Kediaman Qu, di sudut halaman belakang tempat tinggal Nona Keempat, Qu Tan'er.
Halaman itu tidak besar dan bahkan tidak diberi nama hingga saat ini. Tata letak halaman itu juga biasa-biasa saja, tidak mewah. Terdapat pohon persik yang ditanam pada bagian kiri halaman. Tetapi bertahun-tahun tinggal di sana, tak pernah sekalipun Qu Tan'er melihat bunga pohon itu bermekaran. Bunga saja tidak pernah mekar, jadi jangan harap kalau dia bisa menikmati buahnya. Di tengah halaman terdapat bukit dan kolam kecil yang tidak dihuni oleh satupun ikan.
Angin bertiup sepoi-sepoi, namun tidak ada dedaunan yang jatuh. Pintu tempat tinggal Qu Tan'er tertutup rapat. Namun, suara tertawa yang renyah dapat terdengar dari dalam sana. Terdengar dari nada tertawanya, sang pemilik suara tersebut tampak sedang sangat senang.
"Hahaha, Jingxin dengarkan ceritaku, sayang sekali tadi kamu tidak berada di aula besar. Si tua Qu marah-marah sampai melotot, hampir saja dia mengeluarkan goloknya. Untungnya aku bisa keluar hidup-hidup dari sana. Kalau tidak, kamu sekarang mungkin sedang menangis meratapi kematianku." katanya. Saking senangnya, volume suara Qu Tan'er lebih nyaring dari biasanya.
Seorang pelayan wanita bergaun hijau mendekati Qu Tan'er, usianya sepantaran dengannya. Wajahnya terlihat polos dan tak berdaya, dan dengan suara pelan dia berkata, "Nona, Nyonya Kesembilan sudah pernah bilang, jangan pernah berbicara dengan suara nyaring dan sekasar ini."
"Baiklah, tapi sekarang kan sedang tidak ada orang, apa yang kamu takutkan?"
"Nyonya Kesembilan pernah bilang, walaupun tidak ada orang, Nona tetap harus bersikap elegan."
"Duh, iya iya, aku tahu. Huh, apa kamu sekarang puas dengan volume suaraku yang seperti ini? Tadi aku terlalu ceroboh, lain kali aku pasti akan mengingat dengan baik ajaran ibu dan tidak melanggarnya." Ujar Qu Tan'er dengan wajah cuek sambil melambaikan tangan. Jingxin menatap nonanya yang tak berdaya. Suaranya sudah sangat lembut sampai bisa menipu seluruh dunia, gerak-gerik tubuhnya pun menjadi elegan.
Qu Tan'er sangat stres, dia merasa tidak cocok menjadi putri seorang bangsawan! Dia bingung, kenapa dirinya harus selalu berpura-pura setiap detik dan menit. Padahal dia yakin, cepat atau lambat dirinya akan mati tersiksa karena aturan-aturan yang tidak ada habisnya ini.
"Nona…" kata Jingxin lagi-lagi menegur.
"Apa?" tanya Qu Tan'er sambil melangkah lebar dan membalikkan badannya. Bruk! Pantatnya pun kini sudah mendarat di kursi di depan cermin. Satu kakinya diangkat dan diletakkan di atas kursi yang lain, dengan wajah bertanya-tanya dia menatap Jingxin.
"Nona, Nyonya pernah berkata, saat berbicara jangan sampai memperlihatkan gigi, saat duduk jangan memperlihatkan lutut dan saat berjalan jangan menggoyangkan gaun, satu pun peraturan itu tidak boleh dilanggar."
"Iya, tapi kali ini tidak usah, ya?" Duh, aku sudah tahu Jingxin akan berkata seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Batin Qu Tan'er. Padahal, dia sudah berniat dalam hatinya akan melakukan semua aturan itu, tapi sulit sekali untuk mengubah sifat tomboi dalam dirinya.
"Dan juga…"
"Hmm?" Apa lagi sih? Batin Qu Tan'er.
"Nona, gaya duduk Anda saat ini tidak baik. Letakkan kaki dengan benar dan jangan goyangkan kaki Anda." kata Jingxin sambil mendekat dan mengajari Qu Tan'er.
"Ya." kata Qu Tan'er. Huft, jadi nona besar sungguh sulit, orang pasti biasa tidak akan tahan hidup seperti ini! batinnya.
Jingxin tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya, "Nona, tadi Anda membuat Tuan Besar marah lagi?"
"Hmm, bisa dibilang begitu. Tapi dia belum marah sampai muntah darah kok…" kata Qu Tan'er, sebenarnya dia ingin sekali tertawa, tapi bibirnya langsung terkatup rapat saat melihat wajah serius Jingxin.
Qu Tan'er lalu mengalihkan pembicaraan, "Kamu tahu tidak, tadi aku hampir mati karena jatuh dari tembok tinggi itu. Ada pria menyebalkan yang melihatku tetapi tidak membantu sama sekali. Pria itu hanya berdiri, asik menonton dan menertawaiku." katanya.