Chapter 3 - Memegangi Dada

Akhirnya pemuda yang berlama-lama dalam simpuhnya berdiri juga menanggalkan tempat sujud yang dari tadi setia dia duduki.

"Utsman, apakah nanti ada waktu untukku. Maksudku Aku butuh sedikit pendapat seseorang yang bisa aku ajak bertukar pikiran. Aku rasa orang itu tidak lain adalah dirimu" Hamzah perlahan membuka bekal makanannya. Sesungguhnya ini bekal makan yang dibawakan istri Utsman.

"Tepat sekali aku juga ingin mengundang muka ke rumah. Sepertinya kita berdua memang punya chemistry" Utsman menyuguhkan senyum cerah di wajahnya.

"ada apa ini? Kenapa saudara aku tersenyum seperti itu"

"Lihat saja aku punya kejutan untukmu"

Hamzah mengerutkan alisnya tak biasa Utsman berperilaku demikian.

Seiring cara sahabatnya membuka bekal pula, keduanya memanjatkan doa. Dan salah satu dari mereka yaitu Hamzah itu sendiri kembali ke tempat wudhu untuk membasuh tangannya.

Dia lebih nyaman makan dengan telapak tangannya sendiri, akan terasa nikmat daripada menggunakan alat bantu yang memiliki cekungan berbentuk oval dan terbuat dari logam campuran besi dan aluminium.

Keduanya makan tanpa bicara, sebuah cara untuk menikmati rasa syukur. Hamzah yang paling banyak bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya. Cara Utsman membawakan bekal makan siang hampir tiap hari adalah kepedulian menjaga asupan makanan halal untuk saudara sesama Muslim.

Di kota ini tidak mudah menemukan makanan halal yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Terlebih seorang pria yang masih hidup sendiri, begitu banyak cobaan yang mendasari ungkapan enggan untuk mengolah makanannya sendiri.

"Bagaimana cara ku membalas kebaikanmu, rasanya gaji ku tiap bulan tidak akan cukup untuk membayar kebaikan yang kau berikan padaku" ungkap Hamzah setelah menutup bekal kosong tanpa sebutir nasi pun yang tersisa.

"Apa kau lupa kita bersaudara, kau seolah mempertanyakan keikhlasanku"

"bukan begitu Utsman"

"hehe aku sedang bercanda" keduanya tersenyum mengawali gerakan meninggalkan Park 51.

.

.

Sejalan dengan ritmenya bekerja, Hamzah sempat melirik beberapa kali lacinya. Dia begitu penasaran ingin segera membaca seluruh isi surat dengan tulisan tangan berbeda.

Ketika memimpin rapat terbatas bersama timnya pun, kertas itu masih saja membayangi.

Sejenak dia minta izin untuk menenangkan diri. Mundur dari kebisingan diskusi antar divisi di bawah naungannya.

Pria itu menyelinap mengusap dadanya beberapa kali, mengingat sebuah petuah lama yang diajarkan salah satu ustad di sebuah pesantren pelosok Jawa Timur.

"Dalam kitab Minhajul Abidin Ila Jannati Rabbil Alamin, Imam Ghazali menyebutkan sebuah doa dalam Al Qur'an. Doa tersebut merupakan doa yang diajarkan kepada Nabi Muhammad agar mudah menyingkirkan pikiran-pikiran negative yang membahayakan. Doa tersebut termaktub dalam QS Al Mu'minun ayat 97-87:

Waqur rabbi a'ûdzubika min hamazâtis syayâtîn wa a'ûdzubika rabbi ay yahdlurûn

(Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku berlindung kepada-Mu ya Allah dari gangguan setan. Aku juga berlindung kepada-Mu dari kepungan mereka,' "

Demikianlah yang diajarkan ustad tempatnya menempuh ilmu agama selama hampir 3 tahun. Sebuah tempat yang merubah hidupnya secara drastis, tempat yang dulu sangat dia tolak.

Di hari pertamanya sampai di pesantren tersebut. Hamzah muda yang terbiasa hidup bebas ala kota metropolitan Surabaya, pernah berlari menyusup dan bersembunyi di lokasi yang terlarang untuk pria.

Tempat wudhu Putri masjid Ulul Albab. Tempat di mana dia pertama kali menatap Az-Zahra, gadis pendiam putri ustad Zakaria. Gadis itu hampir saja berteriak, ketika seorang pria mendesahkan kata : "huuusss.."

Agar dia tidak mengeluarkan suara. Karena di luar sana polisi pesantren yang terdiri dari kakak tingkatnya sedang berkeliling mencari dirinya.

Saking terkejutnya gadis itu sempat menjatuhkan hijab yang barusan dia buka. Az-Zahra berniat mengambil air wudhu sebelum mengajar anak-anak TPQ (taman pendidikan Alquran) yang menyebar hampir di seluruh surau surau dan masjid khas Jawa Timur.

Az-Zahra segera meraih hijab basahnya dan mengenakan begitu saja terburu-buru tanpa bicara, ia bahkan mengurungkan niatnya untuk berwudhu.

Sedangkan Hamzah membeku seperti patung, rambut bergelombang halus sang perempuan dipadu-padankan dengan wajahnya yang manis dan damai membuat pemuda itu terpana seketika.

Hal pertama yang diungkapkan Hamzah untuk menyapanya : "Hai kau sangat cantik, mengapa kau tutup kecantikanmu?"

Sedangkan Az-Zahra seolah keberatan mendengarkan kalimat tanya dari Hamzah serta merta menyatukan alisnya, lalu beranjak pergi. Tepat langkah kaki yang ke tiga dia berbalik, tapi tak menatap dirinya.

Remaja yang unik di mata Hamzah. Kala dia membuat sebuah alasan kenapa dirinya harus menutupi sesuatu yang cantik.

"Anda ingin tahu kenapa aku menutupnya?"

"Ya.. sangat, Aku penasaran"

"Buatlah dirimu tertangkap oleh mas masmu polisi pesantren, kembalilah dan belajar lagi di sana kau akan temukan jawabannya"

"Ah' tempat itu sangat berat dijalani. Boro-boro main game pegang HP aja nggak boleh"

"Ma jadalt ealimana 'illa ghalabtuh wala jadalt jahilana 'illa ghalabani. Kalimat Imam Syafi'i yang dikutip dari Mafahim Yajibu an Tushahhah. Artinya, "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya."

"Em.. Apa itu artinya kau sedang menghinaku?" Sang putra pejabat yang sehari-hari berada di lingkungan metropolitan tanpa sentuhan agama. Berpikir keras untuk sekedar menemukan makna di atas.

"Hee.. aku hanya berpikir akan sia-sia berbicara denganmu, kecuali kau sudah memiliki ilmu" Si dia tersenyum lembut dibalik ungkapan menohoknya.

"Apa aku boleh ngobrol denganmu lebih banyak ketika aku sudah berilmu? Em.. maksudnya aku butuh teman, tempat ini sangat aneh dan asing untukku"

"Kita lihat saja nanti"

_kalau dia sudah berilmu tak mungkin dia mengajakku ngobrol lebih banyak_

Tiga belas tahun kemudian yaitu saat ini, Hamzah hanya bisa tersenyum mengingatnya. Kebodohan yang secara nyata dia pertontonkan.

Tapi sekarang hal yang sama sepertinya terjadi lagi, dia mempertontonkan senyum di hadapan rekan kerjanya tanpa alasan.

Hamzah mengulanginya beberapa kali doa yang diajarkan padanya, mendapati dirinya resah luar biasa. Dia yakin hanya doa yang bisa membantunya.

Sudah berapa tahun dia mengabaikan perjanjian antara dirinya dan Az Zahra.

Bagaimana kabar gadis itu?

Apa dia masih sendirian, atau jangan-jangan sudah menikah?

Surat itu tampaknya sudah usang, bisa jadi terbungkus di laci beberapa bulan yang lalu atau jangan-jangan lebih dari satu tahun.

Pada lafaznya yang ketiga, Hamzah kembali ke meja tempat duduknya. Membaur dalam diskusi hangat konten-konten yang akan diangkat majalah Architectural Digest.

.

.

"limadha eaqd sadruk , ya sadiqi"

(Kenapa kau memegangi dada mu, sahabatku) Ustman menatapnya lekat.

"Apa kelihatan sekali?" Hamzah akhirnya mengelus dadanya sekali lagi sambil beristighfar.

"Atau jangan-jangan batin mu bisa merasakan bahwa aku akan memperkenalkan adiknya.." belum usai Utsman berucap.

Lelaki yang sedang bergetar jantungnya tak lagi bisa mengontrol diri : "Aku ingin pulang ke Indonesia"

"Oh' maaf tadi Kamu bicara apa?" suara gurauan sekelompok anak muda di ujung sana membuat suasana New York City Subway riuh sejalan dengan terpecahnya konsentrasi Hamzah.

New York City Subway merupakan sistem angkutan transportasi umum tercepat, tertua dan terluas di dunia, dengan 468 stasiun yang beroperasi dan rute sepanjang 209 mi (337 km) yang dijabarkan menjadi 656 mil (1056 km) rel operasi serta 842 mil (1355 km) rel non-operasi. Tahun 2010, jaringan kereta bawah tanah ini melaksanakan 1,604 miliar perjalanan dengan rata-rata lima juta (5.156.913 perjalanan) pada hari kerja.

New York City Subway adalah sistem angkutan cepat kereta tersibuk keempat di dunia menurut jumlah penumpang tahunan, setelah sistem angkutan cepat di Tokyo, Moskwa, dan Seoul.

Sembari menerobos kebisingan dibalik sistem angkutan kereta api tersibuk, percakapan mereka masih berlanjut.

"Adiknya Rahma, dia baru tiba kemarin dari Malaysia, Aku berharap kau bisa membuka dirimu untuk segera melengkapi separuh agamamu" sayangnya Utsman menangkap ekspresi terkejut yang jarang ditunjukkan Hamzah.

"Jangan terbebani, walau aku adalah sahabatmu, semua keputusan tetap ada pada dirimu. Harapanku semoga kau segera menikah itu saja, usiamu sudah cukup genap bukan? mau menunggu apa lagi?"

Hamzah tersenyum, mengurungkan niatnya tentang kegundahan hati yang ingin dia ceritakan pada sahabatnya.

"shukraan ya sadiqi"

(terima kasih sahabat). Hanya kalimat itu yang bisa terucap dari mulut Hamzah, dia tahu temannya sedang mengupayakan kebaikan untuk dirinya.

.

.

"Assalamualaikum..". Salam yang menggema disambut dengan riang dari balik pintu. Rahma keluar memeluk dan mencium pipi suaminya.

"Orang Melayu memang selalu ramah" Ustman melempar ungkapan itu untuk menyentil hati Hamzah.