Mendengar perkataan Qu Jianglin, Qu Tan'er merasa sangat senang. Kalau tidak salah dengar, pernikahan ini bisa dibatalkan. Andai ayahnya menyampaikan hal ini lebih awal, pasti dia tidak perlu menahan diri sampai tersiksa begini. Tapi Qu Tan'er masih harus menahan diri, jika tidak rencana pembatalan pernikahan ini bisa-bisa gagal.
Apakah Pangeran Kedelapan tidak bisa menyetujui pembatalan pernikahan ini dengan cepat? Batin Qu Tan'er. Kalau sampai hal itu terjadi, dia bersumpah akan membakar dupa dan berdoa di hadapan Buddha. Lalu, dia ingin berterima kasih atas kebaikan-Nya karena telah membebaskannya dari rencana pernikahan ini.
"Maksudnya Tuan Qu ingin saya membatalkan pernikahan ini?" tanya Mo Liancheng. Jemari panjang nan lentiknya membelai pelan cangkir teh kayu, dia tersenyum pelan seperti angin sepoi-sepoi yang berhembus.
"..." Ya, katakan ya, cepatlah, setujui saja! Batin Qu Tan'er. Sudut bibirnya terus bergerak, dia ingin sekali ikut buka suara.
Qu Jianglin yang masih berlutut berkata, "Semuanya tergantung kehendak Yang Mulia. Saya tidak akan berani menolak."
"Kalau saya tidak salah ingat, pernikahan ini adalah perintah dari Kaisar."
"Itu…"
"Apa Tuan Qu merasa saya bisa membatalkan pernikahan ini?" Tanya Pangeran Kedelapan.
"..." Qu Jianglin terdiam dan panik.
"Karena pernikahan ini tidak mungkin batal, maka tugas anda sekarang adalah segera memilih hari baik untuk menyelenggarakan pernikahan." kata Mo Liancheng, nada suaranya terdengar sangat datar.
"..." Eh? Ini tidak mungkin, batin Qu Tan'er membuatnya tersentak. Hari baik…? Hanya karena sebuah perintah, aku harus menikah? Batinnya lagi.
"Baik, baik, baik Yang Mulia saya mengerti." jawab Qu Jianglin dengan cepat, ekspresi wajahnya tampak sangat gembira.
"Hari mulai gelap, sudah waktunya saya kembali ke istana, jadi Tuan Qu tidak perlu mengantar saya." kata Mo Liancheng sambil berdiri perlahan, matanya dengan pelan melirik Qu Tan'er. Bibirnya terangkat sedikit, seakan-akan masih ada perkataan yang belum diselesaikannya. Dengan langkah pelan dan santai, dia berjalan ke arah pintu gerbang. Seiring beranjaknya Mo Liancheng, Pangeran Keempat belas dan Mo Jingxuan, juga turut mengekor di belakang sang kakak.
"Selamat jalan Pangeran Kedelapan dan Pangeran Keempat belas." kata Qu Jianglin sambil menundukkan kepala dan tersenyum lebar.
Mo Liancheng dan adiknya pun meninggalkan kediaman Qu. Banyak keluarga bangsawan yang tinggal di daerah itu, sehingga hampir tak seorang pun pejalan kaki terlihat.
***
Sebuah kereta kuda yang mewah milik istana menyusuri jalanan, Mo Jingxuan terlihat menempelkan kepalanya di sisi jendela, dan dengan tak sabar ia bertanya, "Kak, aku tidak mengerti, kenapa kamu menyetujui pernikahan ini? Dia dan Kakak Pertama kan…" Sebenarnya, siapa yang tidak tahu kalau Nona Keempat Qu dan Pangeran Pertama memiliki hubungan rahasia? Jadi dia tak menyangka, kalau Kakak Kedelapan yang diseganinya itu malah berniat menikah Qu Tan'er.
Mo Liancheng tertawa geli dan menjawab, "Menurut kamu?"
"Menurut aku? Aku benar-benar tidak mengerti apa bagusnya gadis itu. Dia hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Lihat saja tadi, dari awal sampai akhir, dia tak pernah sekalipun mengangkat kepalanya. Mungkin saja wajahnya benar-benar jelek. Tingkah laku Tuan Qu tadi juga mencurigakan, dia terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Apa kakak tidak takut dengan apa yang akan terjadi jika menikahi gadis itu?"
"Perintah Kaisar tidak bisa ditolak." ujar Mo Liancheng pelan. Alasan itu adalah yang terbaik untuk membuat adiknya diam.
"Omong kosong! Mungkin orang lain bisa mempercayai alasan ini, tapi apa kamu pikir aku tidak mengenalmu? Jangankan perintah Kaisar, perintah Ibu Suri saja belum tentu mau kamu turuti. Apa sih..."
"Apa kamu pernah melihat aku menolak wanita yang dihadiahkan untukku?"
"Oh iya, benar juga."
"Drama seru ini harus dilanjutkan." Ucapan Mo Liancheng memang lembut, namun berbeda dengan tatapan matanya yang tajam dan dingin. Di luar kereta tersebut, pengawal Mo Liancheng terlihat waspada akan keadaan sekitar.