"Hari ini adalah waktunya kamu pulang ke kediaman Qu, kenapa tidak tinggal lebih lama di sana?" tanya Selir Lan sambil menarik kembali tangan Qu Tan'er, dia menatap gadis itu dengan ceria. Sepertinya, Selir Lan cukup puas dengan Tan'er.
"Ayah sangat memaklumi Tan'er, beliau membiarkan saya pulang lebih awal karena tahu Pangeran Kedelapan masih ingin mengunjungi anda. Kami tidak ingin membiarkan anda menunggu terlalu lama." jawab Tan'er. Sudut bibirnya terangkat sedikit, sepertinya kebohongan yang diucapkannya kali ini agak berlebihan. Padahal tadi Qu Jianglin hampir saja menutup pintu gerbang dan tidak membiarkan mereka pergi dari kediaman Qu. Tapi, kebohongannya kali ini untuk kebaikannya sendiri. Seharusnya tidak ada orang yang akan menyalahkannya, kan?
Mata bulat Qu Tan'er kemudian melirik ke arah Mo Liancheng. Pria yang di liriknya masih saja tampak santai seperti biasa dan tidak menunjukkan banyak ekspresi.
"Oh ya? Pasti Tuan Qu tidak rela kehilangan kamu."
"Ibunda tidak perlu khawatir." ujar Qu Tan'er. Setelah duduk dan berbincang cukup lama, dia mulai merasa lega, pasalnya Selir Lan tampak tidak membahayakan. Kecemasan yang dirasakannya tadi benar-benar tidak berguna.
"Saya sepertinya sudah lelah duduk di sini. Cheng'er dan Tan'er, ayo jalan-jalan bersama saya. Usia saya sudah semakin menua, jadi harus banyak berjalan dan berolahraga." Selir Lan kemudian berdiri dengan semangat. Namun saat kakinya mau melangkah, dia melihat bayangan seorang gadis yang sedang berlari dengan cepat ke arah mereka dari kejauhan. Pandangan mata Selir Lan sempat berubah dingin, tapi kembali menghangat dengan cepat.
"Baik." kata Qu Tan'er dengan kepala yang masih tertunduk. Dia kemudian mengikuti Selir Lan keluar dari halaman. Mo Liancheng yang merasa malas untuk bersuara langsung mengikuti kedua wanita itu.
"Kakak Liancheng." Suara manja tiba-tiba terdengar. Gadis itu yang memanggil Mo Liancheng itu berlari tergesa-gesa dan segera memeluknya dengan erat.
"..." Qu Tan'er tidak tahu harus bagaimana merespon apa yang terjadi di hadapannya. Dia hanya bisa tertegun dengan mulut yang hampir terbuka seluruhnya. Gadis itu benar-benar bergerak dengan cepat, bahkan membuat Qu Tan'er merasa takjub.
"Kak Liancheng, Fengyang sangat merindukan Kakak. Kenapa kamu tidak sering ke istana untuk mengunjungi Fengyang? Apa kamu sudah melupakan Fengyang?" rengek Putri Kesembilan belas sambil memeluk Mo Liancheng, nada suaranya terdengar penuh dengan rasa tidak puas.
"Bukankah sekarang aku sudah datang?" kata Mo Liancheng sembari melihat gadis yang memeluknya. Dia tidak ikut memeluk Fengyang, tapi juga tidak melepaskan pelukan gadis itu. Dia hanya diam membiarkan Fengyang memeluknya.
"Tidak bisa. Hari ini Kak Liancheng kan datang bukan untuk menjenguk Fengyang."
"Kalau begitu, bagaimana dong?"
"Fengyang sudah lama tidak bertemu dengan Kak Liancheng. Hari ini, Kakak harus menemani Fengyang seharian. Tidak ada yang boleh merebut Kakak dari Fengyang." tutur Mo Fengyang dengan manja dan masih tetap memeluk erat Mo Liancheng, dia tampak enggan melepaskan pria itu.
"Fengyang, kenapa kamu terus menempel pada Cheng'er dan tidak mau melepaskannya?" tanya Selir Lan mengerutkan keningnya sambil melihat ke arah gadis yang sedang memeluk Mo Liancheng itu.
"Baik, Ibunda." Meskipun belum puas memeluk kakaknya, Mo Fengyang tidak bisa membangkang. Dia akhirnya menyerah dan melepaskan pelukannya pada Mo Liancheng.
Saat itu, Qu Tan'er akhirnya dapat melihat wajah Mo Fengyang dengan jelas. Setelah melihat wajah Putri Kesembilan belas, dia hanya bisa mendesah tak berdaya. Pangeran dan putri istana tidak ada yang jelek rupanya. Semuanya tampan dan cantik. Saking cantiknya, bahkan dia sendiri merasa iri dan berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Semua ciptaan-Nya yang terindah ada di dalam istana.
Satu Mo Liancheng dan satu lagi Mo Fengyang. Namun, apa mereka benar-benar kakak adik? Dilihat dari tatapan mata Mo Fengyang, sepertinya gadis itu tidak menganggap Mo Liancheng sebagai kakak. Arti dari tatapan matanya tidak sesederhana itu.