POV's Dean
Sinar mentari pagi menyelimuti hari yang baru, namun hal itu tidaklah berpengaruh sedikitpun pada Dean yang kamarnya tidak ada akses masuknya cahaya sama sekali. Satu-satunya penerang kamarnya hanyalah sebuah lampu tidur yang menempel pada stop kontak di dinding dekat pintu.
Ruangan berukuran 2 x 2 meter itu berisikan sebuah dipan, lemari baju, televisi dan meja belajar. Meskipun terdapat banyak hal, tapi bukan berarti kamar itu sempit. Dengan peletakkan posisi yang tepat, kamar itu menyisakkan sedikit ruang kosong di tengahnya yang mampu diisi hingga 3 orang dewasa.
Jarum panjang hampir menunjuk angka delapan. Suara seorang gadis terdengar dari luar mencoba untuk membangunkan Dean, "Kak, sarapan udah disiapin ibu tuh."
"Iya, kau makan aja dulu."
Yah, benar saja. Dia masih terus menempel pada kasur hangatnya itu dengan malas. Hingga 10 menit kemudian, akhirnya ia bangun dari tempat tidur dengan wajah masih kumal.
Dengan kaos biru lusuh dan boxer hitam, ia bangkit dari kasur dan mematikan lampu kamarnya, kemudian berjalan menuju wastafel yang ada di dapur.
Karena posisi kamarnya yang tepat di tengah-tengah rumah, sehingga memudahkannya untuk pergi ke ruangan yang ia mau. Dapur dan ruang makan berada di sisi kanan, sementara ruang tamu dan ruang keluarga berada di sisi kiri.
Di depannya sendiri terdapat dua pintu yang masing-masing adalah kamar mandi dan kamar tidur orangtuanya. Tepat di kirinya, terdapat sebuah kamar khusus dengan hiasan sterofoam bertuliskan 'Maya' yang menempel di pintu.
Setelah membasuh muka di wastafel, ia langsung mengelapnya menggunakan bawahan baju yang ia pakai, lalu berjalan ke ruang makan. Cukup bermodalkan cahaya pagi, seisi ruangan makan itu terlihat cukup jelas di mata sayu Dean.
Sebuah lemari kaca di sisi kiri yang berisikan piring-piring hias dan ornamen-ornamen kecil menjadi dekorasi ruangan tersebut. Sementara itu, di tengah ruangan terdapat meja makan bundar berwarna putih. Di sekitarnya terlihat sepasang perempuan sedang duduk saling berhadapan menyantap sarapan pagi.
Seorang wanita berdaster krem bercampur corak hitam sedang menikmati sarapan. Rambutnya coklat gelap sepunggung agak bergelombang dengan kulit sawo matang. Dia tidak lain adalah ibunya Dean.
Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang gadis berambut putih pucat sebahu. Perawakannya ramping dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Kulitnya yang putih seperti salju nampak mulus bagaikan kapas.
"Dean, cepetan habisin sarapanmu gih! Keburu dingin nanti." seru sang ibu.
"Iya, bu." jawab Dean malas, "Lo udah mulai makan, Ya?"
Gadis yang dipanggil Maya itu hanya bisa mengangguk tanpa melontarkan satu patah kata pun dari mulutnya.
Tiba-tiba kepala Dean mendadak pusing tanpa alasan. Saking beratnya, bahkan badannya seperti kapal yang terombang-ambing tak karuan oleh ombak. Untungnya, dia masih bisa berpegangan pada dinding di sebelahnya.
"Kamu gak apa-apa? Kalo sakit segera sarapan terus minum obat sana." ujar ibu cemas.
"Hehe, gak apa-apa kok. Cuman agak ngantuk doang." Meskipun begitu, tapi tersirat hal yang aneh di benaknya, "(Itu... siapa, ya? Gue kan gak punya saudara cewe.)"
Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Seolah-olah ada sesuatu yang memaksa masuk ke pikirannya. Sebisa mungkin ia harus menahan pening ini, setidaknya sampai sarapannya habis.
"Aku sudahi dulu." Maya pun berdiri dari tempat duduknya sambil membawa piring dan gelas kotor.
Karena Dean yang masih bersandar disitu mengakibatkan jalannya terhalangi, sehingga lengannya berbenturan dengan sikut Dean.
Syukurlah tidak ada benda yang jatuh. Namun, hal itu langsung direspon negatif oleh Dean dengan memasang tatapan sinis. Sementara Maya hanya diam tertunduk saja.
Beberapa saat kemudian, Dean mulai memijit pelan pelipisnya sambil terus berjalan menuju meja makan, barangkali pusingnya akan mereda.
Ia langsung saja menyambar kursi yang di depannya telah tersedia mi goreng dan telur dadar. Sambil menahan pusing, ia terus melahap sarapan yang disediakan, meskipun nafsu makannya memang menurun drastis.
Seusai menghabiskan sarapan, ia langsung menegak segelas penuh susu guna menyudahinya. Sambil membawa piring kotor, ia berjalan ke lorong dapur guna meletakkan piring tersebut ke wastafel begitu saja.
Tepat di sampingnya terlihat Maya mengenakan celemek putih bermotif bunga sedang mencuci piring dan peralatan dapur yang kotor.
"Nih, cuciin!" bentak Dean.
"Iya." jawab Maya merendah.
"(Kok gue gini amat, yak?)" batinnya.
Dean pun berjalan sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Ia berniat menuju ke kamarnya lagi dan tidur, berharap pusingnya akan hilang saat bangun nanti.
Langsung ia merebahkan dirinya di atas kasur bersprei hijau daun sesaat setelah membuka pintu, lalu menutupi kepalanya dengan bantal.
Anehnya, pusing itu hilang seketika. Tapi setelahnya, matanya langsung terbelalak kaget karena mendapat ingatan-ingatan aneh. Ia langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas tumpukan buku pelajaran dan membuka grub chat dengan dua teman lainnya.
(di grub chat)
"Hoi sekarang sekolah, seragam 3." Dean.
"Se7, seragam 3." Diki.
"Ok, seragam 3." Joseph.
"(Kayaknya yang lain juga sama deh, langsung dijawab 'seragam 3' dong.)"
Setelahnya, ia segera mengganti pakaiannya menjadi baju sekolah berwarna putih dan celana biru terang dari almari. Sementara baju tidurnya ia lemparkan ke atas kasur begitu saja.
Dengan cepat, ia langsung keluar dari kamar dan berlari menuju samping rumah melewati ruang tamu.
"Bu, aku berangkat ke sekolah dulu!" ucapnya agak lantang.
"Ah iya, hati-hati. Bukannya ini hari Minggu, ya?"
Diambilnya sepeda berwarna merah yang terparkir di samping rumahnya dan langsung dikayuh secepat mungkin ke sekolah.
Jarak dari rumah ke sekolah yang hanya satu kilometeran memudahkannya pergi ke sekolah setiap hari, sehingga ia tidak perlu antar jemput.
Hanya butuh waktu sepuluh menit, ia pun sampai di depan pintu gerbang sekolah yang sudah terbuka. Ia pun segera masuk dan langsung disuguhkan hamparan tanah lapang luas dengan sebuah gedung yang jaraknya agak berjauhan.
Dean segera menuju tempat parkir yang letaknya ada di pinggiran lapangan. Sementara di lapangan sendiri, terlihat beberapa murid ekskul memanah sedang berlatih dengan target mereka.
Setelah memarkir sepeda, ia segera berlari masuk ke sebuah gedung dengan tiga lantai yang merupakan bangunan utama sekolah tersebut.
Dean segera berlari menerobos pintu depan yang tidak terkunci dan bergegas menaiki sebuah tangga di dekat pintu lobi menuju lantai dua. Melewati setiap kelas yang kosong, ia pun berhenti di depan sebuah kelas yang bertulis '11-4' di atas pintu.
Dengan nafas yang terengah-engah, ia segera membuka pintu dan mendapati sudah ada kedua temannya yang sudah menunggu.
Joseph duduk seperti preman di atas meja, sementara Diki duduk di samping kirinya sambil menatap layar ponsel. Mereka berdua juga mengenakan seragam sekolah yang selaras sesuai janji di grub.
"Gue yakin... kalo kita sepemikiran, ini bukan dunia kita, kan?" ucap Dean sambil mencoba mengatur nafas.
"Kayaknya lo ada benarnya deh, ini tuh bukan dunia kita. Kalo lo, Sep?"
"Kenyataan kalo kita ngalamin rutinitas kayak biasanya, itu aja udah jadi bukti kalo ini dunia kita. SE-HA-RUS-NYA!"
"Jadi kita ada dimana?!"
"Ini cuman pemikiran sementara sih. Tapi, kayaknya kita masuk ke pararel universe, deh."
"Pararel universe? Maksud lo dunia lain gitu?" tanya Dean bingung.
"Semacam itulah."
Sontak mendengar jawaban itu, badan Dean langsung lemas terkulai dan roboh. Ia hanya bisa duduk di lantai sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya layaknya orang yang putus asa.
"Ini gak akan terjadi kalo lo gak benerin tuh simbol kemarin!" sulut Diki.
"Jangan nyolot juga! Gue juga terjebak disini."
"Tapi tetep aja, lo seharusnya gak benerin tuh simbol, bangsat!"
"Bukan cuman gue yang salah! Lo juga ikutan baca mantranya dua kali! Du-a ka-li!"
Pertengkaran antara Diki dan Joseph pun tak terelakkan. Yang pada mulanya hanya percekcokan tak jelas, mulai memanas ketika Diki menarik kerah baju Joseph dengan sangat kuat.
"BERHENTI WOI!" teriak Dean, "KALO INGIN BERANTEM, BERANTEM AJA TERUS SANA! TAPI KITA GAK AKAN PERNAH PULANG."
Mendengar itu, Diki begitu saja melepaskan kerah Joseph dan mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak.
"Ok, kita pikirkan dengan kepala dingin. Relax and keep calm!" tutur Diki, padahal kenyataanya dia sendiri yang tersulut amarah terlebih dahulu.
Akhirnya, suasana pun kembali normal setelah beberapa menit berlalu. Dean masih duduk termenung, sedangkan yang lain agak menjaga jarak.
"Terus, kenapa kita kayak dapet ingatan gak jelas gitu?" tanya Dean memulai pembicaraan kembali.
"Gue gak yakin pasti sih, tapi kayaknya itu tuh ingatan dari 'kita' yang ada di dunia ini. Karena kita berpindah ke dunia ini, maka secara otomatis ingatan 'mereka' yang disini bakalan pindah ke diri kita. Itu teori yang gue tahu."
Jika apa yang barusan dijelaskan Joseph benar, maka perempuan bernama Maya yang ada di rumahnya itu adalah adik angkatnya. Masalahnya kenapa Dean sangat membencinya adalah karena jati diri Maya yang sesungguhnya.
Sayang seribu sayang, Dean bukanlah tipe orang yang pendiam dan mudah menjaga rahasia, jadi tanpa basa-basi ia langsung bertanya, "Gue... bisa... cerita dikit gak?"
Diki yang merasa aneh dengan cara bicara Dean segera merespon, "Cerita apaan emangnya?"
"Jadi gini, di dunia ini..." Dean pun menceritakan semua ingatan yang ia dapat tentang dirinya di dunia ini, tak terkecuali Maya. Keduanya pun mendengar cerita itu dengan khidmat dan menyadari bahwa dunia ini memang jauh dari apa-apa yang mereka bayangkan. "... begitulah."
Keduanya paham dengan apa yang dirasakan Dean. Bukan sesuatu yang mudah untuk menerima perubahan, apalagi bagi Dean pribadi.
"Dari cerita lo tadi, di game ama anime udah banyak yang kayak gitu. Manusia buatan, homonculus kalo gak salah namanya. Biasanya digunakan untuk banyak hal, misalnya perang, sumber daya kehidupan, dan yah... cerita-cerita dark gitulah."
"Tapi kok bisa bokap lo bawa kayak gituan kesini? Ini itu bukan negara kayak Korut atau Amrik yang senjatanya sebejibun banyak."
"Lo tau kan kalo ayah gue itu ilmuwan?"
Keduanya mengangguk. Kenyataanya, di dunia mereka yang asli ayah Dean memang seorang ilmuwan.
"Nah, kalo di dunia ini ayah gue itu juga jadi dokter. Tapi... kerjanya di agensi rahasia pemerintah."
"Uwoohh... jadi kayak James Bond gitu dong." Diki kali ini mencoba untuk menghiburnya. Namun kelihatannya gagal.
Dean terlihat tidak seperti biasanya, sosok yang energik dan banyak ulah seketika berubah 180° menjadi seorang pendiam dan pemurung. Tidak seperti keduanya, mungkin karena kehidupannya yang berubah drastis inilah yang membuat dirinya merasa terpukul.
Joseph pun segera berkata, "Jadi apa yang lo pengen lakuin sekarang? Mengusirnya? Butuh bantuan kita?"
Mendengar kata itu, seketika hatinya tergerak. Ia tahu seperti apa adik barunya, ia juga tahu kesedihan apa yang dirasakan olehnya. Karena itulah jika mengusirnya adalah satu-satunya pilihan, maka yang ia perlu lakukan hanyalah tidak memilihnya saja.
"Heh? Mengusirnya? Tidaklah." Seketika ia mengacak-acak rambutnya hingga tak beraturan, kemudian berdiri tegak. Sorot mata dan suaranya pun kembali seperti semula. "Namaku Dean, aku yang 'disana' berbeda dengan yang disini. Bakalan gue ubah cerita dunia ini jadi apapun yang gue inginkan, ingat itu!"
Tiada angin tiada hujan, sebuah dentuman suara terdengar sangat keras memenuhi seisi kelas karena Dean memukul meja dengan sangat kuat. Sementara itu, kedua temannya malah tersenyum karena semangat Dean sudah mulai kembali seperti sedia kala.