Chereads / Your Father is My Husband / Chapter 3 - Rumah Sakit

Chapter 3 - Rumah Sakit

"Bagaimana keadaanmu?" Binar bertanya pada Belva sembari duduk di sampingnya.

Belva tersenyum lembut, dia mengatakan jika kesehatannya sudah membaik. Mungkin satu atau dua hari lagi sudah bisa pulang ke rumah. Mendengar itu Binar terlihat bahagia dan lega.

"Bagaimana? Dengan kasusmu Ca?" tanya Belva pada Bianca.

Bianca duduk di samping Belva sehingga Belva berada di tengah-tengah antara Bianca dan Binar. Dan menceritakan semua kejadian kemarin malam.

Belva terkekeh saat mendengar semua yang sudah diceritakan oleh Bianca. Namun, dia kembali serius dan berkata jika yang dilakukan oleh Binar belum cukup. Nanti saat dia sudah keluar dari rumah sakit akan memberi pelajaran bagi Doni.

Mereka bertiga pun mulai berbincang-bincang dari masalah kecil hingga masalah besar. Saat mereka asyik bersenda gurau, terdengar suara keributan di luar kamar. Sehingga membuat Binar memeriksa keributan tersebut.

"Aku mohon tolong putriku, selamatkan dia—aku mohon!" pekik seorang ibu meminta pertolongan pada setiap pengunjung rumah sakit.

Binar tidak habis pikir, ini adalah rumah sakit ternama mengapa bisa ada kejadian seperti ini. Dia mendekati ibu tersebut lalu bertanya apa yang bisa dibantu.

Ibu itu mengatakan jika putrinya membutuhkan transfusi darah secepatnya. Namun, persediaan darah di rumah sakit saat ini sedang kosong. Pihak rumah sakit berusaha mencari golongan darah yang dibutuhkan. Dan itu membutuhkan waktu sedangkan korban saat ini membutuhkan transfusi secepatnya.

"Apa golongan darah putrimu, Bu?" Binar bertanya dengan lembut pada sang ibu yang masih menangis.

"AB," jawab singkat sang ibu.

Binar tersenyum lalu membantu sang ibu untuk berdiri dari posisi duduknya di lantai. Dia berkata akan menyumbangkan darahnya untuk putrinya karena golongan darah Binar adalah AB.

Seorang perawat dengan cepat mendekat pada Binar, dia mempersilakan Binar untuk mengikutinya. Binar berjalan dan memasuki sebuah ruangan dan proses transfusi darah dilakukan.

Binar mengatakan pada perawat untuk mengambil darahnya sebanyak yang dibutuhkan oleh putri dari ibu tadi. Perawat tersebut tersenyum dan mengatakan jika binar memiliki hati yang sangat baik.

Selesai melakukan transfusi darah, Binar kembali ke kamar rawat Belva. Dia melihat kedua sahabatnya khawatir karena tidak melihatnya dalam jangka waktu yang tidak sebentar.

"Dari mana saja kau? Aku khawatir tahu! Ponsel kau tinggal di nakas pula!" gerutu Bianca.

Binar terkekeh karena kecerewetan Bianca yang seperti Belva jika sudah merasa kesal atau khawatir. Dia mengatakan apa yang baru saja terjadi.

Mendengar itu Bianca mendekati Binar, dia memapahnya hingga duduk di atas sofa. Terlihat jelas jika dari dekat wajah Binar yang pucat.

Tidak begitu lama seorang perawat masuk kedalam kamar rawat Belva bersama seorang ibu paruh baya yang tadi membuat keributan.

"Terima kasih Nak, kau telah membantu putriku. Sehingga putriku bisa terselamatkan," ucap ibu itu dengan beruraian air mata lalu memeluknya dengan erat.

Binar tersenyum, dia mengatakan tidak perlu seperti ini. Karena dia ikhlas melakukan semuanya. Dia juga mendoakan agar putri ibu tersebut cepat kembali pulih dan bisa kembali ke rumah.

Setelah mengatakan itu sang ibu langsung berpamitan untuk melihat putrinya yang masih tertidur akibat pasca operasi. Binar mengangguk dan tersenyum pada ibu yang hendak meninggalkan kamar bersama perawat yang datang bersamanya.

"Bi, bagaimana keadaanmu? Wajahmu masih terlihat pucat, jika kau pulang dalam keadaan seperti ini akan membuat bunda khawatir, 'kan?" Bianca berkata dengan nada khawatir.

"Gampang—aku tambahkan perona bibir saja, biar tidak terlihat pucat!" jawab Binar dengan senyumnya.

Tidak terasa hari sudah senja, sedari tadi Binar tertidur. Dia terbangun saat ibu Belva tiba di rumah sakit, setelah itu dia pamit untuk pulang bersama Bianca.

Bianca mengusulkan untuk dia saja yang membawa mobil dan mengantarnya ke rumahnya. Namun, Binar tidak mau karena bisa membuat curiga bunda.

Binar mengatakan lebih baik dia menyetir hingga rumah Bianca. Mendengar perkataan Binar yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi sehingga membuat Bianca menuruti apa keinginannya.

Selama dalam perjalanan Binar hanya tertidur, mungkin dia masih merasakan lemas akibat mendonorkan darahnya. Mobil terhenti, Bianca menatap Binar. Dia merasa khawatir dengan sahabatnya ini jika harus mengendarai mobilnya sendirian.

"Bi—apa kau baik-baik saja? Lebih baik aku antar kau pulang ya?" Bianca berkata dengan lembut dan ada nada khawatir dari setiap kata yang diucapkannya.

Binar terbangun lalu tersenyum, dia mengatakan jika sudah membaik karena sudah tidur selama perjalanan. Dia membuka pintu mobil lalu berjalan menuju pintu mobil sebelah guna mengambil kemudi setir dari Bianca.

Dalam benak Bianca dia tidak tega jika melihat Binar seperti ini. Dia sungguh-sungguh ingin mengantarnya hingga masuk kedalam rumah. Namun, dia tahu sifat keras Binar yang tidak bisa diubahnya.

Binar menyalakan mesin mobilnya lalu menjalankannya secara perlahan. Sedikit demi sedikit mulai menambah kecepatan mobilnya. Kepalanya terasa berat, dia berusaha menjalankan mobilnya dengan pelan.

Brakkk!

Binar terkejut saat dia menabrak sebuah mobil yang ada di depannya. Seorang pria yang keluar dari dalam mobilnya melihat bagian belakang mobil yang rusak karena tertabrak Binar.

"Mati aku!" gumamnya.

Seorang pria berjalan mendekat pada mobil Binar, mengetuk jendela mobil beberapa kali. Barulah binar membuka kaca pintu mobilnya. Pria itu menyuruhnya untuk keluar dari mobil.

"Apa kau mabuk? Gadis sepertimu memang tidak tahu aturan mabuk di sore hari!" ucap pria itu dengan nada yang membuat Binar kesal.

"Hai Om—kalau bicara dipikir dulu dong! Jangan asal bicara!" Binar berkata dengan nada ketus.

Dalam benak pria itu berkata apakah dia terlihat seperti om-om sehingga dia berkata seperti itu. Binar terus saja menggerutu dan itu membuat pria itu merasa kesal.

Pria itu menghubungi seseorang, dalam hati Binar berkata apa mungkin om-om itu menghubungi pihak yang berwajib. Dia mulai khawatir, jika ayahnya tahu maka dia akan di hukum. Mungkin akan di kirim ke Korea untuk mengurus perusahaan yang ada di sana setelah lulus kuliah.

"Huh—dasar Om-om bisanya langsung lapor saja!" cetus Binar sembari melihat kerusakan akibat ulahnya.

Dalam hatinya berkata, kerusakan seperti ini bisa diperbaiki di bengkel. Apa dia seorang sopir sehingga tidak bisa membayar bengkel atau takut kena marah bosnya.

Binar melihat pria itu dari atas hingga bawah dan kembali ke atas lagi. Pakaiannya memang rapi, berjas mungkin dia hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan. Wajahnya terlihat sudah dewasa sekali dengan jambangnya tetapi masih terlihat ketampanannya.

Pria itu tidak senang dengan tatapan Binar, dia memalingkan wajahnya dan masih bicara dengan seseorang melalui ponselnya.

Binar yang masih merasa khawatir tetapi tidak ingin memperlihatkan kelemahannya dihadapi pria yang menyebalkan. Lagi pula ini hanya kecelakaan dan dia bisa mengganti rugi semua biaya kerusakan.