Albert Einstein pernah berkata, jikalau ilmu pengetahuan harus saling berhadapan dengan imajinasi, maka yang akan keluar sebagai pemenang adalah imajinasi. Tak ada yang membantah, mungkin karena kredibilitas Einstein sebagai ilmuwan jenius terbesar abad ini. Padahal, kejeniusan dan kegilaan tipis sekali batasnya.
Aku setuju dengan Einstein. Sering aku perhatikan berjam-jam, bagaimana teman-teman satu zaal ku ini begitu tenggelam dalam dunia imajinasi mereka sendiri. Ada yang mematung berjam-jam tak bergerak, ada yang berjalan mondar-mandir sambil ngomong ngaco nggak nyambung, selainnya kebanyakan mengambil posisi jongkok planga-plongo senyum-senyum sendiri, macamlah tingkah mereka.
Aku sendiri kalau sedang tidak terganggu suara bisikan-bisikan yang terus-menerus memenuhi kepalaku, suka membiarkan imajinasiku melayang kemana-mana. Sambil duduk seharian diatas kursi kayu kesayanganku, kunikmati imajinasiku mengembara menembus batas ruang dan waktu. Dari hutan hujan Amazon, menjelajahi Gurun Gobi di Mongolia sampai bertemu Odin di Planet Asgard.
Sayangnya suara-suara bisikan itu terus menerus memasuki kepalaku.
Hariyanto
Hariyanto
Hariyanto
Chapter 1
Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 aku satu SMU dengan Hariyanto. Berdua kami dianggap murid paling cerdas. Kami bergantian menjadi juara kelas, dan entah kebetulan atau memang disengaja, sejak kelas 1 sampai kelas 3 IPA 1 terus sekelas. Secara fisik kami juga menarik untuk ukuran dan standar cowo masa itu. Bedanya, aku dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan keluarga mapan secara ekonomi dan harmonis, sementara Hariyanto berasal dari keluarga broken home dan kurang beruntung secara materi.
Setamat SMU aku tembus STAN, sementara Hariyanto aku ngga tahu kabarnya melanjutkan kemana, aku terlalu larut dalam euforia hasil ujian akhir nasional yang menempatkanku diposisi teratas, mengunggulinya. Rumornya dia melanjutkan kuliah di Jakarta, ikut pamannya.
Bertahun-tahun berlalu, tak terasa semuanya berubah. Seiring dengan karirku yang makin moncer, akupun berumah tangga, dari istriku yang cantik aku mendapatkan sepasang anak cantik dan tampan. Sekilas tidak ada yang kurang dalam kehidupanku. Sepertinya kehidupan model inilah yang didambakan setiap pasangan muda, setidaknya menurut pendapatku.
Hingga kemudian aku bertemu lagi dengan Hariyanto. Pertemuan yang sama sekali tak terduga. Sore itu, aku tengah menikmati secangkir kopi di Khok Thonk saat seorang pria keren, langsing dan modis menepuk pundakku. Aku perlu beberapa detik untuk mereview tampangnya yang menjadi jauh lebih keren, macho dan karismatik dibandingkan pada saat masa SMU dulu, sebelum akhirnya berhasil mengenalinya. Dia mengguncang-guncangkan tanganku dengan semangat, senyum hangatnya mengembang. Kemudian kami duduk berhadapan.
"Well hampir dua puluh tahun ya bro…." Suaranya berubah menjadi berat dan agak serak. Ia memesan kopi seperti yang kuminum.
"Yahh…nggak terasa, kayak baru kemaren aja…." Ujarku.
Walau baru bertemu setelah dua puluh tahun berselang, kupikir pertemuan kami saat itu berjalan biasa-biasa saja. Sikap dan karakter alamiahnya yang tenang, irit bicara masih melekat. Ia tipe orang yang akan dengan senang hati menyimak lawan bicaranya dengan perhatian penuh. Tak heran kalau kemudian aku jadi terbuka menceritakan semua perjalanan hidupku padanya. Termasuk mengapa aku berada dikota ini selama dua minggu.
"Oke, dah terlalu banyak aku ngomong. Bagaimana denganmu?" Kusulut rokok dan menghembuskan asapnya, diantara kepulan asap kuperhatikan ia seperti berpikir mau mulai dari mana.
"Selepas tamat itu aku ke Jakarta… "
"Aku dibiayai dan ditampung dirumah pamanku…" Lanjutnya kemudian. Berarti rumor yang kudengar benar adanya. Ia mengambil jurusan Psikologi di sebuah universitas ternama. Mendapatkan beasiswa, dan menamatkan strata 1 nya lebih cepat setahun dari teman seangkatannya dengan predikat Summa Cum Laude. Lantas bekerja diperusahaan asing selama lima tahun kemudian menikah. Sayang, pernikahannya hanya bertahan dua tahun. Lalu kandas bercerai tanpa anak. Dua tahun berselang dia resign dari perusahaan, dan tak pernah bekerja secara formal lagi sampai sekarang.
Dan tetap menduda.
Agak kaget juga aku mendengar otobiografi singkatnya, padat dan straight to the point. Wajah dan gigi geliginya bersih terawat, begitu juga dengan potongan rambut dan setelan pakaiannya. Sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang tanpa pekerjaan tetap selama tujuh tahun terakhir.
"Well….aku tau apa yang ada didalam pikiranmu..bro…" Ia meneguk kopi. Matanya berbinar. Kelihatan penuh percaya diri dan karismatik, kompleks kualitas personalnya membuatku sedikit terintimidasi.
"Eranya udah berubah…sekarang seseorang tidak perlu harus selalu berada dikantor untuk bekerja dan menghasilkan uang."
"Lagipula, bukankah kesuksesan seorang lelaki sekarang diukur dari seberapa banyak free timenya dibandingkan dengan rutinitas pekerjaan…"
Aku mengangguk setuju. Terbayang rutinitasku selama ini, yahh jujur saja setelah percakapan ini aku jadi merasa sedikit inferior dan konservatif, kalau tidak mau disebut ketinggalan jaman. Ngantor, tugas luar kota, mengikuti seminar-seminar, ikut Diklat lanjutan, mengambil kuliah lanjutan lagi, ngantor lagi…begitu terus siklusnya sampai nanti pensiun.
"Jadi apa sebenarnya yang kau kerjakan sekarang?…."
"Tebaklah? Kira-kira apa menurutmu.."
Kembali aku meneliti penampilannya. Ia bahkan terlihat lebih modis dariku. Kalau ada orang memperhatikan kami, pasti akan mengira status sosialku relatif lebih rendah darinya, kalau dilihat dari casing ya. Diatas meja, tergeletak smartkey Hondanya. Tadi sepanjang kami ngobrol aku sempat melepas pandang keparkiran, dan melihat CR-V Prestige terbaru disana, dugaanku itu tunggangannya. Ia memakai arloji mewah, aku ngga terlalu suka memakai arloji, jadi ngga bisa kutebak mereknya apa dengan melihat sekilas, juga aku ngga tau itu arloji mewah ori atau KW.
"Kau terlihat seperti bandar narkoba…" Kataku akhirnya. Lantas tertawa. Dia juga ikut tertawa.
Tiga tahun bersama di SMU dulu, kupikir aku tak pernah bergaul terlalu akrab dengan Hariyanto. Mungkin karena alam bawah sadarku dan alam bawah sadarnya secara otomatis memberi jarak diantara kami atas nama persaingan. Namun sekarang, setelah 20 tahun berlalu, batasan itu mencair kalau tidak mau dikatakan tak ada lagi. Aku menikmati pertemuan dan mengobrol dengannya.
"Emang ada potongan ya?"
"Mangkanya, ceritakanlah. Kau pikir aku dukun bisa tahu hanya modal melihat tampang.."
"Aku opportunis freelance, San…" Untuk pertama kalinya ia menyebut namaku, setelah sempat aku berpikir kalau mungkin saja dia lupa namaku dengan terus terusan memanggilku Bro. Oh bekerja freelance tokh. Biar kesannya keren dia tambahkan kata "Opportunis". Ya udah biarin aja.
"Dalam bidang?…"
"Menghubungkan orang-orang…"
Tak sadar mataku menyipit. Seperti tagline Facebook pikirku.
"Menghubungkan orang-orang apapun motifnya, termasuk menghubungkan hasrat primitif orang-orang…"
Dari awalnya agak bingung mendengar istilah yang digunakan untuk menjelaskan jenis pekerjaannya, aku malah jadi merasa geli akhirnya. Apakah ia sedang melakukan trik psikologis melalui manipulasi kata-kata, mempacking terminologi germo dengan kata-kata intelek sehingga mencitrakan kesan itu "profesi" yang legal? Pantas penampilannya perlente begini. Aku jadi ingat Robby Abbas.
"Terdengar seperti kombinasi antara makelar dan muncikari…"
Hariyanto hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
"Kalau makelar, aku percaya jika dilakukan dengan smart imbal hasilnya sepadan dan itu juga menjelaskan mengapa kau jadi tak mau lagi bekerja seperti orang kebanyakan pasca resign.."
Aku menegakkan punggung, lantas berbicara pelan sambil mencondongkan tubuhku ke arahnya.
"Tapi aku ngga tertarik obrolan kita, masuk secara teknis kesana…" Senyumnya mengembang.
"Berarti kau lebih tertarik soal menghubungkan hasrat primitif orang-orang itu ya, bro…"
Aku tersenyum dan mengangguk.