Di sisi lain Morgan Raffael sedang uring-uringan. Dia tengah berusaha mengendalikan amarahnya yang mulai memuncak tak terkendali. Morgan Raffael adalah seorang kepala panitia penyelenggara Java Music Festival.
'Bagaimana pun caranya aku harus segera mendapatkan penyanyi pengganti. Tapi, dimana? Bagaimana caranya?' gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Festival akan berlangsung dua hari lagi, dia merasa pusing karena tiba-tiba saja penyanyi yang bersedia untuk tampil di acara festivalnya membatalkan kontrak dikarenakan sakit.
Dia sekarang hanya memiliki waktu dua hari untuk mencari penggantinya. Sungguh sial dia kali ini. Dia membenamkan wajah di kedua telapak tangannya merasa putus asa. Stephanie Amara merupakan penyanyi top yang sedang naik daun setelah menjadi pemenang di Indonesian Idol. Penampilannya sangat di nantikan para pengunjung. Seandainya ini terjadi dua minggu sebelumnya. Dia bisa dengan mudah mencari pengganti. Namun, waktunya sangat pendek hanya dua hari! Siapa yang bisa dia andalkan? Para artis yang sedang di gandrung-gandrungi kaula muda sekarang ini, semuanya sudah memiliki kontrak dengan perusahaan lain pada hari yang sama.
Morgan merasa kesal, dia mengacak-acak rambutnya kemudian tanpa sengaja ia mendengar suara seseorang bernyanyi dengan sangat merdu. Dia terpaku sekejap. Dia menikmati setiap bait lantunan indah yang menabuh gendang telinganya. Beberapa detik kemudian dia kembali ke akal sehatnya dan mengikuti arah suara.
Pohon besar yang rindang nan sejuk dengan beberapa baris bunga liar tubuh disana, dibawahnya ada sebuah bangku taman yang diam dan tenang. Disana ia melihat seorang gadis cantik bak peri sedang duduk sembari memegang tongkat, gadis itu tengah bernyanyi dengan merdu dan penuh penghayatan.
Perlahan Morgan mulai mendekatinya setelah gadis itu dalam jangkauan ia berdiri dengan tenang sambil mendengarkannya nyanyian gadis muda itu hingga selesai. Ia mengerutkan kening. 'Gadis ini buta?' gumamnya. 'Tapi, suaranya merdu sekali,' tambahnya.
"Maaf nona, permisi. Selamat siang." Morgan dengan sopan Morgan menyapanya.
"Eh? Siapa itu?" Cantik terkinjat karena terkejut. 'Mungkinkah itu Sam yang mengikutiku sedari tadi? Tapi, suaranya jelas berbeda, siapa orang ini? Apakah dia orang jahat?' Pikirnya. Gadis itu berpikir terlalu banyak. Dia merasa takut saat ini, tubuhnya secara otomatis memberi jarak, ia mundur beberapa langkah.
'Kenapa gadis ini seperti ketakutan?' gumam Morgan dalam hati. "Maaf nona saya bukan orang jahat, saya Morgan Raffael."
"Ma...maaf. Tapi, saya tidak mengenali tuan, tuan ada perlu apa?"
"Saya kepala panitia Java Music Festival, saya tadi mendengar nona bernyanyi dengan sangat baik, saya ingin mengundang nona untuk mengisi acara di festival musik saya. Apakah nona bersedia? Kebetulan saya sedang membutuhkan seorang penyanyi bertalenta. Mungkin nona berminat untuk menjadi pengisi acara di sana. Bayarannya lumayan besar loh."
"Eh? Ta...tapi, saya buta dan tidak memiliki pengalaman tampil di atas panggung, apakah tidak apa-apa?" Ia terbata karena gugup sekaligus gembira bersamaan.
"Tidak masalah nona, nona bisa datang untuk berlatih besok. Ini kartu nama saya, saya berharap nona bersedia tampil di acara saya." Morgan menaruh kartu nama di tangan Cantik.
"Maaf kalau boleh tahu, nama nona siapa yah?"
"Cantik tuan, Cantik Syanella Budiman."
Morgan tersenyum." Sungguh nama yang indah, sangat cocok dengan paras anda yang cantik."
Cantik tersenyum lalu mengangguk. "Terima kasih, tuan."
"Saya sangat berharap nona mau datang besok."
"Saya akan memikirkannya." Cantik tersenyum simpul untuk kesopanan.
"Baiklah, jika nona berminat, Java Music Festival akan di selenggarakan di Senayan. Besok pagi saya akan menunggu nona di pintu masuk, sekarang saya permisi. Sampai jumpa." Morgan tak mau menyerah. Dia harus berhasil membuat Cantik tampil diacaranya nanti.
"Sampai jumpa."
Tuhan, apakah ini suatu keberuntungan? Pikir Cantik. Dia memutuskan untuk cepat pulang dan memberi tahu ayah dan ibunya. Dia mengenal dengan baik jalan di istana Golden Gold karena dulu sering ke sana bersama sang ibu untuk menjadi cleaning servis panggilan, karena sebelum dia buta dulu dia pernah bekerja paruh waktu di agen cleaning servis.
***
Budi dan Sinta tidak bisa tidur semalaman. Mereka sangat mengkhawatikan anak gadis mereka satu-satunya. Mereka merasa bersalah telah menempatkan anaknya dalam posisi yang sulit. Sinta terus menangis membayangkan keadaan anaknya saat ini. 'Betapa menderitanya anakku sekarang?' Pikir Sinta dengan airmata berderai yang tak kuasa ia hentikan. Budi hanya duduk diam di kursi sambil menunduk menatap kosong ke lantai, dia merasa tak berdaya sebagai seorang ayah. Dia merasa telah gagal, bahkan melindungi anak perempuan satu-satunya pun ia tak bisa. Ayah macam apa dia?
"Cantik anakku, maafkan ayah nak, ayahmu ini memang tak berguna." Benih bening pun luruh membasahi pipinya. Budi merasa bersalah karena telah menghancurkan hidup anak gadisnya sendiri. Dia membenamkan wajah ke kedua telapak tangannya tak sanggup lagi menahan kesedihan. Dia menangis meraung-raung.
Sinta berdiri dan menghampiri suaminya. "Sudah yah, jangan terus menyalahkan diri sendiri. Ini tidak sepenuhnya salah ayah, ibu juga bersalah," bantah Sinta. Airmata terus keluar tak terkendali. Kesedihan mendalam melanda dengan hebatnya pada kedua orang tua itu.
Tok tok tok suara ketukan pintu lalu Sinta berlari bergegas untuk membukannya.
"Cantik," seru Sinta. Dia menghamburkan pelukan, ia memeluknya erat.
Budi tersadar dari lamunannya, lantas bergegas berlari ke arah pintu dan memeluk istri dan anaknya yang sedang berpelukan.
Kemudian mereka menuntun anaknya masuk dan duduk di kursi.
Sinta tak sabar untuk bertanya," Sayang apakah kamu baik-baik saja?"
Dia memriksa dari ujung rambut hingga kaki, memastikan anaknya tidak terluka. Sinta menangis, anaknya bukan terluka di luar tapi di dalam pikirnya. Dia merasa tak berdaya melindungi anak satu-satunya.
Budi tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa menangis membayangkan apa yang terjadi kepada anaknya tadi malam. Membayangkan betapa menderitanya anaknya. Dia mengutuk dirinya sendiri, dia pantas mati dan masuk neraka.
"Ibu, ayah, aku baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir," tuturnya dengan senyum mengembang.
"Tapi, tadi malam kau pasti sangat menderita, nak," ujar Sinta. Dia membekap mulutnya, airmata menggenang di pelupuk mata. Dia menatap pilu sang anak, ia merutuki ketidakberdayaannya.
Cantik menggeleng."Tidak bu, semalam aku bertemu seorang pria baik. Dia menjaga kehormatanku dan menyelamatkanku di acara lelang," bohongnya agar kedua orang tuanya tidak terus bersedih dan menyalahkan diri sendiri.
Budi dan Sinta saling pandang. "Benarkah?" tanyanya bersamaan.
"Siapa pria yang berbudi luhur dan mempunyai hati yang baik itu?" Sinta bertanya dengan tatapan serius.
"Siapa namanya nak? Kita harus berterima kasih."
"Sam. Tapi, aku tak tahu nama lengkapnya."
"Sam?!" seru Budi dan Sinta secara bersamaan.
Cantik mengangguk tanpa ekspresi.
"Yaa Tuhan, dia sungguh malaikat penolong. Terima kasih, Tuhan karena telah mengirim orang baik untuk menyelamatkan putriku." Budi sangat bersyukur, dia menangis bahagia dan hatinya merasa lega sekarang.
"Dan apa itu di tanganmu?" Sinta melihat putrinya sedari tadi memegangi sepucuk kartu kecil.
"Oh iya, Ibu, Ayah, aku tadi tak sengaja bertemu seseorang saat di jalan pulang. Dia panitia Java Music Featival yang akan di adakan di Senayan lusa. Dia mengundangku untuk mengisi acaranya. Aku harus ke sana besok untuk berlatih. Apa ibu dan ayah mengizinkanku?"
Budi dan Sinta saling pandang. Mereka merasa beruntung karena anaknya bertemu pria baik semalam. Dan ini apa? Keberuntungan lain? Budi dan Sinta sangat mengenal anak mereka. Mereka tahu betapa anaknya sangat ingin menjadi seorang penyanyi profesional.
"Ayah dan Ibu setuju, kami berdua yang akan mengantarmu kesana," ucap Budi dengan senyum bahagia di wajah.
"Terima kasih Ibu, Ayah, aku sangat menyayangi kalian." Cantik memeluk keduanya.