Di Usia menjelang 55 Tahun Pak Widodo Antasena masih memiliki fisik bugar dan prima. Perawakannya gempal tapi tegap, didapat dari latihan beban rutin yang menjadi hobbynya. Ia adalah salah satu direktur executive perusahaan kami. Dikamar itu ia duduk semeja dengan Mr. David Klein, expatriate US berdarah Jerman berusia 51 tahun. Ia adalah manager representative foreign investor. Sepintas wajah dan model rambutnya mirip mantan striker AC Milan asal Jerman Oliver Bierhoff. Perawakannya tinggi tegap khas bule Jerman, plus bulu bulu tangan lebat pirang kecoklatan. Dengan kecerdasan diatas rata-rata, meski baru setahun di Indonesia, Mr. Klein sudah fasih berbahasa Indonesia
Kedua petinggi kantorku itu dengan santai menyantap anggur diatas meja, sepertinya mereka sedang menunggu seseorang.
"Sebenarnya aku hampir tidak percaya, kita melakukan ini Pak Wid…"
"Ya kita lihat saja Mr. Klein…"
"Anda bilang perempuan ini adalah istri staff anda…"
"Yes Sir. Percayalah Anda tidak akan kecewa…."
Beberapa saat kemudian terdengar ketukan pelan dipintu. Pak Wid segera bangkit dan beranjak membuka pintu kamar. Terkejut bagai disengat kalajengking kulihat wajah Arbaleta muncul, agak pias dan tegang. Namun senyum hangat Pak Wid segera menenangkan debaran jantungnya yang meningkat. Ragu-ragu istriku melangkah memasuki kamar.
Dalam riasan tipis dan rambut tergerai lepas Arbaleta terlihat cantik dan seksi sekali. Ia mengenakan blouse merah cerah, dipadu dengan celana jeans hitam ketat menampilkan liukan pinggul sempurna, pantat padat montok dan paha yang sekal. Leher blousenya rendah membuat sebagian payudara montok Arlet nyaris melompat keluar.
Aku ingat tiga hari yang lalu ia memakai setelan ini saat video call denganku. Waktu itu ia mengatakan akan menjemput Nanda dan Tommy disekolah, aku sempat mengomentari blousenya, menurutku terlalu terbuka dan seronok, tapi ngga ditanggapinya karena katanya buru-buru.
Pak Widodo berbasa-basi sejenak menanyakan kabar, ia juga menawari minuman pada istriku. Laiknya seorang gentlemen sejati Pak Widodo memberikan segelas wine kepada Arlet. Lantas istriku duduk sambil meneguk wine nya disofa, kaki kanannya disilangkan.
"Anda tahu, Mr. Klein?…"
"Huummm…."
"Mrs. Arlet ini ternyata sudah lama memperhatikan saya secara diam-diam…dan sudah lama ingin ketemu saya secara personal seperti sekarang ini….hehhe.."
Wajah Arlet bersemu merah, ia jadi salah tingkah. Dan berusaha menutupi malunya dengan tertawa kecil sambil mempermainkan ujung rambut.
"Yahh abis gimana yachh pak…" Suara Arlet manja…" Mas Sandy sering banget sih cerita soal bapak kalau dirumah…."
"Yang bapak katanya tegas lah, problem solver lah…"
"Pemimpin yang pro sama anak buah lah….kayaknya suamiku tuch….hormat banget dech sama bapak…kan sayanya jadi penasaran…hihihih…"
"Maksudnya penasaran gimana mbak…" Kejar Pak Wid.
"Yachh penasaran ajahh, bapak tuch aselinya gimana sih orangnya , sampai segitunya Mas Sandy dirumah juga nyeritain mulu…"
Pak Wid tampak senang, sekaligus bangga mendengar itu.
"Wahhh beruntung sekali saya punya staf loyal begitu, jadi sekarang Mas Sandy nya mana?…."
Memutar bola matanya, wajah cantik Arlet seketika cemberut, bibir seksinya manyun, menggemaskan sekali.
"Kan bapak yang nyuruh lembur….tadi pas nelfon bilangnya paling cepat pulang lewat tengah malem deh kayaknya…."
Pak Wid dan Mr. Klein saling pandang, lalu tersenyum lebar.
Aku mulai merasakan tengkukku mengeras, sakit sekali. Terbayang bagaimana lelah dan stresnya aku mengejar deadline lemburan yang mendadak didelegasikan padaku, tiga hari lalu. Hampir pukul 02.00 pagi baru kelar kemudian pulang, menemukan rumah dalam keadaan kosong karena Arlet memutuskan membawa anak-anak menginap ditempat Mbak Aurelia, sewaktu kuberitahu aku akan lembur sampai lewat tengah malam.
Mr.Klein masih duduk dimeja sambil makan anggur, sementara Pak Wid kini duduk merapat disisi kiri istriku diatas sofa.
"Baedewai, sekarang udah kesampaian kan ketemu sama saya, mbak…"
"Iya pak…udah kesampaian deh…"
"Jadi udah puas?…"
"Iyahh…udah puas sich pak…ehhh hihihi"
"Tapi saya dengan Mr. Klein nya sekarang yang belum puas lho mbak…."
Istriku melirik Mr. Klein yang sedari tadi tak henti memandangi tubuhnya. Mungkin ada perasaan bergidik aneh dirasakannya berada sekamar dengan 2 laki-laki petinggi kantor dimana aku, suaminya bekerja.
"Ihh jadi gimana donk pak…kalau belum puas?…" Istriku mengerling menatap langsung mata Pak Wid.
Pak Wid tak lagi bersuara, ia rapatkan duduknya. Tangan kanan kokohnya dengan mantap tanpa ragu-ragu sedikitpun merengkuh bahu kanan Arlet, menarik kedalam pelukannya. Istriku memejamkan mata saat dengus napas pimpinan kantorku menerpa pipi dan wajahnya, sebentar kemudian bibirnya yang penuh dan seksi, habis dilumat bibir tebal Pak Wid.
Lidah Pak Wid menerobos dan saling memagut lidah Arlet, bertukar ludah dengan napas memburu. Tangan Pak Wid cepat bergerilya, menerobos masuk kedalam blouse dan bra Arlet, menyentuh, meremas gemas lalu menghela keluar bongkahan payudara montok, mulus dengan putingnya yang seketika mengeras merah kecoklatan.
Arlet paling ngga tahan kalau kedua putingnya dijiat-jilat, bukannya dikenyot. Dan itulah yang kini dilakukan Pak Wid, entah tau dari mana dia pusat titik rangsang Arlet, dengan lembut dan mantap ia menjilat-jilati kedua puting istriku bergantian. Efeknya dahsyat, langsung saja Arlet menggelinjang terbakar birahi, kedua putingnya keras mengacung. Puas membuat Arlet terbakar nafsu, Pak Wid segera melepas baju dan celananya.
Arlet yang terbaring disofa dengan payudara terbuka karena blousenya sudah tergulung diperut hanya diam melihat pimpinanku mulai melepas baju. Tak ada gesture penolakan atau keberatan, seolah-olah ia sudah tahu dan siap bahwa inilah yang akan terjadi padanya sewaktu memutuskan mengetuk pintu dan melangkah memasuki kamar ini. Sebentar saja tubuh gempal dan berotot itu telanjang didepannya. Penisnya tidak terlalu panjang tapi tebal dan luar biasa gemuk keras mendongak.
Dan bukan hanya itu, Mr Klein ternyata juga ikut-ikutan melepas baju. Dadanya yang bidang penuh bulu membuat Arlet bergidik ngeri, namun hal yang membuat napas Arlet seakan berhenti adalah batang berukuran super yang menggantung dibawah pusar Mr. Klein.
Dengan lembut dan gentlemen kedua petinggi kantorku membantu Arlet berdiri dari posisinya yang terbaring disofa. Sambil berdiri, Arlet pasrah membiarkan kedua laki-laki itu melucuti pakaiannya.
Mungkin Arlet merasa exiting sekali berdiri sama-sama telanjang begitu dekat dengan dua lelaki yang selama ini begitu kuhormati. Mungkin juga dia mulai merasakan bulu-bulu halus tubuhnya berdiri meremang. Sentuhan kepala penis Pak Wid di pantat kirinya, dan hangat membara kepala penis Mr. Klein dipaha kanan depannya pastilah membuatnya merinding.
Bagai mengagumi sebuah mahakarya seni, kedua pria itu dengan sabar dan lembut menyentuh dan mengekplorasi seluruh bagian tubuh Arlet. Mengusap, membelai, meraba dan meremas lembut. Aku percaya, Arlet selama ini tak pernah berbuat curang padaku, tapi dengan melihat ekspresi birahi wajahnya saat ini, aku benar-benar merasa bahwa, semua teori Maslow yang dikatakan Hariyanto saat itu 100% terbukti.
Arlet begitu penasaran tapi ragu ragu, kelihatan dari kedua telapak tangannya yang terus menerus, bergerak pelan-pelan mendekati masing-masing kejantanan mereka. Mungkin ia sebenarnya sudah tak tahan, ingin merasakan bagaimana tekstur, bentuk dan sensasinya menyentuh, memegang dan menggenggam bagian tubuh paling intim dari lelaki lain.
Ia pasti sangat berharap, salah seorang atau bahkan kedua laki-laki itu meraih dan membimbing tangannya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukannya, tapi sayang itu tidak terjadi. Pengalaman bercinta kedua lelaki itu jauh melampaui Arlet, bahkan mungkin jauh melampaui diriku. Sekali lagi aku menyaksikan bagaimana teori Maslow itu mewujud dalam bentuk style memperlakukan secara elegan wanita yang takluk, telanjang dan terbakar birahi dari pria-pria mapan yang sudah mencapai level aktualisasi diri.
Menggunakan punggung tangan dan telapak tangannya yang membuka Arlet menyentuh lembut kontol-kontol ngacung itu, insting primitif secara alamiah mengarahkannya untuk tidak melakukan apa yang tak diinginkan oleh pejantan-pejantannya, walau dalam hati betapa gemas Arlet tak sabar untuk meraih, menggenggam dan menenggelamkan batang-batang perkasa itu dalam kocokan tangannya.
Ia sentuh bagian kepala penis, ia gesekkan dengan sengaja punggung telapak tangannya disepanjang batang-batang keras itu, lalu ia usap-usap lembut kantung pelir dengan ujung-ujung jarinya. Dari lirikan matanya Arlet seperti takjub melihat bagaimana batang-batang itu kemudian mengangguk-angguk menyeramkan, dilingkari pembuluh darah membesar dan membengkak menahan banjir gelombang aliran darah.
Lalu Arlet merasakan tekanan lembut pada pundaknya. Dengan takzim Arlet kini bersimpuh dihadapan kedua bos besar perusahaanku, wajah cantiknya sejajar menghadap dua kejantanan jumbo size, jauh melampaui milikku suaminya. Saat Pak Wid memegang kepalanya, tanpa diminta Arlet membuka mulut, menjulurkan lidah yang merah basah, dan membiarkan batang gemuk tebal itu menerobos mantap memasuki mulutnya.
Hariyanto mengirim file premium sesuai spesifikasi yang kuminta. Kualitas visual dengan resolusi tinggi dan kualitas audio paling jernih membuat aku dapat mendengar jelas desahan Arlet tiap kali Pak Wid menekan masuk kontolnya. Suara kecipak ludah melumasi batang penis keluar masuk mulut terdengar begitu real. Bagai simpofi, kini kepala Arlet mengangguk-angguk pelan mengeluar-masukkan kontol Pak Wid dimulutnya. Monyong-monyong bibirnya melingkari batang gemuk itu, dengan gemulai jemari lentik tangan kirinya meraba-raba dan meremas lembut kantung pelir, sementara telapak tangan kanannya mengocok kontol jumbo Mr. Klein.
Aku tak tahu berapa candid kamera dengan resolusi tinggi dipasangkan diseantero kamar itu, tapi yang jelas aku dapat melihat sungguh erotis tubuh telanjang istriku, bersimpuh memuaskan nafsu kedua pejantan dengan mulut dan tangannya dari berbagai sudut pandang. Ada yang tampak belakang, tampak samping, tampak depan dan tampak dari atas. Aku harus mengakui bahwa Hariyanto, benar-benar seorang yang super jenius.
Simfoni lembut, syahdu dan melankolis itu ternyata hanya berlangsung di delapan menit pertama. Karena setelah itu yang kulihat adalah kebuasan. Saat Mr. Klein mengambil alih mulut Arlet, dengan kasar ia mengeluarmasukkan kontolnya yang besar dan panjang. Tanpa perasaan ia raih kepala Arlet, mendorong dan menekan ke kontolnya berulang-ulang, mata Arlet terbelalak kaget. Desahan Arlet seketika berubah jadi lenguhan. Rambutnya yang tadi tergerai seksi, kontan kusut berantakan. Lama lama lenguhannya makin keras, dan makin sering, kadang diiringi suara tersedak batuk-batuk dan suara seperti orang mau muntah.
Kepalaku pusing berdenyut-denyut. Rasanya aku tak sanggup lagi mereport apa yang sedang kutonton.
Seperti anjing, sekarang Arlet merangkak nungging diatas alas beludru yang melapisi lantai marmer. Dari belakang si bule dengan full speed menggenjot memeknya. Kedua tangan kekar berotot dan penuh bulu itu mencengkram mantap pinggul pejal Arlet. Setiap kali mencoblos kedepan, tangannya menarik pinggul Arlet kebelakang, membuat pantat mulus montok itu mantul-mantul demikian erotis.
"Ugghhh….uuggghh….huuuggghhh…mmmhhhm…"
"Ugghhh…uuughhh…uggghhhhh…mmhhhhh…"
"Ugh…Ugh…huugghhh…mmmhhhh"
Pandanganku mengabur mendengar serasinya lenguhan Arlet dengan gerakan Mr. Klein. Semakin kencang dan bertenaga bule itu memompa memeknya, semakin keras dan pendek lenguhannya. Sebaliknya bila pompaan dilakukan dengan gerakan pelan dan lambat, lenguhannyapun seketika melemah disusul desahan panjang seperti kepedesan.
Selagi ia di doggy, Pak Wid berdiri didepannya. Penis gemuknya mencacak, ereksi menonton Arlet melenguh panjang pendek, mendesah-desah kepedasan dan kadang menjerit tertahan terguncang-guncang menerima hunjaman demi hunjaman kontol besar dimemeknya.
Dari cara Arlet balas menatap nanar Pak Wid meski ia sedang di doggy, aku merasa ia seperti sudah dipersiapkan untuk ini semua. Ketika Mr. Klein memelankan tempo lantas berhenti dan mencabut penisnya, Arlet hanya diam mengatur napas, ia sama sekali tak bergerak dari posisinya yang menungging. Ia menunggu.
Dan Arlet tetap diam saat Pak Wid mulai bergerak dibelakangnya. Tidak seperti Mr. Klein yang memasukinya dari belakang sambil berlutut. Pak Wid berdiri mengangkangi pinggulnya, ia tekuk kedua lututnya, membungkuk memeluk, meraba dan meremas kedua payudara besar Arlet yang menggantung. menciumi tengkuk, telinga dan leher Arlet, membuat istriku menggelinjang. Ia berbisik ditelinga Arlet, begitu lembut hingga aku tak tahu apa yang dibisikkannya. Yang aku lihat kemudian adalah Arlet beringsut merapatkan paha, dan menunggingkan pantatnya lebih tinggi.
Ia masih terus menghujani Arlet dengan ciuman dileher, pipi dan bibir sambil pelan-pelan merapatkan tubuh bagian bawahnya, saat kemudian dengan gerakan mantap dan bertenaga ia menekan pantatnya ke bawah diikuti lenguhan "Ugggghhhhh" Arlet yang seketika terbelalak, aku tahu, istriku mulai dientot lagi.
Sekali lagi aku melihat persetubuhan yang benar-benar mirip anjing kawin. Digencet berulang-ulang dari atas, susah payah Arlet berusaha mempertahankan pantatnya tetap menungging. Berkali-kali ia rapatkan kembali kedua pahanya yang pelan-pelan membuka akibat genjotan Pak Wid. Ekspresinya tampak begitu erotis setiap kali menerima tusukan-tusukan bertenaga kontol dimemeknya, seperti ekspresi orang yang terkaget-kaget tapi keenakan dan ekspresi itu makin bertambah erotis saat melihat Mr. Klein akhirnya ikut bergabung. Tubuh mulusnya mengkilat basah berkeringat, bercampur tetesan keringat para pria yang menyetubuhi memek dan mulutnya depan belakang. Arlet hanya bisa melenguh tiap kali digenjot, ia tak bisa bersuara selain melenguh karena mulutnya disumbat kemaluan Mr. Klein.
Hampir satu jam lamanya mereka berdua menggauli Arlet. Membolak balik tubuh seksinya dalam berbagai posisi. Berganti-gantian menggenjot, dari memek pindah kemulut, dari mulut pindah ke memek, begitu terus. Lenguhan Arlet lagi-lagi kadang terdengar pelan tertahan tapi keseringan cepat dan keras. Sesekali mereka menurunkan tempo, sekedar memberi kesempatan Arlet mengambil napas, lantas kembali menggenjot mulut dan memeknya tanpa ampun.
Disetubuhi keroyokan begitu, bukannya klenger Arlet justru bereaksi diluar nalarku. Seakan trance, tubuhnya malah berespon kebalikannya. Berkali-kali kuperhatikan ia mendesak-desakkan pantat montoknya kebelakang atau keatas dengan gemas, meliuk-liukkan pinggul menyambuti tiap kontol yang ngentot memeknya. Anggukan kepala mengikuti masuk keluar kontol dimulutnya begitu erotis dan hard, tak pernah aku melihatnya melakukan oral seks demikian total.
Merasa mendapat betina sepadan, kedua pejantan setengah tua itu makin menjadi. Sambil didoggy, beberapa kali Arlet mendapat spanking, yang membuatnya mengaduh terkejut. Sebentar saja kedua belah pantat montok Arlet dipenuhi bercak-bercak merah bekas tamparan dan tepukan, kontras dengan kulit tubuhnya yang putih mulus.
Aku jadi teringat deretan terapis spa yang pernah kugumuli, juga deretan perempuan-perempuan yang menemani tidurku saat tugas keluar kota, seingatku tak ada yang kuperlakukan seperti mereka memperlakukan Arlet. Bahkan sama lonte pun aku selalu lembut.
"Ugghh…okkkhh…mmhhmm…akkkh …akkkh"
"Ugghhh…huuuggghhh…mmhhmm …akkhhkk…Mmmmhhhm"
"ookhh…ookkhh…okkkhhh….huuuggghh…okkhhh…mmmhhh…"
Kupejamkan mata. Membiarkan hanya telingaku mendengar lenguhan dan gumaman kenikmatan Arlet, berpadu dengan dengus-dengus napas memburu kedua pejantannya.
Rasanya begitu lama. Begitu panjang. Aku merasa hancur menyaksikan kenyataan betapa gila dan ganasnya gaya bercinta mereka bertiga.
Kemudian aku mendengar lenguhan Arlet berubah jadi rengekan dan jerit tertahan, aku tak tahan untuk tak membuka mata. Dan kembali aku melihat scene yang mengguncangkan jiwa. Betapa binal dan liarnya Arlet menghempas-hempaskan pantatnya naik turun diatas tubuh Mr. Klein. Begitu hausnya ia menjemputi kenikmatan. Berganti-ganti ia berpindah dari atas tubuh Mr. Klein dan Pak Wid. Tak kenal lelah ia menaik turunkan pinggulnya, membiarkan kontol para pejantan itu dari bawah bagai piston menembusi memeknya yang kuyup berlendir dan merekah merah.
Dan saat aku mendengar jerit orgasmenya, mataku seakan mau melompat keluar melihat bagaimana memek Arlet yang kuyup merah membengkak itu berkedut-kedut tak terkendali, persis seperti memek Veronika Avluv yang berkedut kedut orgasme di entot para negro. Sungguh aku tak mengira, akan melihat istriku mengalami hal sama seperti yang sering kulihat di bokep-bokep koleksiku.
Kembali kupejamkan mata. Jiwaku seakan terbang meninggalkan tubuh kasarku. aku sepertinya benar-benar tak kuat lagi meneruskan menonton bokep local keparat ini. Tapi suara-suara yang mereda itu membuat mataku membuka perlahan.
Arlet terbaring kelelahan mandi peluh, napasnya turun naik, lemas merasakan sisa-sisa sensasi orgasme ternikmat yang pernah dirasakan, saat Pak Wid mendatanginya. Pahanya dibuka, dan aku bisa mendengar jelas lenguhan pasrah Arlet waktu memeknya kembali dientot kontol gemuk direkturku. Kali ini, sepertinya Pak Wid akan menuntaskannya, terlihat dari gerakannya cepat dan bertenaga. Dia tak lagi mengatur speed dan power seperti sebelumnya. Dan saat kecepatannya meninggi, lenguhan bercampur rengekan Arlet terdengar makin keras, begitu tubuh gempal berotot itu sekonyong-konyong terdiam kaku dan desahan memanjang Arlet pecah, aku sudah tahu, ia membiarkan pimpinanku membenamkan air mani didalam memeknya.
Masih terkangkang dengan memek belepotan mani, Mr Klein kemudian beringsut mendekati Arlet. Ia sodorkan penis jumbonya kewajah istriku. Mata Arlet sayu terbuka, kamera men-zoom menit-menit ketika penis jumbo mulai masuk keluar mengocok mulutnya, dari sudut matanya aku melihat lelehan air mata, mungkin karena tekaknya berulang kali tergesek. Ludahnya luber membusa. Mungkin bibirnya kebas, atau rahangnya pegal, tapi aku tahu, dalam trance nya, Arlet tak punya pilihan, selain pasrah membiarkan pejantannya menuntaskan birahi. Saat kudengar geraman bule Jerman itu, aku tahu inilah puncaknya, ia memaksa mencengkeram kepala Arlet dengan kuat, istriku hanya bisa mengerang, keningnya mengernyit menahan nyeri, dan saat batang panas itu berkedut-kedut dalam mulutnya, memuncratkan bermili liter mili liter cairan putih kental dan hangat, tenggorokan Arlet seketika bergerak-gerak naik turun. Apakah aku baru saja melihat Arlet menelan habis semua sperma ejakulasi Mr. Klein?. Lagi-lagi kututup mataku dengan dada terasa sesak dan sakit.
Selama beberapa menit kesunyian menyergap dan menggantung diudara. Apakah siksaan jahanam ini akhirnya selesai?. Perlahan kubuka mataku.
Secara tiba-tiba scene berubah. Seseorang entah siapa kini memegang kamera. View menampilkan pemandangan area taman bunga hijau dan asri. Bunga-bunga seperti mawar, melati, cempaka dan asoka tampak begitu indah bermekaran. Hijaunya daun-daun semak belukar buatan membuat jiwaku yang hancur berkeping-keping menjadi sedikit lebih tenang.
Dari pemandangan asri taman bunga, view kamera kemudian berputar 180 derajat. Si pemegang kamera nampaknya mulai berjalan menyusuri sebuah lorong, kupikir ini adalah lorong suatu apartemen. Aku mengikuti view kamera dan berakhir didepan sebuah pintu.
Tanpa mengetuk, tangannya yang tak terlihat memutar handel pintu. Aku menahan napas saat pintu pelan-pelan dibuka. Ditengah ruangan, diatas sebuah sofa tunggal, aku melihat Mbak Aurelia, kakak iparku tersenyum manis. Wajahnya cantik, mulus mengkilat. Tubuh montoknya terbalut kimono merah jambu, rambutnya tergerai, agak berantakan, tapi aura kecantikan dan keseksiannya begitu menyihir.
Memiringkan kepala sedikit ia memeletkan lidahnya, lantas tertawa geli.
"Hai Aurel…." Sapa si pembawa kamera, suara laki-laki. Aku mengenali dengan baik suara berat dan agak serak itu.
"Hai Harry…."
View kamera mendekati Mbak Aurelia.
"Bagaimana rasanya tadi?..." Tanya pria itu, lebih ke menggoda.
Kakak iparku tersenyum sumringah, bola matanya yang indah dalam riasan smokey eyes berbinar.
"Uhhmm…enak banget Harry….."
View kamera makin mendekat. Kini aku melihat close up wajah cantik berkilat Mbak Aurelia. Ada sisa sperma menempel diujung belakang pipinya, dekat telinga.
"Bisakah….kita ulang?" View kamera bergerak keatas menangkap tampilan dinding kamar mewah berkelir putih, memberikan nuansa bersih dan suci.
"Kenapa tidak…." Desah suara Mbak Aurelia lebih berupa bisikan. Masih menampilkan view dinding kamar bernuansa putih, aku mendengar suara gesper ikat pinggang dibuka. Disusul suara ritsleting diturunkan. Samar samar aku juga mendengar seperti rangkaian suara celana jeans yang dipelorotkan. View kamera kini jadi bergerak-gerak tak fokus. Lalu mulailah ada suara kecipak yang khas, disusul pelan suara lenguhan Mbak Aurelia, dan dengus napas tertahan pria si pemegang kamera.
"Doyan banget sech brohh….disepongin mulu.." Terdengar nada protes suara perempuan lain menyeletuk. Sekarang aku beneran mau pingsan, itu suara Arlet.