Brugggg! Awwww ... Binar merintih kesakitan, memegang lengannya yang menabrak nakas saat dia terjun dari atas tempat tidur. "Kenapa pula aku selalu terjatuh saat bangun di pagi hari!" gerutunya sembari menahan rasa sakit.
Dia berdiri lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah selesai dengan rutinitas membersihkan diri, Binar bersiap untuk ke rumah Bianca lalu ke rumah sakit menjenguk Belva.
Binar melangkah keluar dari kamar, terdengar suara Arganta yang sedang merengek untuk diizinkan mendaki gunung pada sang ayah.
"Ayah, aku mohon izinkan ya?" rengek Arganta pada ayah yang masih saja tidak mengizinkannya untuk pergi.
Binar langsung duduk di kursi, membalikkan piring yang ada di atas meja. Mengambil dua buah roti lapis lalu mengolesnya dengan santai menggunakan selai coklat kesukaannya.
Bunda yang baru tiba dari pantry yang tidak begitu jauh dengan posisi meja makan, menyodorkan segelas susu hangat pada Binar. Terdengar suara tawa bunda yang melihat sikap kekanak-kanakan dari putra satu-satunya itu.
"Bun—jangan tertawa dong, bantu aku merayu Ayah!" ucap Arganta.
Bukannya membantu, bunda malah mendukung dengan keputusan ayah yang tidak mengizinkan Arganta mendaki gunung. Karena bunda merasa khawatir dengan cuaca bulan ini yang tidak menentu.
Arganta melirik Binar, dia meminta pertolongan pada sang kakak. Binar mengangkat kedua bahunya dengan arti dia tidak bisa membantunya. Akhirnya dia terdiam karena kesal, sekeras apa pun dia memohon pasti tidak akan diizinkan.
Binar terkekeh, "Sudah, jadilah anak baik kali ini ya."
Mendengar perkataan itu semakin kesallah Arganta, bibirnya ditutup rapat seraya sedang perang dingin kedua. Ayah yang masih kesal dengan kejadian semalam langsung mencecar Binar dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Sebelum menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh ayah, Binar menghela napas panjang. Menceritakan apa yang dilakukannya bersama dengan Bianca. Namun, dia tidak menceritakan apa yang dilakukan pada Doni. Jika ayah mengetahui semua itu maka habislah dia.
"Bagaimana keadaan Belva?" tanya bunda untuk mengalihkan pembicaraan agar ayah tidak bertanya lebih lanjut.
'Bunda terbaik,' ucap Binar dalam hati. Dia mengatakan jika hari ini akan ke rumah sakit untuk menjenguk Belva. Namun, sebelum itu menjemput Bianca di rumahnya.
Ayah bertanya apakah hari ini ada jadwal perkuliahan, binar menggelengkan kepala. Hari ini dia tidak ada perkuliahan sehingga memutuskan untuk lebih lama bersama Belva di rumah sakit. Dia mengatakan itu agar sang ayah tidak terus bertanya tentang jadwalnya hari ini.
Sarapan selesai, ayah pergi ke kantor, Arganta pergi ke kampus karena hari ini dia ada ujian. Sang bunda menunggu di rumah semua anggota keluarga saat kembali nanti sore.
"Kak—mengapa kau tidak membantuku?" tanya Arganta saat Binar hendak memasuki mobilnya.
"Cuaca bukan ini tidak mendukung untukmu mendaki gunung! Aku hanya punya adik satu yaitu kau! Jadi turuti saja ayah dan bunda." Binar menjawab sembari menutup pintu mobilnya.
Dilihatnya Arganta melangkah menaiki sepeda motornya, dia adalah adik satu-satunya yang sangat Binar sayangi. Meski umur mereka hanya terpaut satu tahun saja. Mana mungkin dia akan mengizinkan adiknya untuk bersenang-senang dalam cuaca yang tidak menentu.
Dia tahu bahwa kesenangan sang adik adalah mendaki gunung. Namun, jika itu melibatkan keselamatan dirinya maka dia tidak akan pernah mengizinkan sang adik pergi.
Dinyalakannya mesin mobil, diubahnya posisi persneling lalu menginjak pedal gas secara perlahan. Sehingga laju mobil tidak terlalu cepat saat meninggalkan rumah.
Tidak membutuhkan waktu yang sangat lama untuk tiba di rumah Bianca. Seorang satpam membukakan pintu pagar rumah dan mempersilakan masuk. Dia menghentikan mobilnya, keluar dari dalam mobil dan bertanya tentang Bianca pada satpam tersebut.
Satpam mengatakan jika Bianca belum terlihat, mungkin masih di dalam kamar. Binar masuk ke dalam rumah, terlihat seorang pelayan yang sudah berumur.
"Ehh ... Non Binar, langsung masuk saja Non ke kamar Non Bianca!" ucapnya pada Binar sembari melanjutkan pekerjaannya.
Binar pun langsung berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Bianca. Terasa sangat sepi rumah ini, bagaimana tidak sepi penghuninya hanya si mbok, beberapa satpam, dua orang pelayan yang membantu si mbok dan penghuni terakhir adalah Bianca.
Terhenti di sebuah ruangan yang pintunya masih tertutup rapat. Hanya terdengar alunan musik yang begitu sendu, ya sendu karena si pemilik ruangan itu sedang bersedih hati.
Dia memegang gagang pintu kamar lalu membukanya dengan perlahan. Terlihat seorang wanita yang masih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Dengan cepat Binar berlari lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Tepat di samping si wanita yang terlelap itu. Dan membuatnya terbangun lalu membelalakkan kedua bola matanya.
"Apa kau sudah tidak waras hah?! Bagaimana jika aku kena serangan jantung dan mati seketika!" Bianca berkata yang seketika merubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk.
"Ya aku kubur!" Binar menjawab spontan perkataan Bianca lalu dia terkekeh-kekeh.
Bianca langsung melemparkan sebuah bantal pada binar tetapi dengan cepat Binar menangkap bantal itu. Tidak ada satu pun orang yang bisa mengalahkan refleks Binar dalam menangkap apa saja yang dilempar ke arahnya.
"Kenapa? Kau habis menangis?!" tanya Binar yang melihat mata Bianca sembab.
Tidak ada jawaban dari Bianca dan itu membuat Binar paham betul meski terlihat tegar dan tangguh. Bianca tetaplah seorang wanita yang memiliki hati yang lembut.
Binar mengatakan pada Bianca agar belajar untuk melupakan pria yang tidak pantas untuk dipertahankan. Masih banyak pria yang setia dan akan menjadi pasangannya kelak.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Binar membuat hati Bianca menjadi tenang, dia memeluk sahabatnya itu dengan erat. Sehingga membuat Binar merasakan pengap dan hampir kehabisan napas.
"Sudah ... Lepaskan apa kau mau membuatku tiada dengan pelukanmu ini hah!?" Binar berkata sembari mengipas-ngipaskan tangannya guna mencari udara.
Bianca terkekeh lalu dia mengatakan untuk menunggu sebentar karena dia hendak membersihkan diri. Setelah selesai membersihkan diri barulah dia bersiap untuk pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Belva.
"Aku sudah siap—ayo kita pergi!" ucap Bianca sembari mengajak Binar pergi.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Bianca berdering. Dia melihat pada layar ponsel siapa yang menghubunginya. Saat melihat nama Doni yang tertera di layar ponsel dia mengabaikannya. Binar tahu betul siapa yang menghubungi sahabatnya itu, sehingga dia tidak banyak bicara.
Tibalah Binar di rumah sakit bersama dengan Bianca, berjalan menuju ruangan di mana Belva di rawat. Dia berhenti di sebuah kamar rawat inap, dia mengintip di jendela kecil yang berada di pintu kamar.
Dirasa sudah bisa masuk, dia membuka pintunya terlihat sekarang wanita paruh baya yang sedang duduk sembari membaca sebuah majalah.
"Kalian sudah datang?" wanita paruh baya itu bertanya dengan senyum hangatnya.
Wanita paruh baya itu adalah ibu dari Belva, melihat sahabat putrinya sudah tiba. Sang ibu pun pergi untuk kembali ke rumah dahulu dan akan kembali nanti sore.