Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu [SLOW UP]

🇸🇬dewisetyaningrat
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 51.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Tulisan Tangan Berbeda

New York City, September the thirteen, 2019

Udara pagi cukup dingin bagi seorang yang berasal dari Asia 3°C, memberikan kesan ingin berlama-lama dalam tidur. Namun suara alarm kumandang Azan subuh telah terdengar, pria itu bangkit dan meraih Handphonenya menunggu sesaat kemudian mematikan benda itu dengan tangkas setelah selesai mendengar seluruh lantunan ajakan mendirikan solat.

Dia memutuskan untuk sholat di apartemen-nya pagi ini. Kerja lembur hingga larut membuatnya merasakan rasa lelah di tengkuk leher dan beberapa sudut punggung. Termasuk rasa malas menerjang di pagi ini untuk hadir dalam jamaah subuh di masjid biasanya.

Memang cukup berjarak dan perlu niat luar biasa untuk hadir di sana. Apalagi di pagi yang dingin merasuk tulang. Sesungguhnya tantangan semacam itu telah dia tempuh berkali-kali sebab pria ini jarang absen kecuali kondisi tubuhnya kurang mendukung Seperti pagi ini.

.

.

"Good morning guys!!".

"Why don't you come to the mosque". Pria Pakistan itu menyapanya di sela-sela perjalanan menuju One World Trade Centre. Gedung tempat keduanya bekerja. Mereka menjadi akrab karena tidak banyak muslim yang berkerja di gedung One WTC.

Setelah 13 tahun menara kembar World Trade Center hancur akibat serangan teroris pada 11 September, gedung baru WTC kembali dibuka. Dengan nama One World Trade Centre, Gedung bertingkat 104 lantai itu dibangun selama 8 tahun dengan biaya US$ 3,8 miliar atau setara Rp 31 triliun itu merupakan gedung tertinggi di Amerika Serikat.

Jalanan terasa lembab begitu juga dengan udara, sama-sama berbalut mantel tebal untuk menghangatkan tubuh. Melewati monumen runtuhnya WTC yang kini bernama National September 11 Memorial and Museum.

Bekas 2 menara kembar yang kini menjadi kolam air terjun kembar. Air terjun berbentuk bujur sangkar dan masing-masing luasnya 4.000 m2, serta menjadi kolam air terjun buatan terbesar di AS.

Air terjun didesain untuk jatuh ke arah dalam, ke bagian yang dulu menjadi bagian basement gedung. Maksudnya agar suara gemuruh air terjunnya lebih menggema dan bisa meredam kebisingan kota New York. Efeknya membuat suasana di taman ini begitu kontemplatif untuk setiap orang yang melewatinya.

Dan mereka terhenti sesaat, tidak jauh dari monument yang tertuliskan nama 2 ribu korban. Hamzah dan Yazan menunggu seseorang, lelaki sesama muslim terlihat berlari kecil menuju keduanya.

"Assalamualaikum nem aisdiqa' ". (salam ya sahabat)

Mereka berbalas salam. Saling menepuk pundak melanjutkan perjalanan menuju One WTC.

"Aku punya sesuatu untuk kalian". Pria yang datang terakhir adalah laki-laki Turky, Utsman. Membawa dua bekal makanan buat sahabatnya. Kebiasaan yang membuat dua sahabatnya yang lain selalu merasa tersanjung. Utsman memiliki istri berdarah melayu, walau perempuan itu lebih banyak tinggal di England dan kini mengikuti suaminya tinggal di USA.

Hamza selalu merasa berada di Indonesia tiap kali merasakan masakan istri Utsman. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan tiap kali bisa menikmati makanan dengan unsur Melayu. Namun dasar dia berdarah Jawa, pria ini lebih banyak menyuguhkan rasa sungkan (Emosi yang merupakan perpaduan dari malu,segan,enggan dan hormat)

"Kamu dan istri mu selalu terlalu baik, bagaimana aku harus membalasnya". Hamzah menerima bekal untuk kesekian kali, tidak terhitung banyaknya.

"Doakan anak kedua kami lahir dengan selamat atas izin Allah SWT". Utsman tersenyum.

"Amiiin". Keduanya membalas serempak.

Putra pertama Utsman lahir prematur dan tiga bulan setelahnya Allah lebih sayang kepada si kecil. Hamzah sempat menemani Utsman bolak-balik ke rumah sakit ketika bayi kecil tersebut mengalami masa kritis.

Di kota semegah dan sesibuk New York City, tidak banyak orang-orang yang saling peduli satu salam lain atau saling guyup rukun ala kampung-kampung di Indonesia. Hamzah sungguh beruntung menemukan mereka dalam lingkaran paling minoritas di dalam Gedung tinggi bertingkat, One WTC.

Utsman dan dirinya sama-sama bagian dari industri penerbitan raksasa, Conde Nast.

Conde Nast sendiri adalah perusahaan media massa yang berkantor pusat di One World Trade Center, New York City. Perusahaan ini menarik perhatian 164 juta konsumen melalui 20 merek media cetak dan digitalnya: Allure, Architectural Digest, Ars Technica, Bon Appétit, Brides, Condé Nast Traveler, Details, Epicurious, Glamour, Golf Digest, Golf World, GQ, Lucky, The New Yorker, Self, Teen Vogue, Vanity Fair, Vogue, W, dan Wired.

Hamzah dan Utsman berkecimpung dalam naungan media cetak yang sama Architectural Digest. Dan hari ini sesungguhnya adalah hari yang cukup spesial bagi laki laki bernama lengkap Fathan Hamzah Asidqi setelah 3 tahun berkarir di Architectural Digest untuk kedua kalinya dirinya mendapat promosi yang menjanjikan.

Pria lulusan Master of Urban Design University of California, mendapatkan posisi ini tanpa banyak usaha sebenarnya. Tiga tahun yang lalu secara tiba-tiba mendapatkan rekomendasi dari doctor Austyn pembimbing tesisnya, rekomendasi yang mahal bagi banyak mahasiswa apalagi mahasiswa Asia. Dia di amanahi menjadi bagian dari Conde Nast.

Setelah keputusan berat untuk tetap menetap di USA. Hamza sempat berniat pulang beberapa kali. Termasuk ketika kakek yang membesarkannya telah lanjut usia dan dikebumikan tanpa sempat mempersembahkan solat jenazah terbaiknya.

Pukulan yang lebih berat adalah kolega Ibunya yang secara terang-terangan meminta dirinya untuk ikut andil dalam kecamuk dunia politik yang dia benci.

Mereka mendesak diwaktu paling tidak tepat. Dalam masa duka mendalam. Kakung yang memberinya banyak hal tak ternilai telah tiada apalagi yang harus dia pertahankan di Indonesia.

"Hamzah". Utsman berbisik setelah mereka tinggal berdua saja. Yazan telah berpamitan menuju lantai tempatnya bekerja.

"Ya".

"Besok adik Rahmah (Istrinya) datang dari Malaysia. Bisakah kau hadir dirumah ku?".

"Kau begitu lagi..".

"Ya.. kamu pemuda yang setengah sempurna. Kecuali segera menikah. Usia mu sudah cukup matang, karir mu cemerlang dan solat mu terjaga. Sekarang tinggal apa lagi?". Kalimat tanya ini sudah terlampau sering dia dengar.

Hamzah hanya tersenyum.

"Jawaban ku masih sama. Aku butuh waktu, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal untuk melangkah kesana".

"Apa aku perlu menyerukan haditsnya bung?".

Mereka pun tertawa.

"Boleh aku minta bantuan, kalau pekerjaan mu tidak padat?". Hamzah meminta tolong.

"Ya sekarang bukankah kau sesungguhnya sudah resmi jadi atasan ku hari ini".

"Tolong jangan bilang seperti itu".

"Sebutkan saja, aku pasti menolong mu.. Apakah tentang perpindahan meja kerja?"

"Bukan, barang ku tidak banyak.. aku hanya bingung dengan pesta yang teman-teman inginkan".

"Kau tahukan maksud ku apa?". Hamzah menambahkan.

Sebuah pesta syukuran jika itu di Indonesia. Namun untuk kota ini tradisinya akan berbeda, konsepnya juga berbeda dan minumannya tidak mungkin dia bisa hidangkan.

"Aku akan coba ikut memikirkannya. Tapi aku yakin jika kita bisa bicara dengan benar, Rekan-rekan bisa memahami. Kalau perlu kita sampaikan di awal bahwa ini bukan pesta, hanya makan bersama sebagai ucap rasa syukur".

"Ide mu bagus, artinya bagi yang tidak berkenan meraka tidak perlu datang".

.

.

Hamzah menuju meja kerja, mulai mengais dan memasukan beberapa buku kedalam kardus. Dia akan menempati jabatan baru.

Laci-lacinya dikosongkan termasuk laci paling bawah yang jarang dia buka.

Laci tempat dirinya membuang semua surat yang diterima dari Indonesia. Terlalu jenuh mendapat desakan dari para kolega ibunya. Dia putuskan menonaktifkan email, Facebook, Twitter bahkan ganti nomor telepon.

Dan akibatnya mereka bertubi-tubi mengirimkan surat secara manual. Setelah semua perpindahan beres laki-laki ini berniat membuang semua sampah dari laci-lacinya. Membaca sekilas isinya.

Dan terhenti sejenak.

Matanya menangkap sesuatu ketika sebuah surat terlepas dari tangannya, jatuh tersungkur dengan tulisan tangan berbeda.

Pengirimnya Az Zahra.

Memori jangka panjang berkelana jauh terbang ke sebuah sudut ruang wudhu masjid dekat pondok pesantren di tepian kota kecil Jawa Timur. Lalu berlari ke tepian jalan didepan rumah gadis itu, jendela lantai dua berwarna putih. Termasuk buku-buku di salah satu lorong dalam perpustakaan daerah tempat menyisipkan pesan.

_Mungkinkah ini gadis yang sama?_

Dia memeriksa semua surat yang awalnya dikira sampah. Ada 2 surat dengan nama pengirim sama.

Rasa penasaran tak bisa terbendung. Dibuka secepat kilat agar segera bisa menangkap pesannya.

Assalamu'alaikum

Kepada. Fathan Hamzah Asidqi

Ditempat

Masih ingatkah ikrar yang terucap untuk saya?

Haza Mau'iduna, Baini wa bainak

'Asallah an yuwaffiqona 'ala ma nahnu alaihi

Inilah perjanjian kita, antara aku dan kamu. Semoga Allah menolong kita atas apa yang kita perjanjikan.