Chereads / PARTNER IN CRIME : FRIENDZONE / Chapter 13 - 12. Penawaran [Menyudahi Perang]

Chapter 13 - 12. Penawaran [Menyudahi Perang]

Partner in crime, sebuah hubungan yang mereka jalani. Hanya sebatas sahabat tapi terkadang melebihi kekasih. Chakra adalah moodboster Lova, selalu jadi tempat bercerita saat dia senang, sandaran saat dia bersedih. Chakra selalu mengusahakan bahwa apapun keadaannya, dia harus bisa berada di samping Lova saat gadis itu membutuhkannya. Pria itu selalu menyediakan bahu untuk tempat bersandar, jari untuk menghapus airmatanya, dan tangan yang senantiasa menggenggamnya kemanapun mereka pergi.

Bagi Chakra, Lova memiliki tempat tersendiri di hatinya. Bukan sebatas sahabat namun juga bukan sebagai kekasih. Meskipun banyak orang yang bilang hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan itu tidak lepas dari yang namanya love and lust….

***********

Chakra menatap penampilannya di depan kaca, mencium keteknya sebentar sebelum kemudian meraih parfum dan menyemprotnya ke bagian ketiak.

"Oke, sempurna! Lo emang ganteng banget, Chak. Calon idaman para wanita." Chakra tersenyum menatap wajahnya yang terpantul di kaca. Narsis dan tingkah aneh selalu menempel pada pria itu sepertinya. Kata Chakra, memuji diri sendiri itu hukumnya wajib.

Chakra meraih ponselnya sebelum memutuskan keluar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu dengan senyum cerah tak lepas dari bibirnya. Gista menatap anak semata wayangnya heran. Wanita itu yang awalnya fokus pada berita di Tv, kini menatap putanya dengan dahi berkerut. Apalagi dengan bau menyengat dari tubuh Chakra.

"Kamu mau kemana, Chak? Wangi banget," tanya Gista pada akhirnya.

"Eh, Mama udah pulang dari Butik," oceh Chakra mengkampiri ibunya. "Mau ke taman, Ma," imbuhnya kemudian.

"Ke taman? Kok rapi banget. Terus wangi lagi. Ih, kamu itu pakai minyak wangi buat mandi?" celoteh Gista mengernyitkan hidungnya karena bau menyengat.

"Hehehehe." Chakra terkekeh pelan. "Mau ketemu Lova, Ma."

"Lova anaknya Rana, teman Mama? Kalian udah baikan?" tanya Gista heran. Selama ini, ia tahu jika Lova dan Chakra bagaikan kucing dan tikus. Tidak pernah akur. Jadi ia merasa heran saat mendengar jawaban Chakra barusan.

"Lhah, emang siapa yang musuhan, Ma? Kita cuma kenal dengan cara yang nggak menyenangkan aja," celoteh Chakra menaik turunkan alisnya disertai senyum jahilnya.

"Halah," dengkus Gista. "Makanya kamu jadi orang jangan suka jahil. Lova jadi nggak betah, 'kan temenan sama kamu," komentarnya kemudian.

"Iya, Mamaku sayang. Ini lagi usaha meluluhkan hatinya Lova. Mama doa dong, buat kelancaran aku," oceh Chakra tersenyum semanis mungkin.

"Idih, doa apaan? Udah sana cepat pergi! Nanti Lova nunggu kamu kelamaan," oceh Lova menyuruh Chakra cepat pergi.

"Oke deh. Bye, Ma. Assalammu'alaikum." Chakra mencium tangan ibunya dan berlalu pergi.

Sampai di taman, Chakra melihat ke sekeliling dan menemukan sosok Lova yang duduk di rumput dekat pohon mahoni setinggi lampu penerangan. Tempat sejuk yang di kelilingi tanaman.

Chakra menghampiri Lova dan kemudian duduk di sampingnya. "Hai, Bi," sapanya kemudian.

"Lo wangi banget! Lo baru aja minum minyak wangi sebotol?" celoteh Lova saat mencium bau menyengat dari Chakra.

"Ck, kenapa sih? Tadi Mama bilang aku mandi minyak wangi. Terus sekarang lo bilang gue minum minyak wangi sebotol," gerutu Chakra pelan. "Emang gue wangi banget ya?" gumamnya sembari mencium ketiaknya sendiri.

"Gimana? Menyengat banget, 'kan?" oceh Lova mencibir.

"Hehehehe, iya. Gue pakainya kebanyakan," celoteh Chakra terkekeh pelan.

Lova hanya mendengkus.

"Jadi lo mau nanya apa ke gue?" tanya Chakra tersenyum lebar.

Lova diam sejenak, lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Bukan pertanyaan sih, sebenernya," ucapnya memulai. "Tapi penawaran," imbuhnya kemudian.

"Penawaran?" Maksudnya?" tanya Chakra tak mengerti.

"Pertandingan basket kemarin. Pertarungan antara 3 sekolah. Warisan turun temurun yang sama sekali nggak berguna." Lova diam sejenak.

Chakra diam saja menunggu Lova menyelesaikan ucapannya.

"Bisa nggak, lo udahin warisan itu. Maksudnya, meskipun kita masih kelas X, tapi gue tahu lo punya wewenang untuk ngomong ke panglima tempur sekolah lo, sekolah gue juga," ucap Lova menjelasnya. "udahin ya, Chak. Permusuhan kalian," imbuhnya pelan.

"Lo mau sahabatan sama gue, kalau gue menyudahi permusuhan ini?" tanya Chakra lirih.

Lova mengangguk pelan.

"Lo tahu, Bi. Gue nggak bisa ngelakuin hal itu karena itu kepentingan bersama, bukan pribadi. Keputusan yang diambil oleh banyak orang, bukan gue aja. Kalau lo nyuruh gue buat nggak ikut ke dalam medan perang itu lagi, gue bisa ngelakuin hal itu. Tapi kalau lo nyuruh gue menyudahi perang, gue nggak bisa karena bukan kuasa gue yang memutuskan semuanya."

Lova hanya diam mendengarnya.

"Ma'af ya, Bi," ucap Chakra pelan. "Tapi gue akan mencoba untuk ngomong ke anak-anak. Gue juga akan ngomong ke Panji dan Nando, tapi gue nggak bisa menjanjikan apapun sama lo. Susah, Bi, menghentikan 'kebiasaan' yang sudah turn temurun," imbuhnya kemudian.

Lova mengangguk pelan. Membenarkan apa yang diucapkan oleh Chakra barusan. Pasti sangat susah untuk menyudahi permusuhan di antara mereka. Seakan sudah menjadi kebiasaan yang akan susah di ubah. Permusuhan yang mendarah daging. Tapi Lova menghargai niatan Chakra untuk menghentikan permusuhan mereka.

"Tapi kenapa tiba-tiba lo bahas masalah permusuhan?" tanya Chakra penasaran.

"Kefikiran aja, gara-gara tadi pulang sekolah gue ketemu Gavin di bis dan membahas masalah ini."

"Lo ketemu sama Gavin? Lo nggak di apa-apain, 'kan sama dia?" tanya Chakra was-was.

"Enggaklah," sahut Lova.

"Oh, iya, Lo 'kan lebih bar-bar daripada dia," komentar Chakra tertawa.

"Sialan," maki Lova tak urung ikut tertawa.

Keduanya memutuskan untuk diam dan menikmati senja yang temaram. Menatap matahari yang melabuhkan hatinya pada satu tujuaan. Ufuk barat yang selalu setia menerima matahari kala ia pulang.

"Gue mau sahabatan sama lo, Chak," gumam Lova tanpa menoleh ke samping dan fokus pada gumpalan awan yang menguning.

"Lo bilang apa?" Secepat kilat Chakra menoleh ke samping. Pada gadis yang duduk di sampingnya, ia memancarkan ekspresi kagetnya.

Lova menoleh ke samping. "Mulai sekarang, kita sahabatan," ujarnya pelan. Tersenyum tipis seusai bicara.

"Oh." Chakra mengangguk pelan. Pria itu menoleh ke depan dan kembali menatap awan. "Telinga gue nggak salah dengar berarti. Hati lo emang udah luluh, Bi," gumamnya kemudian.

Lova juga ikut menatap ke depan. Pada gumpalan awan yang menggantung di angkasa. "Terus apa?"

"Apalagi? Hidup lo akan lebih berwarna dengan adanya gue," celoteh Chakra dengan pedenya.

"Heh, semoga aja gue nggak menyesali keputusan ini," gumam Lova setengah bercanda.

"Tenang, Bi. Jadi sahabat gue itu nggak susah kok, cuma sedikit merepotkan aja kalau mood usil gue lagi kambuh." Chakra mengacak-acak rambut Lova hingga berantakan.

"Jadi lo mau sahabatan sama gue, cuma karena nyari tameng buat sifat usil lo itu?" cibir Lova manyun.

"Hahahahahha." Chakra justru tertawa melihat bibir Lova yang manyun. "Kumatnya nggak sering kok," ocehnya kemudian.

"Halah." Lova kembali melengos.

*****

Jangan lupa guys! Komen dan juga kasih review yaa..

Jangan lupa mampir ke cerita saya yang lainnya.

1. Not a CLassic Wedding

2. Jodoh [Aku yang Memilihmu], Partner In Crime [Sequel Jodoh [Aku yang Memilihmu]]

3. Black Tears

4. Selingkuhan

5. Merakit Perasaan

6. Cinderella Scandal's : I'am CEO, Bitch!

Dukung terus anak anak saya yaa....

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semuanya yang sudah mengikuti cerita ini sampai sejauh ini. Nunggu upnya luama banget, jangan lupa tab love terus komen ya guys. Biar anak saya rankingnya semakin naik. Saya jadi tambah semangat buat nulis kalau rangkingnya naik. wkwkwkwk

PYE! PYE!

Note : Saya akan lebih sering up lagi lho, stay tune....