Chereads / Trinity Soul / Chapter 4 - 4 - Hari Pertama Bersekolah

Chapter 4 - 4 - Hari Pertama Bersekolah

Pagi hari di dalam ruang kelas, cahaya matahari pagi menembus kaca jendela kelas. Hari pertama mereka masuk sekolah setelah terjebak dalam dunia sihir.

Tidak ada yang aneh, beberapa murid nampak berbincang dengan temannya dan beberapa juga ada yang duduk di kursi mereka masing-masing. Menunggu hingga bel jam pelajaran pertama berbunyi.

Begitu juga dengan Dean dan Diki yang daritadi terus mengoceh tidak jelas soal dunia paralel, sementara Jospeh sendiri malah melamun sambil memperhatikan keluar jendela.

Melihat hal itu, Diki berinisatif untuk mengerjai Joseph. "HAYO!" teriak Dean mengagetkan Joseph.

Jelas saja, Joseph langsung terkejut hingga membuat postur badannya tegap sesaat saking kagetnya. "Lo ngapain sih? Bikin jantungan aja."

"Gak apa-apa, kok. Gue ngira lo yang malah napa-napa. Dari tadi diem-diem bae."

Joseph yang merasa kesal dengan tingkah temannya itu pun melanjutkan lamunannya dan memperhatikan lagi ke arah luar jendela.

*Teng... Teng...

Bel berbunyi dua kali, menandakan jam pelajaran pertama dimulai. Setiap guru memasuki ruang kelas mereka masing-masing.

Seorang wanita tua berjas hijau gelap masuk ke dalam kelas sambil membawa buku absen di tangan kanannya. Di jasnya tertancap tag nama "Seti Yuniarti", salah seorang guru matematik yang mengajar kelas 11.

Segera saja beliau duduk di kursi guru dan meletakkan barangnya di atas meja. Dipandangnya setiap baris kursi dengan mata keriputnya dan didapatinya kursi di pojok belakang yang sebaris dengan Joseph masih kosong. "Victor Bayu Nirwana mana? Belum datang?"

"Dia mungkin terlambat seperti biasanya." jawab salah seorang murid.

"Anak itu, kal--"

Tiba-tiba dari arah pintu masuk, seorang murid cowok berambut biru agak acak-acakan dengan nafas terengah-engah muncul. "Ma-maaf Bu Seti, saya ketiduran."

"Panjang umur, baru saja saya mau omongin, buruan duduk sana!"

Victor segera saja berjalan ke tempat duduknya, melewati sisi kanan Joseph yang menatap tajam dirinya semenjak ia muncul.

Waktu pelajaran diisi seperti hari-hari biasanya. Semua murid terlihat mencatat apa yang Bu Seti terangkan atau tulis di papan. Sementara itu, Dean terlihat bingung dengan apa yang diterangkan oleh Bu Seti karena memang matematika adalah musuh terbesarnya.

*Teng... Teng... Teng...

Bel berbunyi 3 kali, jam istirahat yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Mendengar itu, Bu Seti segera mengemasi barangnya, "Baiklah anak-anak, pelajaran kita lanjutkan lusa."

Setelah keluarnya Bu Seti, Ketiganya segera saja bangkit dari tempat duduk masing-masing dan berjalan beriringan keluar kelas bersama murid-murid yang lain.

*Nginggggg...

Tiba-tiba pengeras suara yang terpasang di atas pojok kelas berbunyi. Biasanya, salah seorang guru akan memberi pengunguman atau semacamnya kepada para murid

"Panggilan kepada Diki, Dean, dan Joseph dari kelas 11-4, diharap untuk segera pergi ke ruang konseling secepatnya. Saya ulangi, Panggilan kepada Diki, Dean, dan Joseph dari kelas 11-4, diharap untuk segera pergi ke ruang konseling secepatnya." ucap seorang pria dari pengeras suara.

Mendengar itu, gosip pun mulai menyebar, apalagi di kalangan murid perempuan yang cerewetnya minta ampun. Terdengar dari sana-sini suara orang yang membicarakan ketiganya.

"Mereka buat ulah lagi?"

"Katanya, kemarin mereka gangguin ekskul memanah."

"Jadi tuh gosip bener."

Ketiganya yang berada tepat di depan pintu keluar kelas langsung menjadi pusat perhatian diantara para murid. Sayangnya, hal itu sudah biasa mereka rasakan hampir sekali setiap bulan setidaknya. Langsung saja mereka menuju ke ruang konseling yang dimaksud, terus berjalan melewati setiap tatapan tidak mengenakan dari murid yang lain.

"Jadi... kira-kira siapa yang ngelaporin kita kali ini?"

"Entahlah, tapi gue mah no problem aja."

"Tapi, ya kali pas istirahat. Biasanya juga pas pelajaran biar kayak jamkos, coeg."

Joseph tidak memperdulikan apa yang kedua temannya perbincangkan dan fokus mengamati setiap murid yang melihati dirinya secara bergantian.

Tidak seperti ruangan khusus guru yang semuanya berada di lantai satu, hanya ruang konseling saja yang dibangun di lantai 2 dua gedung sekolah.

Tidak sampai lima menit berjalan, ketiganya sampai di depan sebuah pintu yang dipernis coklat guna membatasi ruang konseling dengan lorong.

"Permisi." salam Dean sambil membuka pintu itu.

Terlihat di dalam ruangan yang seukuran kelas mereka, duduk seorang pria paruh baya mengenakan jas coklat di belakang meja ruangan itu. Di samping kanan dan kirinya juga terdapat berderet almari kaca yang berisikan dokumen atau data sekolah.

"Kalian datangnya cepat sekali seperti biasa." jawab pria tersebut.

"Ya, bukannya memang harus begitu, Pak Riki?"

"Yah, memang. Dan seperti biasanya juga, kalian menganggu ekskul lain juga, kan? Di hari Minggu kemarin."

"Ehh... inginnya tanya siapa yang ngelaporin sih, tapi mereka juga punya hak secara kalo emang merasa terganggu."

"Jadi bener kan kalo kalian kemarin ganggu murid ekskul?"

"Kayaknya sih, begitu." jawab Diki tersenyum masam.

"Tolonglah! Bisa tidak kalian bersikap seperti biasa? Maksudnya, seperti umumnya lah."

"Kalo itu... gimana ya..."

"Sebenarnya, kalian ini tidak ada acara atau mungkin kegiatan lain di rumah?"

"Nggak ada."

"Sungguh, kalo kalian terus-terusan begini. Yang ada nanti saat kalian lulus, itu lemari isinya bakalan penuh sama catatan kalian saja lo." ucap Pak Riki sambil menunjuk lemari kayu di kirinya setinggi satu meteran.

"Ba-baik." jawab ketiganya merendah.

"Saya itu gak butuh jawaban dari kalian, yang saya butuhkan itu bukti nyata. Kalo hanya jawaban 'iya', 'baik', dan yang lainnya, semuanya juga bisa."

Ketiganya hanya bisa tertunduk malu mendengar hal itu, membisu seribu bahasa. Pak Riki berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati lemari yang tadi ia tunjuk. Sementara, ketiganya masih terus terdiam hingga.... beberapa menit ke depan.

"Psst... lama amat dah ambil buku doang." bisik Diki mengarah ke Joseph.

Joseph tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dan hanya memberi tanda tidak tahu dengan mengangkat kedua pundaknya bersamaan.

Sedikit demi sedikit, Diki memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya. Dan didapatinya bahwa Pak Riki saat ini terdiam ketika akan membuka lemari, seakan berhenti begitu saja.

Ketiganya yang ingin tahu, segera saja menghampiri badan Pak Riki yang mematung tersebut.

"Pak Riki kenapa?"

"Mana gue tahu, coeg. Sep, coba lo pegang dikit."

"Lah, ngapa jadi gue?"

"Udah, lo aja. Daritadi juga lo diem mulu."

"Sumpah! Yakin lo?"

Dean mengangguk cepat.

Perlahan, jari telunjuk Joseph semakin mendekati pipi kanan Pak Riki yang terdiam. Ditekannya sedikit dan ternyata tidak ada reaksi apapun. Maksudku, benar-benar tidak ada. Daging yang seharusnya kembali ke bentuk semula karena elastis, malah tetap membuat cekungan akibat dari efek tekanan yang joseph berikan.

"Beneran berhenti, kok jadi aneh banget gini ya."

Mendengar perkataan Joseph, Diki langsung menyeringai lebar. Pikiran negatifnya mulai muncul.

"Mau liat pansu anak cewek, nggak?"

"Lo itu pikirannya sehat dikit napa?"

"Alah, ini tuh udah the best timing ever lo. Kapan lagi mau kayak gini?"

"Daripada ngurusin urusan lo yang emang gak guna itu, gue mau nanya ama lo berdua. Kalian liat gak kayak ada biru-biru gitu di badan anak-anak yang lain?"

"Biru-biru apaan?" jawab Dean bingung.

"Really? Ok, terus kalo tiang warna biru muda ditengah-tengah kota?"

"Sumpah, dah. Lo nanya apaan, gue gak paham, coeg."

"Ok, ini yang terakhir and khusus buat lo Yan. Di rumah lo itu kayak ada asap-asap biru gak? Atau malah badai gitu?"

"Ok, gue ama Diki bingung ama apa yang lo tanyain daritadi. Biru-biru apaan emangnya? Makanya jangan kebanyakan ngelamun di pagi hari."

Ia langsung keheranan mendengar jawaban temannya tersebut, tidak ada dari keduanya yang percaya dengan apa yang ia katakan. Karena memang hanya ia seorang dari trio tersebut yang bisa melihat aura kebiruan itu. Mana namanya, suatu energi yang semua orang pasti miliki di dalam tubuh guna merapal sihir.

Hampir lima menit mereka terus berdiri, menunggu fenomena aneh itu untuk segera berakhir. Kebosanan jelas melanda mereka.

"By the way, ada yang tau kenapa kita tetep bisa gerak?"

"Kayaknya gara-gara nih benda deh, maybe." ucap Joseph sambil memperlihatkan kalung yang ia dapat dulu bersinar.

"Eh iya dong, gelang gue juga."

Ketiga benda yang semula hilang, muncul begitu saja berselimutkan cahaya hijau terang.

"Jadi kalo kita lepas nih benda, kita bakalan diem kayak Pak Riki?"

"Secara sih, mestinya iya. Mau coba?"

"Nope!"

Sementara itu di dalam kelas, Victor masih terus melamun memandangi keluar jendela. Apa dia terkena efek sihir itu? Tidak, dia masih bisa bergerak. Ia melihat suatu hal serupa yang dilihat oleh Joseph dari pagi tadi.

Sebuah pancaran mana yang kuat menjulang tinggi ke langit di tengah kota. Sebelum akhirnya perlahan meredup dan semuanya kembali normal.

"Sudah saatnya ya."

Lantas, bagaimana dengan ketiganya yang masih di dalam ruang konseling? Ya, begitulah. Sesaat setelah semuanya kembali normal, ceramah panjang nan lebar mereka dengarkan selama jam istirahat berlangsung.

*

Malam harinya di sebuah ruang kantor, lebih rincinya kantor keamanan khusus sihir, nampak seorang pria duduk di belakang meja sambil membaca berita di koran. Rambut hitamnya yang disisir membelah ke kiri terlihat serasih dengan jas hitam yang ia pakai. Dari arah belakang, terlihat seorang wanita berjalan mendekatinya.

"Pak Jack, ini berkas yang anda minta." ucap wanita itu sambil memberikan berkas dari tangannya.

"Terima kasih, Rebecca."

Ia pun membalikkan badannya untuk mengambil berkas tersebut, namun tangannya terhenti ketika melihat pakaian yang dipakai sekretarisnya.

"Sudah kubilangkan, kalau cara berpakaianmu harus lebih sopan? Kita sudah pindah tempat kerja sekarang."

Rebecca menyadari kesalahannya ketika melihat jas krem yang ia pakai terlalu terbuka di bagian dada dan roknya yang di atas lutut.

"Maafkan saya, setelah ini saya akan segera menggantinya."

"Baiklah kalau itu jawabanmu, setidaknya kita masih belum terjun ke lapangan. Tapi segeralah cari model yang lebih tertutup." lanjutnya kembali.

Pak Jack segera mengambil rokok dari sakunya, kemudian menyalakannya. Disaat yang bersamaan, ia juga membaca lembaran demi lembaran berkas tadi.

*Fuuuhhh...

"(Efeknya sampai global, ya? Apa motif penyihir ini sebenarnya?)"

"Menurut anda, apakah ini ada hubungannya dengan organisasi 'itu'?"

"Entahlah. Tapi jika menilik dari latar belakang dan sejarahnya, kota ini tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan organisasi 'itu'. Ini juga merupakan sebuah kejutan untukku secara pribadi."

"Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Pak Jack meletakkan puntung rokoknya ke asbak yang ada di meja, lalu bersandar santai.

"Jujur saja aku tidak punya ide." jawabnya sambil menggaruk rambut belakangnya yang tidak gatal. "Perintahkan saja beberapa orang untuk melacak siapa dan dimana penyihir itu saat ini. Menurut berkas, ada sebuah luapan mana yang terlihat di taman kota tadi siang. Dan juga, bisakah kau panggilkan Aurel? Aku ingin berbicara empat mata dengannya."

"Baiklah, saya permisi dulu."

Rebecca pun pergi meninggalkan ruangan. Sementara itu, Pak Jack sendiri beranjak dari posisinya dan berjalan menuju jendela yang menghadap keluar.

"Sungguh disayangkan jika kota ini harus menjadi medan peperangan nantinya." gumamnya sambil memerhatikan gedung-gedung di seberang jalan.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan masuk ke ruangan. Ia nampak masih muda, bahkan perawakannya tidaklah jauh dari Diki atau Joseph.

"Ada urusan apa sampai anda memanggil saya?"

"Aku ingin kau menangani masalah penyihir yang barusan terjadi."

"Penyihir? Lantas, bagaimana dengan pengejaran organisasi Asosiasi penyihir? Kita sudah semakin dekat dengan mereka."

"Untuk saat ini, kita tunda dulu urusan itu. Instingku mengatakan, kalau mereka pasti juga mencari siapa penyihir ini."

Pak Jack lalu menyalakan kembali rokoknya, dan menghisapnya.

*Fuuuhhh...

"(Aku tidak meyangka kalau rokok disini bisa seenak ini.) Ngomong-ngomong, ini identitas barumu."

Pak Jack kemudian merogoh saku jasnya dan kemudian melemparkan sebuah dompet kulit coklat ke arah Aurel.

Dengan tangan kanannya, Aurel dengan mudah menangkap dompet itu. Setelahnya, ia segera membuka isi dompet itu dan terlihat kartu pelajar dengan gambar wajahnya.

"Satu hal lagi. Di sekolah barumu itu, cobalah untuk akrab dengan Si Darah Campuran. Aku yakin dia akan sangat membantumu."

"Baiklah, aku paham. Serahkan semua ini pada saya."