak semua dia ketahui tentang sayuran. Bryan salut dan tidak sia-sia perjuangan cinta memilih Helen jadi pendampingnya nanti.
"Ma, jadi bagaimana? sudah tahu seluk-beluk dia, kan?" Kini giliran Bryan bersuara.
Nah, Helen mulai mempertanyakan apa yang terjadi pada mereka berdua. Apa yang di rencanakan mereka berdua.
"Helen, Tante ingin bertanya satu hal sama kamu. Tapi kamu jujur sama tante. Ini menyangkut masa depan kamu dan juga Putra saya."
"Apa itu, Bu, eh, tante." Helen mulai gugup menyebutkan panggilan Ibu jadi Tante.
"Apa kamu mau menikah dengan Bryan?"
Jederrrt!
Helen antara diam atau ke sambar petir di siang bolong begini. Antara terkejut, syok, hilang oksigen. Atau semuanya. Helen tidak salah dengar apa yang diutarakan oleh Ibunya Bryan.
'Menikah???'