Chereads / Trinity Soul / Chapter 3 - 3 - Keseharian di Hari Minggu

Chapter 3 - 3 - Keseharian di Hari Minggu

Masih di hari yang sama, ketiganya berkumpul di dalam ruang kelas. Mereka duduk santai sambil membuka ponselnya masing-masing setelah menyelesaikan masalah milik Dean. Tapi tahukan kalian bahwa itu hanya permulaannya saja?

Joseph mulai membuka pembicaraan, "Dik, menurut lo dunia ini itu kayak gimana?"

"Sejauh dari pengamatan, browsing, ama ingatan yang gue dapet sih... dunia ini kayak anime To Aru Majutsu no Index. Keberadaan sihir itu ada, tapi penggunanya dikit banget karena emang bakat. Saking dikitnya bahkan ada sekolah khusus penyihir disini. Dan hal yang patut disyukuri adalah kita tidak terlempar ke jaman pertengahan atau kerajaan dengan adanya raja iblis dan sebagainya, itu poin pertama. Yang ke-"

"Stop! Kalo poin pertama aja segitu banyaknya, gimana yang lain?" protes Dean.

"Dasar otak udang! Gue bakalan ringkas sampe sesingkat-singkatnya dengan tempo secepat-cepatnya. Poin pertama, sihir itu ada tapi pemakainya sedikit. Kedua, kemajuan teknologinya sama persis. Ketiga, berita-berita dan hal sebagainya juga sama. Keempat dan yang terpenting, kita hanya orang biasa. Puas?"

"Itu lebih baik."

"Jadi ada alasannya, kenapa gue kok masih bisa login akun Steam."

Joseph pun menunjukkan layar ponselnya ke kedua temannya, sebelum akhirnya dimasukkan kembali ke saku celananya.

"Sekarang ganti topik. Gimana caranya kita bisa kembali, coeg?!"

Joseph langsung mengambil tarikan nafas yang panjang lalu menghembuskannya perlahan,

"Jujur aja, gue gak tau."

"Lah? Gimana ceritanya, anjir?!"

"Hmm... paling kalo kita baca buku itu lagi, bakalan dapet jawabannya." usul Diki.

"Kalo itu mah gue juga udah kepikiran, masalahnya buku itu..."

Dean menebak kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Joseph, "Hilang?"

Joseph langsung memalingkan wajahnya sambil memasang seringai masam, menandakan bahwa tebakan Dean benar.

"Apa?! Terus kemana buku itu, coeg?!"

"Tenang, tenang. Jika perkiraan gue bener, buku itu pasti jatuh di rumah itu lagi."

"Ogah! Gak mau gue kembali ke rumah itu lagi. Titik!"

"Gue juga ogah sebenernya, tapi gimana lagi? Mau nggak mau, kita mesti kembali ke mansion itu."

"Emang lo lupa ama tiga hantu itu?!"

Dean sepertinya sudah kapok dengan apa yang terjadi kemarin malam, begitu juga dengan yang lainnya. Karena itulah Diki coba memberikan suatu usulan yang sempat-sempatnya terlintas di pikirannya.

Andai teori Joseph yang sebelumnya digabung dengan apa yang ia utarakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia ini adalah paralel atau alternate universe.

"Mungkin ini terdengar tidak karuan, tapi bagaimana kalo kita tinggal disini untuk beberapa saat? Mungkin sekitar dua minggu sampe sebulan gitu."

"Gue setuju!" jawab Joseph seketika. Nampaknya ia mencoba mencari alasan agar terhindar dari amukan Dean.

"Setuja, setuju, enak amat lho!"

"Ayolah, Yan! Ini tuh sesuatu yang gak bakalan bisa kita alamin lagi. Katanya tadi mau baikan ama Maya? Gimana kalo kita balik sekarang, terus adik lho itu diapa-apain ama 'diri' lho di dunia ini?"

Sekarang Diki mencoba untuk memainkan sisi psikologis Dean, dan kelihatannya itu cukup efektif. Dean terlihat frustasi dan akhirnya membuat keputusan gegabah.

"Baiklah, tapi jangan lama-lama. Seenggaknya biar gue baikan dulu ama Maya."

Joseph dapat mengambil nafas lega berkat bantuan Diki, ia pun menaikkan kacamatanya sambil bergaya sok keren, "Ok, rutinitas hari Minggu. Gangguin anak ekskul."

"Yah, kayaknya kita juga gak terlalu banyak berubah, kan? Lagiankan... ini tuh waktunya ekskul memanah." ungkap Diki enteng.

Masih mengenakan seragam sekolah, mereka berjalan menuju tangga yang ada di ujung lorong. Setelah menaiki puluhan anak tangga, mereka akhirnya sampai di atap.

Langit biru tak berawan

Panas terik matahari yang menyengat langsung dirasakan ketiganya. Tapi, hal itu tidak menyurutkan semangat mereka.

Perhatiannya tertuju kepada seorang gadis berbadan agak kecil dari lainnya dengan rambut coklat cerah sebahu. Terlihat dari matanya bahwa gadis itu tengah menarik tali busur dan fokus terhadap target di depannya.

"Ok, kali ini apa yang akan dilakukan oleh Agisa?" gumam Diki.

Dari kejauhan, sebuah target dengan jarak 10 meter dari Agisa sudah tertancap empat anak panah yang semuanya mengenai tepat di titik tengah. Orang-orang di sekitarnya hanya bisa dibuat berdecak kagum melihatnya, tapi hal itu sudah menjadi hal biasa baginya.

Agisa pun keluar dari barisan tersebut dan berjalan menuju ke barisan sebelahnya yang memiliki sasaran lebih jauh dari sebelumnya.

"Seperti biasa, dia emang jago memanah."

"Mau gimana lagi? Calon atlet nasional."

"Tapi gosipnya dia nggak lolos. Ada yang bilang kalo anak panahnya banyak yang meleset saat tes seleksi." ucap Joseph.

Sebuah ide jahil tiba-tiba terbesit untuk membuat salah satu temannya jengkel. Ia segera melambaikan kedua tangannya tanpa rasa malu sedikitpun. Tak hanya itu, ia bahkan juga berteriak lantang, "Woi!!! Si Diki naksir ama Agisa!!!"

"Haduh, nih anak penyakitnya kambuh lagi."

"Ya... seenggaknya gue bisa liat atraksinya si Agisa lagi."

Benar saja, perhatian seluruh anggota ekskul langsung tertuju pada Dean, tak terkecuali Agisa itu sendiri.

"Itu bukannya Dean?" tanya salah seorang lelaki di antara mereka.

"Iya, kayaknya dia masih belum jera sama yang dulu-dulu."

Entah apa yang ada dalam benaknya, Agisa pun merapal lirih sebuah mantra. "Increase Vision."

Joseph yang masih meneropong merasa aneh ketika melihat mata coklat Agisa yang tiba-tiba bersinar biru.

Agisa pun mengambil sebuah anak panah yang memiliki ujung tumpul dan menariknya kuat-kuat pada tali busur.

"Increase accurate." rapal Agisa selanjutnya.

Sekarang panahnya juga ikut memancarkan cahaya kebiruan terang yang sama seperti matanya.

"Shoot." sebuah anak panah pun diluncurkan.

Padahal di sekelilingnya terdapat banyak orang, namun ia tidak segan untuk menembakkan anak panah tersebut.

Segera setelah dilepaskan, anak panah itu melesat dengan cepatnya mengarah ke Dean. Dengan sedikit perkiraan cepat, Joseph bisa tahu kalau panah itu pasti akan mengenai Dean.

"Oi, Yan. Mendingan lo geser deh kalo mau selamat."

"Emang kenapa?"

"Liat aja ke atas."

Saat sudah mencapai tinggi maksimalnya, anak panah itu pun menukik ke bawah dan melewati jaring besi pembatas. Sebelum akhirnya tepat mengenai jidat Dean hingga membuatnya terjatuh dengan meninggalkan lebam keunguan.

Sontak, orang-orang di sekitar Agisa pun langsung memberi tepuk tangan meriah. Bagaimana tidak, ia berhasil memanah Dean yang berada di atap gedung berlantai tiga.

Jika dihitung dari tinggi gedung dan jarak Agisa, dapat diperkiran dengan rumus phytagoras kalau panjangnya sekitar 30 meteran. Belum lagi faktor angin dan gaya gravitasi yang jelas juga membutuhkan perhitungan yang matang.

Diki yang melihatnya kejadian itu langsung tersenyum kecil sambil terkekeh ketika melihat keadaan temannya itu. Joseph langsung mengacungkan jempol ke arah Agisa entah apa maksudnya. Sementara Agisa sendiri segera membalikkan badan dan masuk ke barisan di sebelahnya.

"Aku... dipanah asmara."

"Mendingan kita bawa aja dia ke UKS." saran Joseph.

Ia pun mengangkat lengan kiri Dean dan Diki di lengan satunya. Mereka bertiga berjalan dengan hati-hati sambil menuruni tangga agar tidak terjatuh karena beban yang mereka bopong cukup berat.

"Nih orang berat amat."

"Mau yang lebih mudah? kita lempar aja dia langsung dari sini, terus tinggal kita seret dari lantai satu."

"What the... Yang beneran dikit napa, coeg?!"

"Lho benar. Mendingan kita gelindingin aja lebih mudah."

"WOI!!!"

Dengan langkah hati-hati, mereka berdua menapaki anak tangga sambil menuntun Dean turun menuju UKS yang ada di lantai satu. Letaknya sendiri berada di dekat tangga untuk naik ke lantai dua.

Setibanya disana, dari arah ruang guru yang berada di samping kanan ruang UKS, keluar seorang perempuan setinggi Diki. Rambut hitam pekatnya yang terkucir lurus nampak serasih dengan jas almamater ungu yang ia kenakan. Ia juga mengenakan seragam sekolah yang sama seperti ketiganya.

"Eh, ada ketua OSIS. Lagi ngapain mbak?" sapa Diki.

"Urusan OSIS, gak usah sok akrab dah ama gue." jawab perempuan itu jutek.

Tatapan sinis dari manik matanya yang kecoklatan tertuju pada Diki. Tapi, bukan Diki namanya jika ia tidak balik menggoda.

"Idih, galak amat ama kita-kita. Yang ada jomblo terus lo."

"diem atau mau gue laporin ke BK?"

"Y-Ya jangan dong, gitu aja kok ngambek sih."

"Gak ada kerjaan lain aja selain ganggu orang. Itu temanmu ngapain dipondong? Kayak orang baru tabrakan aja."

"Kena panah ama Agisa tadi di atap." sahut Joseph begitu saja.

"Memang gak ada kapok ya nih anak." ia pun mengecek jam tangannya dan jarum pendek sudah menunjuk angka 1, "Dah, dah. Minggir sana, masih banyak urusan yang mesti gue lakuin. Kalian jangan sampe cari ribut lagi ama ekskul yang lain." tambahnya sambil berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Jangan galak-galak lo kak Tika, entar gak dapet pacar pas kuliah."

Tapi perempuan itu mengabaikan ejekan Diki dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan ketiganya di depan pintu UKS.

Meskipun belum memasuki UKS, kelihatannya Dean sudah cukup baikan sehingga ia dapat berdiri sendiri sekarang.

"Pulang aja yuk. Kayaknya rutinitasnya udah selesai semua. Lagian, nih lebam kalo gak disalep yang ada besoknya mesti gue pakein bedak." Dean berujar sambil mengelus-elus lebam yang ada di keningnya.

"Okelah, gue juga mau balik. Ada event game nih soalnya."

"Kita pulang aja gitu?"

Keduanya pun hanya mengangguk kecil menandakan setuju akan usulan tersebut.

Pada akhirnya, mereka segera keluar dari gedung dan mengambil sepeda masing-masing yang terparkir di pinggir lapangan. Melewati lapangan yang masih terdapat para anggota ekskul memanah disana tentunya.