Suasana kelas pada sore hari memanglah cocok untuk tempat berkumpul seperti saat ini. Ditemani cahaya mentari sore yang menembus jendela, sepasang laki-laki tengah duduk bersama di atas meja.
Seorang lelaki berkacamata bersandar pada dinding sambil melirik keluar lapangan melalui jendela di kiri dengan manik mata birunya. Rambut hitamnya yang disisir lurus ke kanan sesekali nampak terbang terkena hembusan angin semilir.
Sementara lelaki satunya lagi duduk di sebelah kanannya, asyik bermain game dengan kedua mata coklat fokus pada layar ponsel. Karena gusar dengan game, ia sesekali juga menggaruk rambut coklat tipisnya.
Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dengan keras karena seorang laki-laki menendangnya. Badannya bongsor dengan rambut hitam acak-acakan sama seperti keadaan seragam pramuka yang ia pakai. Dari kedua mata coklatnya, ia memerhatikan kedua teman yang sudah menunggunya.
"Dean datang juga akhirnya." ucap si lelaki berkacamata.
"Jadi... ada yang tau kita nanti bakalan ngapain?" Lelaki yang dipanggil Dean itupun menarik sebuah kursi di dekat keduanya. Kepalanya mendongak ke arah temannya yang terus bermain ponsel. "Diki, Diki, lo masih main game itu?"
"Terserah gue lah. Gue liat anime, lo nya juga sok ngurusin." jawab Diki kesal.
*Win
"Yes... ok, apa rencana kita nanti?"
"Tanyain Joseph tuh, dia kan yang panggil kita buat kemari. Jadi nanti malam ada rencana?"
"So far... this is just a plan, gimana kalo ngadain ritual dari buku ini?" Joseph mengeluarkan sebuah buku dari tas yang ada di punggungnya.
"Ritual? Cara manggil succubus ada gak?"
"Lo nyambungnya kemana sih?"
"Ya, barangkali gitu."
"Ngomong-ngomong, dimana lo nemuin nih buku?" tanya Dean saat melihat cover hijau bercampur ungu tua buku tersebut.
"Di gudang."
"Idih, udah biasa. Paling-"
Joseph pun langsung memotong kalimat Dean, "Gudang dari klub supranatural sekolah yang konon salah satu anggotanya hilang dalam suatu malam."
Sontak, Dean langsung membanting buku tersebut di meja dengan cukup keras tepat di depan Joseph duduk.
"Oi, oi, beneran nih, coeg?! Berarti... buku ini beneran njir."
"Ya gak usah dibanting juga, kampret!"
Diki yang penasaran dengan buku itu langsung mengambilnya dan membukanya. Bak seorang profesor yang sedang membaca hasil riset, Diki tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari buku itu dan terus membacanya dengan khusyuk, "Masalahnya, emang lo tau cara ngelakuin ritualnya?"
"Itu mah gampang, yang perlu dipikirin sekarang itu tempatnya. Di buku tertulis kalo tempat ritual harus berada di bawah tanah." tutur Joseph.
"Di bawah tanah? Maksudnya?"
Dean kebingungan. Apa itu berarti untuk melakukan ritual itu mereka harus dikubur hidup-hidup?
"Basemen. Itulah jawabannya, benarkan?"
"Cerdas juga kau, Dik."
"Tapi masalahnya itu tidak ada orang yang punya basemen di kota ini. Ini bukan luar negeri yang langganan serangan badai topan."
Pikiran liar milik Diki pun akhirnya menemukan solusinya.
"Luar negeri? Bule, ya? Gimana kalo mansion kosong yang ada di ujung gang perumahan sebelah? Katanya sih itu jadi rumahnya bule dulu."
"Rumah tusuk sate itu? Cocok nih. Bayangin, rumah kosong ditambah dengan pamali rumah tusuk sate, ditambah lagi ritual pemanggilan setan. Bakal creepy abis tuh!"
"So... gimana?"
"Ngeri tuh bakalan anjir... kuy lah!" jawab Dean dengan cengir di bibirnya.
"Napa enggak?" jawab Diki penuh percaya diri.
"Ok, malam ini waktunya eksekusi. Jam 10 malam semua harus kumpul di depan rumah itu. Yang nggak ada, hapus aja semua 'koleksi'-nya."
*
Akhirnya, mereka pun berkumpul di lokasi yang dimaksud kurang dari pukul 10. Ketiganya sama-sama memakai jaket abu-abu dan tas yang berisikan beberapa peralatan yang mungkin berguna.
sebuah mansion besar dengan dua lantai terlihat sangat menyeramkan di depan mata mereka. Beratapkan langit hitam, mansion itu mirip sebuah tempat uji nyali di acara TV lokal.
Banyak retakan dan coretan-coretan di dinding dan tiang-tiang penyangga. Kaca-kaca jendela juga banyak yang sudah pecah dengan serpihan yang masih berserakan disana-sini.
Halaman depan yang tak terawat terlihat amat kotor karena banyak dedaunan kering yang bertebaran. Pohon-pohon besar kering menghiasi pelataran mansion, bahkan di salah satu ranting pohon juga terdapat sebuah ayunan tua yang sudah usang termakan waktu.
Belum lagi di tengah pelataran tersebut terdapat bekas kolam mini kering. Di tengahnya terdapat sebuah patung malaikat setinggi tiga meter yang seluruhnya tertutupi oleh lumut hijau.
Disinilah ketiganya sekarang, tepat di depannya terdapat pagar besi yang sudah berkarat sampai-sampai ditumbuhi tanaman merambat. Tertutup rapat oleh gembok dan rantai yang melingkar di pegangan gerbang, mencegah orang-orang yang tidak diinginkan masuk ke dalamnya.
"Ngeri nih bakalan, anjir!" kata Dean sambil menelan ludah.
"Ok, sekarang dimana jalan masuknya? Gerbangnya aja digembok." jawab Diki sambil menarik rantai yang melilit pintu gerbang.
"Mau coba manjat?" usul Joseph.
"Kalo ketahuan orang, yang ada malah diteriakin maling kita."
"Emang ada orang yang mau maling rumah kayak gini?" tanya Dean ragu.
Untuk sejenak mereka hanya melihat area sekitar, barangkali ada yang menemukan jalur belakang dari rumah itu. Tanpa disadari oleh lainnya, Joseph ternyata sudah masuk terlebih dahulu.
"Anjir! Gimana cara lo masuk?" spontan, kalimat itu langsung keluar dari mulut Dean saat melihat Joseph yang sudah masuk duluan.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Joseph langsung menunjuk sebuah lubang dengan ukuran sebesar badan orang dewasa yang ada di pinggiran. Mereka berdua pun segera merangkak melewati lubang tadi dan ikut masuk.
"Oke, sekarang gimana caranya kita lewatin tuh pintu?" tanya Joseph menunjuk sebuah pintu besar berwarna coklat.
"Entahlah, yang pasti kita nggak akan mendobrak pintu itu dan berteriak 'FBI, open up!', kan?" jawab Diki bercanda.
"Lo kira kita mau nyiduk pedo?"
Mereka bertiga pun segera berjalan menuju pintu coklat tersebut. Setelah sampai, mereka segera mendorong pintu tersebut. Walaupun agak berat, tapi perlahan akhirnya pintu itu terbuka diiringi suara deret yang cukup keras untuk memecah kesunyian di sekitar.
Sebuah ruangan kosong langsung menyambut mereka. Benar-benar kosong, tidak ada apapun di ruangan itu kecuali sebuah tangga di sisi kiri dan lorong-lorong gelap.
Hembusan udara dingin dari dalam rumah menerpa wajah ketiganya hingga membuat bulu kuduk berdiri. Baru saja mereka melangkahkan masuk, atmosfer yang berbeda langsung membalut sekujur tubuh mereka. Menyeramkan, itulah pernyataan yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini.
Degup jantung berpacu lebih cepat dari biasanya. Masing-masing dari mereka segera mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk berjaga-jaga. Bahkan saking takutnya, kedua telapak tangan dan kaki mereka mulai berkeringat dingin.
Langkah demi langkah mereka ambil sembari mengantisipasi andai pintu masuk tiba-tiba tertutup dan mengunci mereka seperi di film-film horor.
Namun dalam keheningan itu, seketika Joseph langsung berteriak, "FBI, OPEN UP!!!"
Sontak, hal itu langsung membuat kedua temannya terkejut. Tanpa pikir panjang, Dean langsung melayangkan sebuah gamparan keras di kepala Joseph hingga membuat kepalanya tertunduk untuk beberapa saat.
"Lo ngapain, coeg?! Bikin kaget aja, bangsat!"
"Ya, barangkali di dalam ada orang gitu."
"Ngapain juga di dalam ada orang?!" ucapnya masih kesal.
Saat Dean dan Joseph sedang berceloteh, Diki maju dengan beraninya layaknya pahlawan gagah yang akan menuju medan perang. Berbekal sebuah senter di tangan yang ia ambil dari tas, perlahan dia masuk ke lorong gelap yang ada di depan.
Menyadari temannya yang sudah maju sendirian, keduanya mulai mengikuti dari belakang sambil memegangi senter mereka masing-masing.
"Ok, dimana basemen itu?" tanya Joseph.
"Entahlah, gue juga gak tau. Jelasnya gak di lantai 2." jawab Diki.
"Bentar, jadi lo gak tau kalo ini rumah punya basemen atau nggak?"
"Biasanya kan, di film-film orang luar selalu punya basemen di rumah mereka."
"Eh, dasar!"
Mereka bertiga pun berjalan menyusuri sebuah lorong panjang dengan harapan menemukan basemen.
Hampir 200 meter mereka berjalan lurus melewati lorong gelap tanpa henti itu. Bahkan saking panjangnya, pintu masuk pun sampai tidak tersorot oleh sinar senter yang mereka bawa.
"Hoi, lo yakin kita masih di bumi? Ini lorong panjang amat dah, sumpah!"
"Ya, berharap aja sih gitu."
Beberapa menit kemudian, seberkas cahaya akhirnya terlihat di depan mata. Ketiganya langsung berlari guna menghirup udara segar lantaran lorong yang mereka lewati penuh debu.
Bukannya ruangan atau basemen, yang mereka temukan malah sebuah taman kecil dengan pagar semak-semak pendek sebagai pembatas.
Di tengahnya terdapat sebuah pohon beringin besar dengan bangku taman di depannya dan patung putih berbentuk pria berzirah yang mengangkat pedang dengan tangan kanannya.
Tidak seperti keadaan halaman depan yang terlihat kotor tidak terurus, keadaan taman ini bisa dibilang cukup bersih. Meskipun ada beberapa daun kering disana-sini.
Di seberang taman tersebut terlihat jelas lorong gelap yang lain, sementara di sisi kanan taman terdapat pintu dengan ukiran unik yang terhubung oleh jembatan kecil.
Bukannya ketenangan yang mereka dapatkan, malahan rasa bingung yang ada. Ya jelaslah, bagaimana mungkin sebuah taman kecil bisa terurus dengan rapi. Sementara, bagian rumah lainnya sangat kotor seolah tak pernah tersentuh sedikitpun.
Tapi sebisa mungkin, mereka mencoba menepis pemikiran itu dan fokus terhadap tujuan sebenarnya mereka kemari yaitu mencari basemen.
Satu per satu, ketiganya melompati pagar semak dan masuk ke dalam taman. Namun, suasana seketika berubah mencekam. Entah darimana, angin tiba-tiba berhembus kencang sampai membuat dedaunan kering berterbangan.
Di saat yang sama, bangku taman yang semula kosong langsung muncul siluet putih wanita berambut panjang sepinggang duduk termenung menatap langit hitam tak berawan.
"UWWWWAAAAA!!! NONI BELANDA!"
Bulu kuduk mereka seketika berdiri kaku. Ketiganya langsung berteriak panik dan lari terbirit-birit keluar dari taman itu menuju lorong tempat mereka masuk.
Belum berhenti disitu saja, sosok yang lain pun muncul dari dalam lorong. Siluet putih seorang wanita dengan rambut sebahu langsung mencegat mereka.
"Tamat beneran nih kita." bisik Diki.
Dean yang diam tak bersuara karena takut, langsung mengalihkan perhatiannya ke sebuah lorong lain yang berada di seberang taman.
Dengan cepat, ia berlari sambil menarik kedua tangan temannya menuju lorong tersebut melewati siluet wanita yang duduk di bangku taman.
Tapi, alangkah terkejutnya dia saat mendapati dari dalam lorong itu pun juga muncul sosok yang lain. Kali ini siluet putih wanita agak pendek dengan rambut yang dimodel twintail tepat berada di depan mereka.
"Bangsat!" umpatnya.
Ketiga siluet itu pun mengepung mereka. Sedikit memutar otak, Joseph segera berlari ke belakang patung diikuti kedua temannya yang lain.
Di sisi lain, kedua siluet yang di lorong melayang menghampiri siluet yang duduk di bangku taman dan mereka pun duduk bertiga.
Melihat lorong yang kosong, mereka segera mengambil kesempatan itu dengan berlari secepat mungkin. Tepat sesaat sebelum mereka melompati pagar semak, tiba-tiba Diki berpikir hal aneh yang lain.
"Oi, tunggu! Jangan lompat dulu, WOI!"
"Apaan sih?! Cepetan keluar, coeg!"
"Makanya dengerin dulu!"
Setelah itu, mereka kembali berkumpul di belakang patung tadi.
"Entah kenapa, menurut gue mereka itu kayak ngikutin skenario sendiri."
"What?! Skenario apaan?"
"Nyadar nggak sih kalian, kalo mereka itu gak sedikitpun bereaksi ama kita?"
Dean dan Joseph hanya bisa kebingungan untuk mencerna pola pikir Diki yang tidak karuan itu. Sehingga keduanya langsung mengintip dari balik tempat mereka bersembunyi.
Ketiga siluet tadi segera berdiri lalu berjalan menuju pintu yang terhubung dengan jembatan kecil. Siluet-siluet itu menembus pintu itu tanpa ada sedikitpun ada halangan yang berarti.
"Komando! Jam! Posisi! Sinyal!" perintah Joseph tiba-tiba.
Mendengar itu, Diki langsung membuka layar ponselnya, "Jam 11 lebih 17 menit, posisi tidak diketahui, sinyal tidak ada."
"Sudah kuduga, kita sekarang... ada di dunia lain."
"Jadi gimana sekarang?!" tanya Dean panik.
"Menurut lo? Ya jelas keluar lah."
"Emang kalian gak pernah nonton film kayak gini? Kalo kita buru-buru keluar, yang ada malah kita diteror sampe mampus!" sahut Diki.
"Jadi maksud lo. Kita mesti ngikutin itu hantu, gitu?" tanya Joseph tidak percaya.
Diki mengangguk cepat.
Ketiganya pun memutuskan berjalan menuju pintu tadi. Setelah dibukanya pintu itu, ternyata yang mereka dapati adalah tangga yang menuju ke bawah.
Karena Diki yang berada paling depan, ia langsung menyalakan senter lagi dan menerangi tangga tersebut. Tak cukup lama, mereka bertiga langsung menemukan sebuah ruangan agak kecil berbentuk balok. Tak ada apapun disana, kecuali debu tebal yang menutupi lantai.
"Ini... basemen?"
"I don't know. Tapi, kalau dibilang basemen kurang besar sih."
Diki yang menyinari seisi ruangan, menyadari terdapat suatu garis-garis aneh yang ada di lantai ruangan tersebut.
Ia pun menggosok-gosokan sandalnya ke lantai guna membersihkan pasir dan debu hingga garis-garis itu terlihat semakin jelas.
"Lihat ke bawah coba!"
"Ini... sebentar!" Joseph pun terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia segera membuka tasnya dan mengeluarkan buku ritual, "Simbol-simbol ini mirip ama yang ada di buku." lanjutnya sambil membaca buku.
"Jangan bilang... kalo mereka bertiga... dijadikan pengorbanan." ucap Dean takut.
"Eh... aku gak paham sih, tapi ritual ini gak butuh apa-apa, selain simbol ama orang yang mau mengikutinya."
"Kau gak salah baca, kan?
"Enggak lah!" jawab Joseph agak lantang, "Tapi kayaknya ada yang salah. Simbol yang itu tuh," ucapnya sambil menunjuk simbol seperti balok. Ia pun segera mengeluarkan spidol dari tasnya, "seharusnya kayak gini lambangnya." lanjutnya lagi sambil menggambar suatu simbol mirip gabungan huruf x dan m di sampingnya.
"Oi! Apa yang lo lakuin? Lo malah benerin simbolnya berarti... ritualnya beneran terjadi!"
"Santai aja, kita mesti baca suatu mantra tiga kali buat aktifin nih simbol." jawab Joseph tenang.
Diki yang daritadi hanya melihat lantai, menemukan sebuah sobekan kertas dengan tulisan aneh.
"Oi, liat ini! Est-ko-tro. Ada yang paham?"
Mendengar itu, mereka berdua pun segera berjalan mendekati Diki dan melihat apa yang dia pegang. Dean langsung mengambil sobekan kertas itu dan membacanya.
"Es koro? Nama es macam apa ini? Dapet dari mana sih?"
"Gue juga gak tau, asal ambil aja dari bawah."
Sekarang, giliran Joseph yang membaca. "Est-ko-tro? Oh, f***! Itu... mantra buat aktifin ini ritual."
Keduanya hanya bisa diam setelah mendengar itu, walau beberapa saat kemudian...
"Bentar, Dean kan tadi bilangnya 'es koro', bukan estkotro. Jadi, gak ngefek."
"Eh, bocah tolol! Lo barusan bilang yang ketiga!"
"Ohh... oh!"
Sayangnya, tidak ada keanehan pun yang terjadi setelah mereka mengucap mantra itu. Untuk beberapa menit, mereka terus menunggu kemungkinan akan munculnya sesuatu yang akan mengejutkan mereka.
"Ok, gak ada yang terjadi. Kita pulang, ini tadi aja udah masuk genre horor. Jadi, yak, Kita pulang!"
"Gue kira bakalan keluar apaan gitu, njay. Nyesel gue."
"Dah, dah. Kita buruan keluar aja, lama-lama juga gerah disini."
Akhirnya, ketiganya dengan hati sedikit kecewa meniti setiap anak tangga itu guna kembali ke taman sebelumnya.
Baru saja mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara perempuan yang seolah menggema di pikiran mereka.
"Terima kasih karena telah memulangkan kami, tapi kami minta maaf. Karena keegoisan kami, kalian harus terjebak di dunia ini. Jika kami harus meminta maaf, satu-satunya hal yang bisa kami berikan adalah sebuah kotak yang terkubur tepat di bawah kursi taman. Sekali lagi, kami minta maaf atas keegoisan kami." dan akhirnya suara itu perlahan menghilang.
"Kalian denger, kan?"
"Yup, sebuah kotak yang terkubur."
"Hartu karun tuh pasti, njir. Kaya mendadak nih kita."
Dengan sigap, mereka langsung menggali tepat di bawah kursi taman dengan tangan kosong. Sedikit saja mereka menggali, sebuah kotak kayu kecil langsung ditemukan.
Karena tak sabar ingin membuka isi kotak tersebut, mereka malah berebut siapa yang akan membukanya. Dan akhirnya Dean yang memenangkannya. Tanpa basa-basi, ia langsung membukanya dengan cepat dan alangkah terkejutnya dirinya.
"Ampas dah! Isinya cuman ginian doang. Kok ngeselin amat sih!"
Ternyata isinya hanyalah tiga buah benda, yaitu kalung besi dengan gantungan elang, gelang dari kulit pohon yang dipintal dengan tambahan pin ular, dan cincin plastik mengkilap dengan pin singa di atasnya.
"Jadi, kita tetap harus membagi rata semua ini?"
"Ya mau gimana lagi, setiap orang harus ambil satu."
Dengan cepat, Diki dan Joseph langsung mengambil gelang dan kalung. Sementara Dean hanya disisakan cincin saja.
"ASW... WOI! HANTU! KALO KASIH HADIAH YANG BAGUSAN DIKIT NAPA?!"
"Syukuri aja apa yang sudah lo dapatkan." ejek Joseph sambil memakai kalung di lehernya.
"Iya, rezeki itu gak boleh ditolak lo." Sementara Diki memakai gelang ke tangan kanannya.
"DASAR!!!" teriak Dean sekencang-kencangnya, tapi pada akhirnya dia tetap memakai cincin tadi di jari manis tangan kanannya.
Tanpa mereka sadari, ketiga benda itu langsung hilang tak berbekas. Dengan langkah yang dipercepat, mereka pergi ke lorong menuju pintu keluar.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini lorong yang mereka lewati terasa lebih pendek dari sebelumnya. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka pun sampai di halaman depan dengan suasana gelap yang masih sama.
Dean yang berada di paling belakang langsung menutup pintu rumah tersebut rapat-rapat untuk meninggalkan bekas-bekas mereka bertiga sebisa mungkin.
"Sumpah dah! Gue ogah berurusan ama yang kayak gituan lagi."
"Gue juga sama, coeg. Males amat dah kalo ketemu gituan lagi."
"Ya udah, kita pulang aja kalo gitu."
Setelah melewati lubang tempat mereka masuk sebelumnya, Joseph segera memberi perintah lagi.
"Komando! Jam! Posisi! Sinyal!"
"Jam 12 lebih 4 menit, Jalan Ahmad Subarjo, sinyal penuh."
"Seenggaknya kita udah kembali lagi sih. Mumpung besok minggu, seperti biasa di warnet jam 10 kita kumpul."
"Ok." jawab Dean dan Diki bersamaan.
Setelahnya, mereka pun memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Dean masih berjalan bersama Diki karena memang rumah mereka satu arah, sementara Joseph berjalan sendiri di balik kegelapan malam.