Setelah pertarungan melawan para penantang usai, Shiro kembali bermalas-malasan di teras depan rumah warga. "Sial, tidak aku sangka jika versi nyata dari misi menjaga desa bisa sangat merepotkan seperti ini." kata Shiro memandangi para warga yang kembali sibuk melakukan persiapan pemakaman.
Dari kejauhan terlihat Turi yang datang bersama beberapa pemuda dan terlihat seperti sedang membawa sesuatu. "Tuan, kami telah mengumpulkan senjata yang tadi anda minta." kata Turi yang kemudian menyuruh para pemuda yang ikut dengannya menaruh barang bawaan mereka di samping Shiro.
"Baguslah." kata Shiro lirih menoleh ke tumpukan berbagai jenis senjata yang ada disampingnya.
"Tuan, kalau boleh saya tahu, kenapa anda membiarkan kawanan Monster tadi pergi?" tanya Turi penasaran dengan keputusan Shiro membiarkan kawanan Master Panda yang telah menyerang desa pergi begitu saja.
Tanpa menoleh ke arah Turi, Shiro menjawab pertanyaan dari pria tua tersebut dengan cukup santai. "Benar juga. Sebenarnya aku sendiri juga ingin tahu kenapa... Tidak seperti biasanya aku membiarkan kawanan uang yang ada di genggamanku pergi begitu saja. Tapi yang aku tau mereka bukanlah ancaman bagiku, jika suatu saat nanti mereka ingin balas dendam kepadaku, maka yang perlu aku lakukan hanyalah melawan mereka."
Perlahan Shiro mengubah posisi duduknya menghadap ke tumpukan senjata tersebut. "Mereka mencoba untuk menggigitmu, mengoyak tubuhmu, membunuhmu dan bahkan memakanmu, tapi mereka adalah Monster..." Shiro mulai memilih senjata untuk dijadikan sebagai peralatan utamanya. "Lebih mudah mengerti perilaku mereka daripada manusia yang mencoba untuk mendekatimu, menjadikanmu teman dan kemudian menusukmu dari belakang." Shiro mengambil sebuah pedang tua dan mengangkatnya tepat dihadapannya. "Daripada manusia yang hanya bisa membuatku hidup tertekan dan menderita, aku lebih menyukai Monster yang bisa aku bunuh tanpa menyebabkan timbulnya perasaan bersalah. Lagipula.. Siapa juga yang tega membunuh makhluk lucu seperti kawanan panda tadi?" kata Shiro menutup penjelasannya dengan memandang wajah Turi.
"Hmm.. Jadi apa di dunia para Senshi berasal, manusia lebih kuat dari para Monster, tuan?" tanya Turi penasaran.
"Benar, dan juga lebih kejam." kata Shiro lirih memandangi pedang yang ia pegang.
"Saya mengerti. Kalau begitu kami permisi untuk melanjutkan persiapan pemakaman." kata Turi mengajak para pemuda tadi pergi meninggalkan Shiro.
Shiro hanya termenung melihat mereka pergi menjauh, dia bahkan tidak mengucapkan rasa terima kasih kepada para warga yang telah membantunya mengumpulkan senjata yang berserakan di desa.
Dia kembali memilih senjata yang ia rasa cocok untuk ia pakai sebagai senjata utama.
Diantara sekian banyak senjata yang ada di hadapan Shiro, sama sekali tidak ada senjata dengan kualitas Common atau lebih tinggi, semuanya berkualitas Poor yang merupakan kualitas yang paling rendah.
Sebuah pedang bergerigi telah menarik perhatiannya, hanya saja pedang tua tersebut terlihat tumpul dan sedikit rusak. Pandangan Shiro kemudian teralihkan setelah dia menemukan katana panjang yang tertimbun oleh tumpukan pedang lain, sebuah pedang yang dipenuhi karat dan hampir tidak bisa lagi disebut sebagai sebuah pedang.
============================
{Item Name} : Broken Sword
{Quality} : Poor
{Durability} : 5 Poin
{Ability} : Tidak Valid
{Note} : Tidak Valid
============================
Sebuah ide terlintas di benak Shiro, bukannya membuang pedang berkarat tersebut, ia malah memasang pedang itu sebagai peralatan utamanya. Walaupun terlihat hampir tidak bisa digunakan untuk bertarung, akan tetapi ia masih bisa mendapatkan tambahan Attack Poin dari status pedang tersebut.
========================
*Broken Sword Equipped*
+25 Attack Poin.
========================
"Apa?? Hanya 25 Attack Poin?!" Shiro terkejut melihat tambahan attack poin yang diberikan oleh pedang berkarat itu.
Di dunia Emross semua jenis benda memiliki daya tahan atau Durability, dan untuk peralatan perang seperti pedang dan lain sebagainya, semakin berkurang daya tahan dari benda tersebut semakin lemah pula manfaat yang diberikan. Misalnya sebuah pedang berkualitas Poor memiliki Durability sebesar 100 Poin (100%) dan memberikan tambahan attack sebesar 500 Poin, jika Durability dari pedang tersebut telah berkurang hingga 30 Poin, maka tambahan attack poin yang diberikan oleh pedang tersebut hanyalah sebesar 30% yaitu 150 Poin.
"Cih! Apa durability dari pedang ini juga mempengaruhi statusnya?" keluh Shiro dengan wajah kesal.
Beberapa saat kemudian Turi kembali datang menghampiri Shiro. "Tuan, semua persiapan sudah selesai."
"Lalu?" tanya Shiro melihat wajah dari pria tua tersebut.
"Kami sudah siap untuk melakukan pemakaman."
"Kelihatannya juga seperti itu, lalu? Apa hubungannya denganku, aku bukan seorang penggali kubur." kata Shiro dengan raut wajah datar.
"Saya dengar anda telah menerima misi untuk melindungi desa ini, saya harap anda bisa ikut ke area pemakaman untuk mengawal para warga melakukan prosesi pemakaman." jawab Turi dengan penuh hormat.
"Ah, jadi begitu. Benar juga.. Sebenarnya mengawal kalian keluar dari desa adalah sesuatu yang berada diluar kontrak kerjaku. Seharusnya prajurit tadi memberikan detail misi untuk melindungi warga desa, bukannya desa ini sendiri. Tapi sudahlah, lagi pula aku juga lagi bosan berdiam diri disini."
"Terimakasih banyak, tuan." kata Turi menjawab kebaikan hati Shiro.
Shiro langsung memasukkan semua senjata yang ada dihadapannya ke dalam ruang penyimpanannya. Dia lupa untuk terlebih dahulu mengganti senjata utamanya dengan senjata lain, dan masih memakai pedang berkarat tadi sebagai senjata utamanya.
Sambil berjalan menuju gerbang, Shiro iseng bertanya kepada Turi yang sedang mengikutinya dari belakang. "Aku penasaran jika di dunia ini ada rokok.."
"Seperti apa benda tersebut, tuan?" jawab Turi penasaran.
"Jadi tidak ada, ya? Hmm... Bentuknya kecil, terbuat dari tembakau yang dibungkus oleh kertas dan saat dibakar bisa mengeluarkan asap." jawab Shiro membayangkan sebatang rokok yang sedang menyala.
"Bukankah semua benda yang dibakar dapat mengeluarkan asap, tuan?" jawab pria tua itu dengan nada polos.
Mendengar pertanyaan polos dari Turi, secara refleks Shiro menoleh ke arah pria tua tersebut. Dia merasa bodoh dengan apa yang telah dikatakan oleh dirinya sendiri. Karena merasa kesal, Shiro mempercepat langkah kakinya meninggalkan Turi.
"Tuan, tunggu saya!" teriak Turi yang berusaha untuk mengejar Shiro.
.
.
Di sebuah tempat kumuh di pinggiran benteng ibukota.
"Oowh.. Apa benar bangunan ini dijual dengan harga 50.000 Gold??" kata Seorang Senshi yang terlihat sedang memandangi sebuah bangunan lantai 2 yang sudah tua dan berlumut.
============================
Name : TukangSantet
Sex : Male
Age : 25
Class : Summoner
Level : 70
Title : Occult Master
Guild : Gentayangan, Guild Master
============================
Seorang Summoner bergelar Occult Master tersebut adalah TukangSantet, seorang pemain lama yang memimpin aliansi Gentayangan. Sama seperti Shiro, TukangSantet merupakan pemain yang berasal dari Nusantara.
"Benar, tuan. Itu adalah harga yang normal. Akan tetapi bangunan ini sangatlah kotor dan tidak terawat. Jika anda berkenan, saya bisa tunjukkan bangunan lain yang lebih bagus." kata seorang NPC paruh baya yang sedang berdiri disamping TukangSantet.
*****************************************
NPC Status : LandLord of Sumber District
Name : Pandi
Sex : Man
Age : 51
Level : 8
XP : 311/11.500
Power : 965 CP
HP : 550 (+165)
MP : 0
ATK : 100
DEF : 150
STA : 91/100
Speed : 6 Meter/Second
Recovery :
-HP : 8/Minute
-MP : 0/Minute
-STA : 12/Hour
Skill : Organization
Accessories : {Level 3} Topaz: +HP 30%
Note : Walaupun Pandi merupakan bangsawan kelas bawah yang hanya menguasai daerah kumuh seperti distrik Sumber, akan tetapi Pandi sangat dihormati oleh para warga karena keramahannya terhadap warga miskin.
*****************************************
Distrik Sumber adalah sebuah distrik kumuh yang dihuni oleh para gelandangan dan orang-orang miskin. Walaupun Pandi terlihat memakai pakaian bersih nan rapi, akan tetapi penampilannya masih terlihat sangat sederhana untuk seorang bangsawan. Caranya berbicara pun menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang berpendidikan dan rendah hati.
"Tidak perlu, aku pilih yang ini saja, karena aku rasa uangku tidak akan cukup untuk membeli bangunan yang lebih bagus." jawab TukangSantet dengan wajah puas.
"Baiklah kalau begitu, tuan."
Setelah itu mereka pun pergi meninggalkan tempat tersebut dan menuju ke rumah Pandi untuk melakukan pembayaran dan penyerahan surat kepemilikan tanah.
Chapter Selanjutnya : 23. PVP